Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Nasi Kuning

9 Juni 2016   19:54 Diperbarui: 9 Juni 2016   20:35 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi kuning ( Dok. Gana)

Dok. FC
Dok. FC
Gaganawati No. 41

“Ton Fils fait des betitses“ Katamu waktu itu. Bibirmu yang tipis dan merah, menebar pesona. Berharap bahwa anak lelakiku adalah anak lelakimu juga. Aku hanya menunduk malu. Tak ada sepatah kata pun yang meluncur dari bibirku yang tebal.

Bukan. Aku tidak sedang hamil. Aku kira, itu hanya rayuan gombal Jacques, pria Belgia yang sudah sebulan kukenal. Heran, ia jatuh cinta padaku dan hendak menikahiku. Kupandangi kaca. Tak ada yang istimewa dari wajah dan badanku. Mengapa ia ingin memilikiku?

Kepalaku berkali-kali menggeleng. Hmm ... pria seganteng Lorenzo Lamas dari serial “Renegade“ itu bisa memilih gadis mana saja yang ia mau di dunia ini. Jika pria berambut panjang yang selalu dikucir kuda itu bersikeras memilihku, aku justru bimbang dan tetap saja penuh tanda tanya. Aku takut kalau apa yang ia ucapkan, hanyalah sebuah fatamorgana. Kasih tak sampai.

***

Emak, bulik dan budhe sudah sibuk di dapur sejak Shubuh. Bilik bambu yang dibuat khusus di pekarangan belakang rumah kami itu tampak menghitam dari kepulan asap kayu pembakaran.

Emak mususi beras, mencuci beras biar air berwarna susu itu hilang. Berkali-kali tangannya mengaduk-aduk beras dan membuang kutu-kutu beras yang nakal dan mengambang.

Bulik berkali-kali nyebul, meniup kompor batu bata yang diisi kayu bakar. Api menyala lagi, setelah sebelumnya, sempat mati karena air ceret tumpah!

Budhe duduk di atas dingklik, kursi kecil itu mampu menampung badannya yang tambun. Perempuan umur 60 tahunan itu sedang menghaluskan bumbu-bumbu nasi tumpeng. Ada serai, kunir/kunyit, garam, bawang merah, bawang putih, gula, kemiri, lengkuas, daun jeruk dan daun salam. Samar-samar, kudengar sendau-gurau mereka. Membicarakan kami, Jacques dan aku. Aku malu.

Hari ini, kami tumpengan nasi kuning. Tumpeng yang mengerucut ke atas langit, setinggi  permohonan kami kepada Gusti Allah. Berharap Tuhan memberkati kami, dua jiwa yang ingin disatukan. Selametan, kata orang Jawa. Mensyukuri jodoh yang diberikan Allah padaku, putri bungsu keluarga Brawijaya. Aku masih ingat, waktu kenalan di warung, Jacques bisa makan sebakul nasi kuning! Makanya, tumpeng kali itu, berwarna kuning.

Wajah-wajah tampak cerah dan tawa di mana-mana. Aku tersenyum. Malam ini Jacques datang ke rumah, melamarku. Ia tidak sendiri, ada beberapa kawan dan tetua yang mau jadi wakil orang tuanya. Papa dan mamanya tak setuju kalau anak tunggal dari klan keluarga kaya Van den Boom itu menikahi perempuan desa jelek sepertiku. Bisa kumaklumi kalau mereka tak mau hadir.

Jacques berbaju batik. Ganteng sekali. Badan six packs nya, sudah duduk di sebelahku, membawa kotak kecil berisi dua cincin. Cincin untukku, agak kebesaran tapi biarlah, bisa dibetulkan nanti. Untuk sementara, kami pasang di jari manis sebelah kiri dan ditukar ke kanan pada saatnya tiba. Ahhhh, tak sabar hati ini menanti hari H pernikahan.

Kupandangi cincin bermata berlian itu. Mimpikah aku? Kutampar mukaku. Aduuuuuuh! Sakit. Ini nyata. Matur nuwun, Gusti! Kuucap terima kasih pada yang telah Dia beri.

Oh, hari yang indah. Rumah sederhana kami yang sesak oleh tamu-tamu, lambat laun, sepi. Satu persatu ... tamu pergi. Jacque tak lagi di sini.

***

“Selamat pagi. Apakah benar Anda Mutiara? Calon istri Jacques? Dia meninggal tadi malam pukul ...!“ Aku yang membukakan pintu pagi-pagi itu, terperanjat. Wajahku jadi seperti hantu; pucat dan dingin. Kepalaku pening, pandanganku agak kabur. Tak kudengar lagi kalimat polisi itu. Segera kutarik sebuah kursi dari teras rumah. Aku takut pingsan. Hilang sudah mimpiku bersama Jacques.

Pembantu Jacques menemukannya sudah dingin dan kaku di ranjang rumah kos. Menurut para saksi mata, calon suamiku itu kebanyakan minum minuman keras, oplosan! Bachelor party tadi malam, sepulang dari rumah kami, ia teruskan sendiri meski kawan-kawannya telah pergi.

Tuhan! Bagaimana ini? Tak bisa kubayangkan kemarahan keluarga Van den Boom mendengar bencana ini. Aku hanya bisa menangis. Aku merasa bersalah. Sungguh aku takut jadi gila!

***

Lagi-lagi emak, bulik dan budhe memasak nasi kuning di bilik bambu belakang rumah kami. Bagiku, kepulan asapnya lebih hitam dari tempo lalu. Sehitam dukaku di 40 hari kematian Jacques.

Kotak makanan dari karton berwarna putih, berisi nasi kuning dan lauk pauknya. Sengaja bukan nasi putih karena aku yang minta. Jacques paling suka nasi kuning. Barangkali roh Jacques akan bahagia melihat nasi kuning terakhirnya.

Dos kami bagi-bagi tetangga dan mereka yang ikut tahlilan. Selembar kertas sebagai doa untuk arwah Jacques, ada di dalamnya. Wajah muram mudah ditemukan di antara tikar yang diduduki para pria bersarung dan berpeci itu. Salah satunya adalah pria yang dijodohkan bapak untukku, Joni.

***

Setahun berlalu. Selama itu pula, Jacques tak juga pergi dari pikiran dan hatiku, meski Joni adalah suami yang menyayangi dan melindungiku. 

Hari ini hari yang ramai. Entah sudah berapa kali emak, bulik dan budhe kembali berkumpul di dapur itu. Tawa canda mereka tak lagi membicarakanku, melainkan tentang seorang bayi laki-laki yang lahir dari rahimku. Bayi gemuk, lucu dan ganteng.

Ohh, ya. Suamiku bukan Jacques tapi Joni. Joni adalah karyawan bapak yang dipersiapkan untukku. Menutupi malu orang tua dan kepedihanku ditinggal Jacque.

Tampah berisi nasi kuning telah siap di atas meja. Satu persatu, tamu hadir di ruang tamu yang masih saja sempit, seperti dulu. Beberapa duduk di luar, di bawah tenda. Ketinggian nasi kuning itu lambat laun menghilang. Nasi kuning telah habis disantap tamu.

Aku hanya termangu menatap mereka, sembari menggendong bayi umur sebulan  yang wajahnya bukan mirip Joni tapi ... mirip Jacques Van den Boom! Dari balik jendela, kupandangi bulan purnama yang begitu indah menggantung di langit.

“Jacques, anak lelaki ini bukan anak lelakimu!“ Jerit batinku. Kekhawatiranku terbukti, memilikmu hanyalah sebuah fatamorgana .... (G76)

Note:

Menurut wikipedia, “Dalam tradisi Indonesia warna nasi kuning melambangkan gunung emas yang bermakna kekayaan, kemakmuran serta moral yang luhur. Oleh sebab itu nasi kuning sering disajikan pada peristiwa syukuran dan peristiwa-peristiwa gembira seperti kelahiran, pernikahan dan tunangan. Dalam tradisi Bali, warna kuning adalah salah satu dari empat warna keramat yang ada, disamping putih, merah dan hitam. Nasi kuning oleh karena itu sering dijadikan sajian pada upacara kuningan.“

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun