Tepat dengan ulang tahun pak Tjipta hari ini, Sabtu, 21 Mei 2016, Gana hendak menulis postingan buat bapak. Kebetulan jodoh, tiga buku dari Indonesia yang saya beli dari pak Thamrin Sonata, telah tiba minggu lalu. Kurir yang dulu sekretaris saya terus jadi sekretaris suami saya itu rela membawakannya dari Semarang - Berlin sampai ke rumah. Makanya, pas sekali kalau saya kupas sekarang pas selametan.
Ulasan Buku:
Cerita-cerita kehidupan pak Tjipta bisa kita nikmati di akun Kompasiana beliau. Rangkuman dari artikel sebanyak 1950, 391 di antaranya dapat HL, ditulis sejak 15 Oktober 2012 itu ada yang menjadi buku “Beranda Rasa“. Salah satu postingan yang saya baca dan membekas adalah tentang kisah nyolong pagar bambu orang buat bikin layangan sampai berdarah-darah dan kena marah. Sungguh membekas di hati saya. Itu diikutkan dalam buku “BR“. Judulnya “Kita Bukan Maling“ halaman 9-12. Masa-masa sulit di waktu kanak-kanak, nggak bisa beli layangan, bikin sendiri lalu maling pagar orang. Atau kisah sepatu pak Tjip yang hanya sepasang. Hiks. Sama, pak ... sama ibu saya, kalau belum jebol atau sesak nggak bakal dibeliin dari pasar. Sekarang sepatunya banyak tetap masih ingat pengalaman dengan hanya sepasang sepatu. Masa kecil sulit tapi indah dikenang.
Buku dibagi dalam tiga bab; Catatan Hati, Kompasianer dan Tulisan, Inspirator dan Motivator. Catatan hati mengulas suka duka kehidupan pak Tjipta. Bab kedua, berisi tentang “Kompasiana Universitas Terbuka Multidimensi (Gratis)“, “Berkat Kompasiana, Nama Saya Dikenal di Kalangan Diplomat“, “Sepotong Kisah Hidup, dari Pedagang jadi Penulis“ ... dari situ, kita bisa tahu kekuatan Kompasiana sebagai energi yang ajaib bagi pak Tjipta, buat saya dan tentu ... Kompasianer semua. Tak jadi soal kalau ada anggapan miring terhadap blog keroyokan kita ini. Kalau niat baik, saya haqul yaqin, kembali baik. Kalau enggak, itu cobaan ujian Tuhan. Bagi Kompasianer new comer, yang baru mulai nulis setelah sekian lama jadi silent reader ... semangat, yak.
Bab terakhir memuat inspirasi dan motivasi bagi kita. Kalau kita selalu putus asa ketika berusaha atau berbuat sesuatu, bangkitlah semangat ketika membaca halaman 81-89 dari judul “Orang yang Pernah Gagal Adalah Calon Orang Sukses“ dan “Kunci Sukses Itu Sesungguhnya Ada di Tangan Kita“.
Inspirasi berdiri di depan jendela, membuka tirai pagi-pagi agar memberikan efek dan aura positif dalam diri di halaman 79 bab III berjudul „Kiat Agar Selalu Tampil dengna Aura Positif“, agak mirip dengan nasehat bapak saya. Berdiri tegak di tengah pintu ketika mau keluar rumah/bepergian, dengan menghirup nafas berkali-kali dan menghembuskannya. Mengeluarkan aura/efek negatif dan menghirup aura/efek positif. Mantranya ... Kutu-kutu walangataga ...
Suka dan tidak suka itu hal biasa dalam kehidupan. Walaupun demikian, pak Tjipta tetap mengingatkan kita untuk berbuat baik sekecil dan semudah apapun. Sepele memang tapi saya menyetujui kalimat pak Tjip: “Sangat mudah dilakukan, namun memiliki arti: “Saya menyukai karya Anda“. Suatu apresiasi dalam bentuk lain. Suatu tindakan kecil, tetapi bagi orang click “like“ hanya satu detik, tapi bagi orang yang menerimanya, merupakan kegembiraan tersendiri. Membuat orang lain gembira, merupakan suatu berkah bagi kita.“ Saya sepaham dengan beliau bahwa daripada sibuk mencari keburukan, ketidaksempurnaan, ketidaksukaan kepada orang lain lebih baik memberikan tanggapan positif. Kalau tidak bisa, lebih baik diam saja, menahan diri. Kalau sibuk mengumbar aura negatif, kapan kita akan berbagi aura positif? Meski pada segelintir orang, tak masalah. Saya sudah lama di Kompasiana ... memang tidak setenar, sepopuler, sefavorit, sehebat dan sebijak pak Tjipta tetapi kalau ada orang yang mengatakan betapa saya menginspirasi dan memotivasi Kompasianer, betapa bahagianya. Saya sudah bermanfaat! Bukankah itu indah? Lega rasanya. Bagaimana dengan Kompasianer? Mengkritik atau menyemangati adalah pilihan.
Kelebihan Buku:
Jika Kompasianer membaca buku “Beranda Rasa“, akan ada perasaan diberi nasehat, bukan digurui. Saya kira, dari tiga bab, pak Tjipta berhasil mengingatkan kita akan peribahasa; hidup itu memang sebaiknya bagai ilmu padi ... makin tua makin merunduk. Bukannya makin tua makin congkak.
Buku ini bermanfat bagi siapa saja, demi memberikan pencerahan dalam hidup. Belajar dari pengalaman pak Tjipta yang tidak serta merta disulap macam simsalabim abrakadabra. Apa yang pak Tjip raih selama ini, ada jatuh-bangunnya. Nggak pakai dangdut sih tapi luar biasa menggetarkan hati. Mak jlebbb.
Kedua, cover buku dengan warna kontras, sangat kekinian. Modern. Itu menarik perhatian orang untuk membaca. Meskipun ada yang bilang, “Don’t judge the book by its cover“ Tapi sungguh, melihat covernya saja, saya sudah bergairah untuk lekas membacanya. Apalagi membacanya... seperti mendengar pak Tjipta bertutur sendiri, adep-adepan.