Pada awalnya sulit karena terbiasa ada yang membantu atau ada yang mendukung seperti pembantu rumah tangga, baby sitter, tukang, tukang kebun, supir, ibu kandung, saudara kandung, tante, tetangga dekat, teman dekat dan kenalan. Berbeda ketika harus melakukan semuanya sendiri. Apalagi di luar negeri yang jelas adat, budaya dan pergaulannya berbeda.
Lantas, apakah menjadi seorang ibu rumah tangga harus menyerah atau menjadi orang yang tertekan (red: a desperate house wife) karena setumpuk pekerjaan yang tak pernah habis dan sendirian mengerjakannya? Aduh, jangan sampai. Yes, women ... we can.
Betul. Saya menikmati, bahwa rumah adalah benar-benar tempat berkumpul keluarga dan keluarga adalah surga duniawi yang tidak setiap orang di dunia punya. Tidak ada keinginan bahwa keluarga kami anggotanya jarang berkumpul, tidak pernah lengkap ... tidak mau mimpi bahwa ada anggota keluarga kami yang merasa rumahnya seperti neraka dan memilih berada di luar rumah ketimbang berada di rumah, sampai cari-cari alasan yang tidak masuk logika.
Baiklah, lambat laun, terasa sekali bahwa menjadi ibu rumah tangga itu banyak tantangan, kesempatan dan hikmahnya. Berada di rumah, sebagai ibu rumah tangga bisa:
Melihat Anak-Anak Tumbuh
Tidak semua ibu di dunia berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga memiliki tantangan moral dan kesempatan lebih besar untuk melihat anak-anak tumbuh dari hari ke hari secara rinci. Kedekatan itu membuat ibu mengenal tak hanya perangai anak dan cara mengatasinya tapi juga ukuran-ukuran penting dalam hidup mereka. Mulai dari helm sampai sepatu. Kalau tidak, kadang repot ketika membeli sesuatu, anak harus diajak sementara kondisi tidak memungkinkan. Begitu pula kesukaan yang lain seperti makanan, warna dan lain sebagainya. Yang terpenting, pekerjaan apa yang ia sukai.
Tambah senang hati ini, ketika mereka masuk rumah dan mencari mamanya, peluk lalu cium. Ikatan batin semakin kuat.
Saya sering bercerita kepada anak-anak, bahwa sebagai anak perempuan pertama dalam keluarga, keharusan untuk belajar memasak dimulai dari kelas IV SD. Sebelumnya, tugas diemban kakak-kakak laki-laki secara bergantian. Bapak dan ibu kami memang super sibuk, berangkat pagi pulang siang sebentar lalu pergi lagi sampai Maghrib bahkan larut malam. Jadi, tugas rumah tangga dibagi rata berlima. Kedua adik masih kecil-kecil jadi belum dapat jatah.
Hal itu memicu keinginan anak-anak bahwa mereka mau seperti mamanya, bahkan harus lebih baik lagi. Tak heran jika anak-anak sudah mulai membantu memasak di dapur ketika sudah berdiri. Tambah seru karena suami saya atau bapaknya anak-anak tak hanya suka makan tapi jago masak. Contoh masakannya, pizza.
Belajar Bersama Anak-anak