"Wah kamu cantik banget pakai baju kedodoran ... Beli di rombengan ya?“ Ditariknya bajuku.
"Rombengan?" Haaaaaaaa ... Sakit sekali kalau dia bilang begitu, Di. Baju-baju yang selama ini kupakai adalah milik emak. Emak yang kucintai dan mencintaiku seperti matahari menyinari bumi. Hangat. Badan emak kecil, bajunya banyak yang kupikir muat. Emak juga kasih ijin karena untuk beli baju untukku, emak nggak ada dana.
"Lah iya, udah kegedean, warnanya udah bulukan tuuuuh ...hahahahha" Tawa Yohana disambut teman-teman. Cuma Markus yang tidak melebarkan bibirnya dengan lawakan yang nggak lucu bikinan Yohana. Ia memang pendiam dan paling baik padaku. Tak berapa lama, Markus buka suara;
"Kamu kalau ngomong kira-kira, dong ... Jaga kek perasaan orang. Kamu cantik, kaya tapi nggak punya hati ... Harusnya kamu malu pada Gadis. Dia pintar di kelas tapi nggak pamer harta kayak kamu." Badan Markus yang tinggi besar ada di hadapan Yohanna. Seolah melindungi badan kecilku agar tak tampak oleh Yohana. Yohana dan kawan-kawan mendengus, lalu meninggalkan kami ...
Aduuuhhh Markuuuusss ... cowok paling ganteng satu kampus yang menawan itu bikin aku deg-degan. Kok, dia membelaku ya, Di? Huuuu ... untung aku nggak GR.
Markus mengambil selembar tissue dari meja, entah tissue siapa. Dihapusnya linangan air mata yang membasahi wajah bundarku, Di.
"Nggak perlu kamu susah-susah bela aku, Markus ... Aku nggak papa." Entah kaget aka gembira atau malu ... aku tersipu. Yaaaa kalau saja kulitku seputih Yohana, bisa jadi pipiku semerah tomat. Keliatan kaaaan?
"Nggak papa gimana, kamu nangis. Itu tandanya kamu sedih. Yohana memang sudah kelewatan, aku pantas membelamu ..." Tatapan mata elang Markus menghujam hatiku yang barusan teriris lidah Yohana. Aku tersenyum, Di. Dalam sekejap, aku bisa melupakan kalimat Yohana tadi. Astaga, jaman itu aku norak banget, ya, Di .... Pandangan mataku nggak lepas dari Markus. Aduhhh mata mau copottt kaliiii. Apalagi jantung. Hahaha ... kalau ingat aku jadi malu sendiri. Kok, aku jatuh cinta duluaaaan, sih. Maluuuu!
Hiks. Hinaan Yohana itu belum seberapa, Di. Tahu kan, Di. Sepanjang tiga setengah tahun kuliah, aku jualan gorengan di kelas. Nggak heran kalau Yohana cs panggil aku "Wajan". Iya, wajan alias penggorengan, Di. Aku dulu pernah malu ... huhuuuuu. Akhirnya ... xixixi ... Kalau dipikir dia bener juga sih ngatain gitu.... Aku memang bau wajan.
Namanya juga usaha, Di. Shubuh habis sholat, aku membantu emak menggoreng ... ya; mulai badak, mendoan, pisang goreng sampai ketela goreng. Buntutnya, rambutku bau warung. Minyak-minyak apek, gitu, Di. Mau mandi takut telat. Tas kresek biasa kutenteng kanan-kiri. Waduhhh ... seperti keledai, ya. Ya, ampuuuun. Mana tas ranselku di belakang penuh buku pinjaman perpus. Bayangin nggak sih, Di. Naik angkot bawa barang segitu banyak. Mana badanku keciiiiil! Di dalam angkot orang pada melirik. Ke arah si pembawa gorengan yang panas dan harum. Iya, ke aku. Hahaha ... yang belum makan jadi lapar kali ya. Heu heuuu ...
Nggak nyangka. Dari uang jualan, aku bisa bayar kuliah, Di. Lumayan. Emak cuma PNS. Guru sebuah sekolah dasar di kampung. Gaji sampai mana, coba? Makan saja, kami dapat beras jatah. Iya, yang ada kutunya itu, Di. Mana baunya apek. Tapi biarpun begitu, menyelamatkan perut kami dari bahaya kelaparan. Memori.