Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

[KPK] Tahu Gimbal Semarang, Bukan Tahu Kutukan

31 Mei 2016   22:00 Diperbarui: 31 Mei 2016   22:36 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebelah kanan masjid Baiturahman

Gaganawati Stegmann, Tahu Gimbal, Semarang (Jateng)

Sebelah kanan masjid Baiturahman
Sebelah kanan masjid Baiturahman
Agustus 2015, itu jadwal pertemuan saya dengan seorang balerina Indonesia yang menetap di New York karena menemani the young ballerina, Jemima Vaya untuk sekolah ballet.

Sesuai rencana, tepat tanggal 22 sore, kami menggelar talk show untuk memoir buku "Bertahan di Ujung Pointe" (Terima kasih kepada Kompasianer yang hadir).

Satu hari sebelumnya, pagi-pagi, rombongan sudah sampai di hotel. Siangnya mbak Jetty Maika nanya "Enaknya makan apa, ya Gana?" Waduuuh lahir, besar dan pernah tinggal lama di Semarang, maluuuu kalau jadi guide dadakan nggak tahu keistimewaan kota sendiri. Kurang piknik kuliner? Yaaaaaa sudah lama nggak tinggal di Semarang, saya coba peras otak lagi mengingat apa saja kuliner istimewa kota ATLAS yang pantas untuk direkomendasikan turis diaspora (pernah tinggal di Jakarta, Malaysia dan kini di USA).

"Aduhhh apa yaaaa...?" Terlintas di pikiran saya, soto Bangkong! Ah, dari hotel agak jauuuuh. Musti ke perempatan Bangkong sana. Mana jalanan macet, puanasss. Mau jalan kaki saja ah, yang deket Simpang Lima, sudah lapar. Ah, iya, dulu waktu kerja di Jatayu FM sering beli bakso kumis di Matahari. Pindah ke Smart FM, sering beli bakso di warung deket container sampah, depan Baiturahman. Masih ingat kan kisah warung sampah yang saya pernah ceritakan di K? Itu ada di gang sempit deket gedung HSBC. Mengapa warung sampah? Bukan menyediakan makanan sampah, tapi warung terletak di sebelah container sampah! Ealahhhhh...

Bukan Tahu kutukan
Bukan Tahu kutukan
Tahu gimbal
Tahu gimbal

Tahu Gimbal

Oh iya ... kenapa tidak Tahu Gimbal saja! Bakso pasti biasa, kalau Tahu Gimbal? Pasti luar biasa, namanya itu lho ... sudah gitu pedes, manis dan guyih rasanya! Lagian, lokasi paling deket. Dari Hotel Graha Santika, kami (mbak Jetty, mas Simon suami mbak Jetty dan saya) jalan kaki 5 menitan. Melewati toko buku Gramedia lalu menuju trotoar yang bebas dari PKL. Sak nyuk. Asyik juga jalan ke sana. Semarang memang sudah ditata rapi bundarannya. Nggak kayak dulu. Joss gandos, deh.

Oh ... di tikungan sampai di sebelah warung, kami melihat masjid Baiturahmann, di mana ada TK HJ. isriati tempat saya pernah ngajar bahasa Inggris. Dan ...

"Horeeee ... Tahu Gimbalnya sudah buka!" Tadinya saya sudah deg-degan dan khawatir bahwa jam 5 sore belum buka, kan masih terang. Biasanya PKL deket situ buka kalau sudah gelap. Letak warung lesehan persis di depan masjid Baiturahman, di sebelah kiri pintu gerbang utamanya. Si bapak (pak To) menunggu di gerobak, pembeli silakan duduk di atas tikar menghadap lingkaran simpang lima. Setelah pesan makanan, ibu penjual minuman es teh menawarkan dagangannya. Segar!

Sembari menunggu Tahu Gimbal masak, kami coba sedot es teh sambil mikir esnya air matang apa air mentah? Ya sutralah, Semarang kota pantai. Puanassssss ... langsung minum saja, tak usah mikir lagi, takut dehidrasi. Semoga nggak sakit perut (emang). Sembari memandangi si bapak goreng-goreng dan meracik makanan, kami ngobrol. Tak berapa lama, Tahu Gimbal sudah tersaji. Wow .. rasanya luar biasa. Lekker, kata orang Jerman.

Saya pikir, masakan ini khas karena ulegan sambal kacangnya yang mirasa, nendang bumbunya mantab. Gorengan bakwan, telor mata sapi dan kerupuk! Tahu, gimbal urang (goreng tepung terigu dengan udang dan bumbu), kol putih diiris tipis dan direndam air biar layu. Kriukkkk, ada krupuk! Tanpa krupuk, dunia kurang meriahhh.

Resep Tahu Gimbal

Siapa yang belum pernah makan pecel? Karena tinggal di Jerman yang tak ada warung PKL nya, saya biasa buat sendiri. Sayurannya dimodifikasi sesuai sayuran Jerman seperti bayam yang daunnya segaban (Spinat), kacang panjang Afrika (Bohnen/fein), brokoli atau kembang kol, ketimun Jerman (Gürke) tomat dan wortel. Sambal kacangnya, kalau nggak beli blok yang sudah jadi dan dicairkan dengan air panas, ya bikin sendiri dari menggoreng kacang tanah sendiri dan diuleg tangan. Pegelll.... Jadi, bumbu tahu gimbal, agak mirip bumbu pecel itu.

Ya, bumbu pecel sama bumbu Tahu Gimbal, bahannya sama; kacang tanah goreng yang digerus alias dihaluskan. Bumbu Tahu Gimbal agak beda;  dengan cabai, bawang putih, garam, kecap manis, air asam Jawa, gula merah, air dan ... petis udang!

Gimbal urang sendiri bahannya tepung terigu, tepung beras, garam, udang, air, merica dan telur. Tahu putih jangan lupa digoreng lalu iris dadu. Seusai digoreng, potong-potong.

Cara menyajikannya; ambil irisan tipis dan panjang dari kol putih mentah yang direndam air panas, campur dengan potongan gimbal urang dan tahu. Taburi dengan remukan krupuk udang, siram dengan saos kacang dan telur ceplok paling atas. Siap santap. Mak nyos!

Kisah di Balik Tahu Gimbal

Pernah didapuk jadi leader di kemah internasional di Dieng, menanam 3000 pohon di sekitar Telaga warna. Selama menginap di rumah pak lurah,  saya melihat beberapa bocah berambut gimbal dan cerita wedus gembel (awan yang aneh, mirip kumpulan wedus/domba). Keduanya, dianggap sebagai kutukan atau membawa malapetaka. Makanya, di dalam masyarakat Dieng, ada tradisi pemotongan rambut gimbal untuk membuang sukerta, sial darinya. Konon, masyarakat Jawa merasa bahwa dengan adanya sukerta harus ada ruwatan untuk membuangnya. Pelaksanaan massal ruwatan rambut gembel biasa di telaga Warna, candi Arjuna dan telaga Pangilon. 

Selain ruwatan rambut gembel, masyarakat Jawa juga mengenal; anak kedhono-kedhini (dua anak laki dan perempuan), sendang kapit pancuran (tiga anak yang perempuan di tengah), pancuran kapit sendang (tiga anak yang laki-laki di tengah), pandhawa (anak lima laki semua) dan masih banyak lagi.  Hal yang lumrah jika beberapa persyaratan harus dipenuhi sebelum pencukuran sebagian rambut. Harus ada  sesajen/permintaan khusus.

Eh, apaan rambut gembel? Itu rambut yang tidak beraturan, susah disisir karena mbundet alias saling bertautan dan warnanya agak merah terbakar matahari bukan dari pewarna sintetis. Anak-anak yang memiliki rambut gembel itu dipanggil "Mbel". Maklum, orang Jawa biasa malas menyebut  nama secara lengkap. Gana misalnya, dipanggil "Gan" atau "Na".

Nah ... konon, itulah sebabnya makanan khas Semarang itu disebut Tahu Gimbal. Makanan khas Semarang yang manis, pedas dan gurih itu memang menggunakan bahan Tahu dan Gimbal (yang berbentuk tidak teratur). Bedanya, makanan Tahu Gimbal meski ada kata “gimbal“ nya, bukan kutukan lho. Kecuali kalau habis makan Tahu Gimbal, nggak sikat gigi. Yahhh ... itu sih, bisa membawa malapetaka. 

Baiklah. Janji. Melahapnya adalah sebuah kesempatan menikmati salah satu kuliner andalan Semarang, melestarikan kuliner tradisional dan rasanya tiada tara. Anda hendak pergi ke kota Semarang? Jangan lupa mencicipi Tahu Gimbal! Sambil makan, nikmati Simpang Lima Ria Semarang. 

Salam KPK, we eat ... we write. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun