Hindari Pernikahan Dini
Bagaimana pula dengan pernikahan dini di tanah air? Menyedihkan jika membaca data dari Pengadilan Negeri Agama Semarang tahun 2013. Setidaknya 94 kasus, mereka yang ingin mendapat dispensasi menikah di bawah usia 16 tahun. Bukankah mereka masih anak-anak? Apakah mereka juga sudah hamil di luar nikah? Jika iya, prihatin.
Stop pernikahan dini ternyata juga menjadi target program PILAR. “Pacaran yang kebablasan bisa bikin masa depan suram!“ adalah pesan yang tak putus-putusnya disampaikan pada remaja.
Ngeri sekali membaca berita tahun 2013 dari Tribun bahwa 29% remaja SMA setuju seks pra nikah. Biasanya, anak SMA masih di kisaran umur 15-19 tahun. Survei PILAR terhadap 1355 responden anak SMA di Semarang itu cukup mencengangkan. Aneh tapi nyata di negara yang berdasarkan norma, nilai dan agama yang ada. Untuk itulah di era smartphone di mana remaja banyak mencari informasi lewat internet, termasuk soal reproduksi sehat PILAR juga menyikapi itu dengan situs yang dimiliki.
Apakah di Jerman yang disinyalir bebas seks juga terjadi pernikahan dini? Pasti iyalah. Meski jumlahnya saya belum bisa menyebut berapa. Jerman sendiri memiliki saluran TV yang memiliki program “Wenn Kinder, Kinder kriegen“ atau “Beginilah Jadinya, Jika Anak di bawah Umur Punya Anak.“ Gambaran kisah nyata yang memprihatinkan atau memberi pesan pada penonton tentang betapa sulitnya kehidupan ketika masih muda harus berkeluarga. Secara ekonomi belum mencukupi, begitu pula dengan psikis. Sementara itu terjadi, teman-teman sebaya meraih cita-cita setinggi bintang di langit. Jangan sampai....
Sebentar. Anggapan saya salah bahwa hampir semua orang tua Jerman tidak peduli dengan perilaku anak-anak remajanya yang seks bebas dan memiliki anak-anak yang memiliki anak-anak. Barusan saya ngobrol dengan ibu-ibu umuran 50 tahun. Ketiga anaknya sudah dewasa.
“Kamu ijinkan anakmu yang umur 16 tahun tidur sekamar dengan teman lawan jenis di kamar di dalam rumahmu? Desak saya.
“Tentu saja tidak. Umur 16 tahun sudah menstruasi, kalau terjadi apa-apa saya juga yang bingung. Bagaimana dengan masa depannya kalau dia hamil? Jawaban saya tentu TIDAK.“ Si ibu tersenyum.
“Apakah anakmu menerima jawabanmu begitu saja?“ Kejaran pertanyaan saya, sama dengan posisi duduk saya yang makin mendekat.
“Pasti sulit baginya, tapi demi logika dan masa depannya, ia HARUS menerima. Kalau tetap ngotot, dia boleh tidur di ruang terbuka yang banyak orang wara-wiri, seperti di ruang tamu.“
Lega, saya pikir hanya saya satu-satunya orang yang ketinggalan jaman di Jerman. Saya kira, hanya orang Indonesia seperti saya yang kolot bahwa anak remaja jangan sampai hamil sebelum nikah. Berarti pikiran bahwa masa depan remaja itu panjang, lebih dari sekedar umur 18 tahun. Paling tidak setelah itu ada masa menempuh pendidikan tinggi, bekerja dan cari pengalaman (misalnya traveling, training atau berorganisasi).