“Mawar berduriiii ... kini ku pergi, dengan membawa lukaaa di hatiku...“ Kalau Kompasianer kenal dengan potongan syair lagu itu, pasti ingat penyanyi Indonesia Tetty Kadi yang beken di masanya. Lagu itu pernah membekas di hati saya waktu masih SMA. Cieeee ... saya dulu gadis berselera oldie goldie.
Mawar. Bunga yang indah, kadang wangi, dengan beragam ukuran, punya duri itu pasti beken di saat lebaran. Iya, untuk nyekar, tradisi ziarah kubur para leluhur, saudara, teman, kerabat, tetangga yang sudah menyatu dengan tanah. Bunga mawar itu ada yang sudah pudar, ada yang menyatu jadi satu mahkotanya. Saya ingat betul, penjual kembang mawar di dekat makam Kalisari, Semarang. Diwadahi besek, keranjang dari bambu bunga-bunga itu mengantar wangi sampai ke hidung umat yang hilir mudik merayakan hari raya bersama keluarga besar.
Ibu saya biasa beli dua keranjang untuk kami sekeluarga. Saya tujuh bersaudara. Masing-masing bisa mengambil segenggam dua genggam mawar untuk disebar di atas tanah makam di masing-masing nisan. Kami doakan para arwah agar tenang dan mendapat jalan terang. Bagi yang hidup, ziarah mengingatkan akan takdir mati, agar mengisi hari dengan hal-hal yang baik dan terpuji agar jadi bekal di akhirat nanti. Kangen masa kebersamaan yang indah di sana ....
Suka atau sering beli mawar? Beli, tanam sendiri! Mudah dan bisa gratis.
Ceritanya, waktu remaja, saya pernah bermimpi punya kebun mawar. Artinya, kebun-kebun ingin saya tanami banyak mawar biar indah dan wangi. Mimpi itu semakin kuat ketika pertama kali melihat taman mawar yang luas di pulau Mainau di daerah Bodensee. Tempat wisata yang sejam dari rumah itu tak hanya dipenuhi bunga mawar tapi bunga yang lain. Mawar tentu saja jadi fokus saya. Aduhhhhh exciting banget berada di sana, memandangi mawar beragam warna dan spesies. Ada Edel, hybrida sampai Klettern, merambat. Ditambah, mawar jamak ditemukan di kebun rumah tangga-rumah tangga.
Rupanya setelah berpuluh-puluh tahun, mimpi itu terwujud. Kami punya kebun yang bisa ditanami mawar. Iya, di Jerman. Padahal, awalnya sudah pesimis. Bisa hidup nggak mawarnya? Bisa wangi nggak mawarnya kayak di Indonesia? Durinya kann bahaya, bisa berdarah kalau kecocok. Yup. Tidak akan pernah tahu kalau tidak pernah mencoba. Saya mencobanya dan berhasil! Mulai dari hasil beli di toko bunga dengan kisaran harga 1 € (batang) sampai 30€ an (sudah tinggi dan berbunga).
Dari perjalanan menanam dan merawat mawar, saya punya ide nyetek (stek mirip cangkok). Caranya; memotong batang yang kuat dan besar dari mawar yang sudah ada atau milik teman, tetangga atau kenalan, merendamnya di dalam air semalaman, menanamnya di dalam pot plastik kecil, disiram setiap hari sampai beberapa minggu kemudian ketika sudah kuat menyatu dengan tanah/tidak goyang langsung dipindah ke dalam tanah.
Paling cocok di musim semi karena tanah masih basah dari salju, temperatur sedikit meninggi dan sinar matahari mulai panas. Meskipun beberapa kali saya coba di musim panas ada yang gagal ada yang berhasil juga. Kata orang, tangan saya hijau “Grüne Daumen“ karena mampu menanam hingga merawat mereka. Uhukkkk. Berharap bisa bikin buku tentang mawar suatu hari nanti karena sudah ada paling tidak hampir 30 mawar yang bisa dibagi.
Ya, sudah jangan melamun membayangkannya saja. Mari menanam mawar dan lestarikan lebah di bumi ini. Masih ada waktu.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H