Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jadi Remaja Bertanggungjawab Bersama PILAR

18 Juli 2016   16:06 Diperbarui: 21 Juli 2016   02:06 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Dirpelda PKBI Jateng dan staff (dok.Gana)

bkkbn0-kopie-578ced43d693735c0743b0a2.jpg
bkkbn0-kopie-578ced43d693735c0743b0a2.jpg
Malam ...“ Dua orang remaja utusan PILAR mendatangi studio kami di lantai XI Plasa Simpang Lima Semarang. Mereka akan siaran. Setelah mempersilakan mereka duduk, giliran menyiapkan lagu-lagu untuk persiapan masuk acara konsultasi. Kami ngobrol kilat di ruangan AC yang kadang ngadat itu. Gerah sekali hawa di dalam ruangan! Untungnya, setelah sejam, tak terasa acara berlalu. Memori yang terkenang sampai kini. Seingat saya ada Mas Slam (koordinator PILAR jaman itu) dan Dokter Ndaru. Apa kabar, semuanya? Saya masih mengingat kalian. Kalian masih ingat saya? Saya di sini.

Bersama Dirpelda PKBI Jateng dan staff (dok.Gana)
Bersama Dirpelda PKBI Jateng dan staff (dok.Gana)
PILAR? Apa sih PILAR? PILAR adalah LSM di bawah LSM PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, anggota IPPF-International Planned Parenthood Federation). PILAR, satu payung dengan IIWC, organisasi kerelawanan yang pernah saya pimpin selama 5 tahun (sejak tahun 2001-2005). Ya. Satu tahun setelah PILAR berdiri di Semarang, muncul IIWC tahun 1999.PKBI sendiri adalah rekanan BKKBN, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

Efektifkah Sebar Informasi Reproduksi Sehat dan Konseling di Radio?

PILAR memang berbagi informasi tentang remaja (10-24 tahun) dan permasalahannya (reproduksi sehat dan konseling) sudah sejak tahun 1998. Lewat media radio, diharapkan pendengar mendapatkan informasi dari sumbernya. Bisa sharing juga lho. Kalau ada yang punya masalah dengan pacar atau kesehatan, bisa bertanya. Nama? Bisa anonim. Tidak perlu khawatir.

Usai rutin membawakan acara bincang kesehatan bersama PILAR sekali dalam seminggu, saya tertarik untuk menjadi relawan. Ketertarikan saya itu bermula dari pengamatan, betapa bermanfaatnya keberadaan PILAR sebagai teman bagi remaja di Semarang dan sekitarnya. Saya pikir, dibutuhkan banyak relawan yang terjun, makanya langsung gabung. Remaja tanpa pegangan, akan jadi seperti mobil bagus tanpa navigasi yang baik. Sebab tak tahu arah, bisa tak bermanfaat, membuang waktu percuma, nabrak, tersesat! Selain agama, peran orang tua sebenarnya juga besar tapi tampaknya waktu itu (atau bahkan sampai saat ini?) masih banyak orang tua yang belum mampu menjalin komunikasi dan keterbukaan dengan anak-anak remajanya. Apalagi membicarakan hal-hal pribadi seperti seks. Anak remaja tidak seperti anak-anak kecil lagi. Itulah sebabnya, PILAR jadi salah satu alternatif bagi remaja untuk curhat. Teman yang bersahabat, enak diajak ngobrol.

Saya masih ingat betul, seorang penelpon di radio kami bercerita bahwa ia takut sekali belum juga haid. Bisa saja keterlambatan itu dianggap sebagai tanda-tanda kehamilan atau sebuah penyakit. Atau telepon dari pendengar yang meminta nasehat tentang jerawat yang bak jamur di musim hujan, menghiasi wajah dan merusak pemandangan.  Dr. Ndaru dengan sabar menjelaskannya. Mendengarkannya, jadi ikut terhanyut. Ditambah suara mas Ndaru yang penyabar itu bikin “nyesss“. Radio memang membuat indera pendengaran menangkap informasi berbeda dari mata. Lebih masuk ke hati.

Jaman dulu, radio masih dianggap sebagai media yang efektif untuk menyampaikan berita dan informasi. Para pendengar antusias menggali informasi dengan telinganya. Belum ada FB, WA, BB dan sejenisnya. Semoga sekarang, di era internet, saya harap masih demikian adanya. Pasti masih banyak orang yang mengutamakan indera penglihatan dan tarian jari-jemari dalam mencari informasi, masih senang mendengarkan radio ... mungkin Kompasianer salah satunya. Kalau iya, tak salah kalau pemerintah dan swasta bahu-membahu memanfaatkan radio untuk sosialisasi reproduksi sehat bagi remaja. Tak ada kata rugi untuk sesuatu yang baik.

Kegiatan Off Air Libatkan Remaja

Nah, setelah melamar dan mengikuti beberapa kegiatan, banyak informasi yang saya dapatkan, terutama reproduksi sehat. Ini menambah ilmu yang didapat dari sekolah lewat mata pelajaran biologi dan nasehat bapak-ibu (di sela-sela kesibukan mereka).

Mengenal kegiatan PILAR tak hanya on air tapi juga off air. Untuk konseling psikologi dan medis, remaja bisa menghubungi PILAR lewat telepon, SMS, surat, email, FB atau datang ke markas tiap hari Senin-Jumat, 09.00-17.00. Sedangkan kegiatan off air lainnya, meliputi seminar, training, ceramah, diskusi, festival, pameran foto, pemutaran film dan masih banyak lagi. Target tentu akan tertarik dengan beragam kegiatan sesuai bakat dan minat mereka. Bayangkan. Kegiatan yang positif dan menyenangkan itu pasti akan membuat remaja sibuk dan terarah. Tanpa aktivitas, remaja akan cepat bosan dan melakukan hal-hal yang tidak bermutu atau yang aneh-aneh. Gawat, bukan? Kalau sudah begitu, generasi muda Indonesia tak lagi dikatakan sebagai remaja yang bertanggung jawab dan memalukan negara dengan berita di media massa dan jejaring sosial.

Terakhir baca-baca di internet, ada pembunuhan seorang perempuan berusia 23 tahun yang diajak kencan seorang pengusaha. Itu terjadi setelah berhubungan seks dan merasa dihina. Si gadis masuk kardus dalam keadaan meninggal dunia. Kisah itu pasti bukan satu-satunya. Kalau sudah ada dasar didikan reproduksi sehat, saya yakin akan lain ceritanya. Hindari ini dengan menjadikan remaja Indonesia paham dan setuju dengan reproduksi sehat. Malu juga kalau ada yang bilang “Indonesia sudah sampai begitu ya, remajanya. Sama saja dengan di luar negeri.“

Hindari Pernikahan Dini

Bagaimana pula dengan pernikahan dini di tanah air? Menyedihkan jika membaca data dari Pengadilan Negeri Agama Semarang tahun 2013. Setidaknya 94 kasus, mereka yang ingin mendapat dispensasi menikah di bawah usia 16 tahun. Bukankah mereka masih anak-anak? Apakah mereka juga sudah hamil di luar nikah? Jika iya, prihatin.

Stop pernikahan dini ternyata juga menjadi target program PILAR. “Pacaran yang kebablasan bisa bikin masa depan suram!“  adalah pesan yang tak putus-putusnya disampaikan pada remaja.

Ngeri sekali membaca berita tahun 2013 dari Tribun bahwa 29% remaja SMA setuju seks pra nikah. Biasanya, anak SMA masih di kisaran umur 15-19 tahun. Survei PILAR terhadap 1355 responden anak SMA di Semarang itu cukup mencengangkan. Aneh tapi nyata di negara yang berdasarkan norma, nilai dan agama yang ada. Untuk itulah di era smartphone di mana remaja banyak mencari informasi lewat internet, termasuk soal reproduksi sehat PILAR juga menyikapi itu dengan situs yang dimiliki.

Apakah di Jerman yang disinyalir bebas seks juga terjadi pernikahan dini? Pasti iyalah. Meski jumlahnya saya belum bisa menyebut berapa. Jerman sendiri memiliki saluran TV yang memiliki program “Wenn Kinder, Kinder kriegen“ atau “Beginilah Jadinya, Jika Anak di bawah Umur Punya Anak.“ Gambaran kisah nyata yang memprihatinkan atau memberi pesan pada penonton tentang betapa sulitnya kehidupan ketika masih muda harus berkeluarga. Secara ekonomi belum mencukupi, begitu pula dengan psikis. Sementara itu terjadi, teman-teman sebaya meraih cita-cita setinggi bintang di langit. Jangan sampai....

Sebentar. Anggapan saya salah bahwa hampir semua orang tua Jerman tidak peduli dengan perilaku anak-anak remajanya yang seks bebas dan memiliki anak-anak yang memiliki anak-anak. Barusan saya ngobrol dengan ibu-ibu umuran 50 tahun. Ketiga anaknya sudah dewasa.

“Kamu ijinkan anakmu yang umur 16 tahun tidur sekamar dengan teman lawan jenis di kamar di dalam rumahmu? Desak saya.

“Tentu saja tidak. Umur 16 tahun sudah menstruasi, kalau terjadi apa-apa saya juga yang bingung. Bagaimana dengan masa depannya kalau dia hamil? Jawaban saya tentu TIDAK.“ Si ibu tersenyum.

“Apakah anakmu menerima jawabanmu begitu saja?“ Kejaran pertanyaan saya, sama dengan posisi duduk saya yang makin mendekat.

“Pasti sulit baginya, tapi demi logika dan masa depannya, ia HARUS menerima. Kalau tetap ngotot, dia boleh tidur di ruang terbuka yang banyak orang wara-wiri, seperti di ruang tamu.“

Lega, saya pikir hanya saya satu-satunya orang yang ketinggalan jaman di Jerman. Saya kira, hanya orang Indonesia seperti saya yang kolot bahwa anak remaja jangan sampai hamil sebelum nikah. Berarti pikiran bahwa masa depan remaja itu panjang, lebih dari sekedar umur 18 tahun. Paling tidak setelah itu ada masa menempuh pendidikan tinggi, bekerja dan cari  pengalaman (misalnya traveling, training atau berorganisasi).

Percakapan saya dengan orang Jerman itu juga tidak melulu seperti bayangan orang tentang percakapan orang luar negeri:

“Mau ke mana?“ Tanya seorang mama.

“Ke pesta teman, sekalian nginap boleh, ya?“ Jawab si remaja

“Jangan lupa bawa bekal kondom.“ Suka atau tidak suka, si ibu merasa memang sudah dunia remaja sekarang begitu. Berpantang itu lebih susah daripada mencegah. Pencegahan kehamilan dan penyakit menular dengan kondom jadi solusi. Selain itu pemeriksaan rutin setahun sekali bagi remaja yang sudah menstruasi adalah hal yang tidak ditinggalkan. Jadwal wajib. Mula-mula diantar ibunya, lama-lama berangkat sendiri. Sekolah juga berperan memberikan informasi tentang reproduksi sehat. Tidak rutin setiap hari atau setiap minggu, tapi tetap diprogramkan.

***

Baiklah, itu tadi kenangan dan pengalaman saya. Kenangan berharga bersama PILAR meski hanya sebentar. Belajar menjadi remaja (dewasa) yang bertanggungjawab dan menularkan informasi yang saya dapat di sana. Termasuk pengalaman tinggal di negeri  orang yang konon, lebih bebas dari negara kita. Pengalaman itu bisa jadi dasar saya untuk membandingkan apa yang terjadi di tanah air dan di negeri rantau. Intinya sama, harus ada didikan reproduksi sehat dari orang tua, sekolah dan lembaga terkait. “Bersatu kita teguh.“ Sekali lagi, saya sarankan remaja merapat ke LSM tedekat, yang berkecimpung di dunia reproduksi  sehat (contohnya PILAR). Promosi untuk tujuan yang baik.

Sekarang, bagaimana dengan pandangan atau pengamatan Kompasianer terhadap remaja di tanah air dan bagaimana mengarahkan mereka pada reproduksi sehat? Mari berbagi untuk masa depan generasi Indonesia yang lebih baik. Mari dukung BKKBN dalam program kesproBKKBNbengcoolen.(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun