Gaganawati, Soto Bangkong, Semarang
Tinggal di luar negeri makannya roti sama keju, tetap suka makan masakan tradisional Indonesia. Nggak heran kalau selama di Jerman, kalau lagi pengen, bela-belain masak masakan Indonesia. Aduuuh, cari bahannya sudah sulit, mahal pula! Untungnya puas dengan hasil karya sendiri ... kalau tidak, siapa lagi?
Naaah, kesempatan .... kalau ke Indonesia, saya selalu sempatin melahap makanan yang sudah ngidam pengen dimakan sejak lama. Namanya juga makanan langka, tradisional dan ngangeni. Mana pulang ke tanah air tidak setiap tahun sekali. Jadinya begitu datang, cicip sana-sini. Tak terkecuali ... soto Bangkong!
Saya masih ingat, sebelum kami pindahan, pernah makan serombongan di soto Bangkong di Jl. Setiabudi 229 Semarang, dekat swalayan ADA atau seberang jalan keluar tol. Mulai dari anak, suami, bapak dan ibu serta saudara dan keponakan ikut. Ramai sekali, ya, kayak mau berangkat haji. Tiga mobil! Makannya jadi seneng dan gayeng. Oh, ya. Sengaja waktu itu kami memilih makan soto di situ karena yang punya, anaknya satu sekolahan dengan anak kami. Mengobati lapar, makan nggak makan kumpul dan sekalian nglarisi bisnis teman.
Hmm ... restoran itu termasuk besar dan luas, dengan hiasan angkringan. Unik. Toiletnya juga bersih. Kompasianer bisa ke sana setiap hari mulai pukul 06.00-21.00.
Sebenarnya, rumah makan yang kami kunjungi itu hanya cabangnya. Restoran utamanya ada di prapatan Bangkong. Perempatan itu menuju Jl. Majapahit aka Brigjend Soediarto (timur), Simpanglima (barat), Semarang atas (selatan) dan Johar (utara). Tepatnya di Ruko Bangkong Plaza, Jl. Brigjen Katamso No. 1, Jawa Tengah. Rumah makan ini memang lebih kecil dibanding yang di Semarang atas tadi, tetapi tutup satu jam lebih lama.
Pesan saya, hati-hati ya ... bukan karena copet tapi jalanan di kedua rumah makan Soto Bangkong sangat ramai. Maklum, jalan raya, mana jalanan Semarang sekarang sudah sesak! Nah, jika tidak membawa kendaraan pribadi, untuk menuju kedua lokasi, Kompasianer bisa menggunakan kendaraan umum bernama Daihatsu berwarna oranye, haltenya di mana-aman alias sembarangan. Orang Semarang menyebutnya begitu karena biasanya, merk angkutan umum itu Daihatsu. Bahkan anak-anak muda sering memplesetkannya dengan Mas Dayat. Kalau dari Simpanglima, ambil yang jurusan Pedurungan atau Penggaron dan turun di perempatan Kodak, sebelah pos polisi dekat lampu merah.
Lalu menyeberanglah. Beda lagi kalau berangkat dari Semarang atas, ambil yang jurusan Johar. Biasanya bayar Rp 4000,00/orang. Duduknya dempet-dempetan dan hadap-hadapan. Sedangkan dua di depan, dekat supir. Sekarang nggak ada kenek, asisten supir yang biasa narik duit penumpang. Kata supir-supir, nggak mau cari pembantu karena cari penumpang juga susah. Alternatif lain, gunakan BRT (Bus Rapid Transit) atau bus DAMRI. Sebelum naik, tunggu di halte khusus dan beli tiket di dalam bus.
Kalau baca kamus bahasa Indonesia, Bangkong itu artinya kodok besar. Tapinya soto Bangkong nggak ada menu kodoknya aka Sweeke lho yaaa ...So, don’t worry. Nama soto Bangkong itu dipakai gara-gara letaknya ada di perempatan jalan yang pada jaman Belanda disebut Bangkong (mulai dari MT Haryono sampai Metro). Biar mudah diingat, makanya pakai nama soto Bangkong, soto yang bisa dimakan di daerah perempatan Bangkong.