“
Efektifkah Sebar Informasi Reproduksi Sehat dan Konseling di Radio?
PILAR memang berbagi informasi tentang remaja (10-24 tahun) dan permasalahannya (reproduksi sehat dan konseling) sudah sejak tahun 1998. Lewat media radio, diharapkan pendengar mendapatkan informasi dari sumbernya. Bisa sharing juga lho. Kalau ada yang punya masalah dengan pacar atau kesehatan, bisa bertanya. Nama? Bisa anonim. Tidak perlu khawatir.
Usai rutin membawakan acara bincang kesehatan bersama PILAR sekali dalam seminggu, saya tertarik untuk menjadi relawan. Ketertarikan saya itu bermula dari pengamatan, betapa bermanfaatnya keberadaan PILAR sebagai teman bagi remaja di Semarang dan sekitarnya. Saya pikir, dibutuhkan banyak relawan yang terjun, makanya langsung gabung. Remaja tanpa pegangan, akan jadi seperti mobil bagus tanpa navigasi yang baik. Sebab tak tahu arah, bisa tak bermanfaat, membuang waktu percuma, nabrak, tersesat! Selain agama, peran orang tua sebenarnya juga besar tapi tampaknya waktu itu (atau bahkan sampai saat ini?) masih banyak orang tua yang belum mampu menjalin komunikasi dan keterbukaan dengan anak-anak remajanya. Apalagi membicarakan hal-hal pribadi seperti seks. Anak remaja tidak seperti anak-anak kecil lagi. Itulah sebabnya, PILAR jadi salah satu alternatif bagi remaja untuk curhat. Teman yang bersahabat, enak diajak ngobrol.
Saya masih ingat betul, seorang penelpon di radio kami bercerita bahwa ia takut sekali belum juga haid. Bisa saja keterlambatan itu dianggap sebagai tanda-tanda kehamilan atau sebuah penyakit. Atau telepon dari pendengar yang meminta nasehat tentang jerawat yang bak jamur di musim hujan, menghiasi wajah dan merusak pemandangan. Dr. Ndaru dengan sabar menjelaskannya. Mendengarkannya, jadi ikut terhanyut. Ditambah suara mas Ndaru yang penyabar itu bikin “nyesss“. Radio memang membuat indera pendengaran menangkap informasi berbeda dari mata. Lebih masuk ke hati.
Jaman dulu, radio masih dianggap sebagai media yang efektif untuk menyampaikan berita dan informasi. Para pendengar antusias menggali informasi dengan telinganya. Belum ada FB, WA, BB dan sejenisnya. Semoga sekarang, di era internet, saya harap masih demikian adanya. Pasti masih banyak orang yang mengutamakan indera penglihatan dan tarian jari-jemari dalam mencari informasi, masih senang mendengarkan radio ... mungkin Kompasianer salah satunya. Kalau iya, tak salah kalau pemerintah dan swasta bahu-membahu memanfaatkan radio untuk sosialisasi reproduksi sehat bagi remaja. Tak ada kata rugi untuk sesuatu yang baik.
Kegiatan Off Air Libatkan Remaja
Nah, setelah melamar dan mengikuti beberapa kegiatan, banyak informasi yang saya dapatkan, terutama reproduksi sehat. Ini menambah ilmu yang didapat dari sekolah lewat mata pelajaran biologi dan nasehat bapak-ibu (di sela-sela kesibukan mereka).
Mengenal kegiatan PILAR tak hanya on air tapi juga off air. Untuk konseling psikologi dan medis, remaja bisa menghubungi PILAR lewat telepon, SMS, surat, email, FB atau datang ke markas tiap hari Senin-Jumat, 09.00-17.00. Sedangkan kegiatan off air lainnya, meliputi seminar, training, ceramah, diskusi, festival, pameran foto, pemutaran film dan masih banyak lagi. Target tentu akan tertarik dengan beragam kegiatan sesuai bakat dan minat mereka. Bayangkan. Kegiatan yang positif dan menyenangkan itu pasti akan membuat remaja sibuk dan terarah. Tanpa aktivitas, remaja akan cepat bosan dan melakukan hal-hal yang tidak bermutu atau yang aneh-aneh. Gawat, bukan? Kalau sudah begitu, generasi muda Indonesia tak lagi dikatakan sebagai remaja yang bertanggung jawab dan memalukan negara dengan berita di media massa dan jejaring sosial.
Terakhir baca-baca di internet, ada pembunuhan seorang perempuan berusia 23 tahun yang diajak kencan seorang pengusaha. Itu terjadi setelah berhubungan seks dan merasa dihina. Si gadis masuk kardus dalam keadaan meninggal dunia. Kisah itu pasti bukan satu-satunya. Kalau sudah ada dasar didikan reproduksi sehat, saya yakin akan lain ceritanya. Hindari ini dengan menjadikan remaja Indonesia paham dan setuju dengan reproduksi sehat. Malu juga kalau ada yang bilang “Indonesia sudah sampai begitu ya, remajanya. Sama saja dengan di luar negeri.“