“Buk, nggak kerasa, anak-anak sudah besar, ya? Rasanya baru kemarin ada yang teriak-teriak bilang "Nenen, Nenen..." sambil jalannya mau jatuh karena kakinya nggak kuwat jalan ... ehhh sekarang udah mau masuk sekolah lanjutan. Waktu cepet sekali.“ Sembari menyetir, suami saya rasan-rasan, berbagi rasa.
“Haha ... iya, pak. Anaknya udah gede. Sekolahnya nanti naik bus sendirian.“ Lirikan mata saya menuju tempat duduk di belakang, di mana bocah umur 10 tahun itu baru saja kami bawa mendaftar ke sekolah lanjutan.
OW. Saya bilang, pendaftaran sekolah lanjutan pertama di Jerman, tidak seseram yang dibayangkan. Ini bukan pertama kalinya karena kami sudah melakukannya ... dua kali, saudara-saudara. Kami pernah mendaftarkan yang nomor satu ke Gymnasium, kali ini ... adiknya di Realschule, satu level lebih rendah. Bagaimana mekanismenya?
[caption caption="Dari SD kelas IV ke Sekolah Lanjutan"][/caption]
Saran dari sekolah
Jerman memiliki pilihan bagi warganya. Kalau mau yang umum, memilih SD sampai kelas 4 saja. Kalau sudah lulus kemudian, terserah milih Hauptschule, Realschule atau Gymnasium. Hauptschule hanya sampai kelas 9 (kalau mau, sampai kelas 10). Realschule sampai kelas 10 (jika mau dan nilai bagus ya meneruskan lagi, bisa ke Gymnasium sampai kelas 12). Gymnsium, sampai kelas 12 atau 13 (tergantung tinggal di negara bagian mana di Jerman; G8 atau G9) dan bisa meneruskan kuliah.
Banyak orang tua yang khawatir dengan ketidaksiapan anak untuk pindah ke sekolah lanjutan pertama, menyekolahkan anaknya di Gesamtschule dari SD kelas 1-10. Banyak rumor warga yang mengatakan bahwa pemerintah Jerman hendaknya menilik lagi kebijakan sekolah SD sampai kelas 4 saja, yangmana, ini terlalu dikarbit. Anak masih kencur. Entahlah....
Kalau dilihat dari kesiapan mandiri memang berlebihan. Anak harus naik sendiri bus dari rumah sampai ke sekolah PP, pelajaran yang muatannya seperti melompat, banyak stress. Anak seolah-olah diajak berlari ketika terbiasa jalan. Saya masih ingat, waktu SD, merasa sudah matang ketika kelas VI dibanding kelas IV untuk mandiri ini itu. Apalagi anak-anak kami yang mbok-mboken ... apa-apa ... “Mamaaa ...“. Kalau saya dulu orang tua sibuk nggak ada yang ngurus karena harus cari uang, ya ... terpaksa dan terbiasa mandiri.
Oh, ya. Kenaikan kelas biasa terjadi di bulan Juli akhir. Disusul liburan musim panas selama 6 minggu sampai bulan September. Jadi, pada bulan Februari, orang tua murid diberi waktu untuk bertemu dengan guru wali kelas. Elterngespräch itu dijadwal 15 menit, gantian. Formulir permohonan jadwalnya diisi dua minggu sebelumnya. Disuruh pilih hari Selasa atau Rabu, dengan kurun waktu pukul 12.00-17.00.
Selama berbincang dengan guru, kami diskusi tentang questionair yang disebar sebelumnya. Daftar pertanyaan tentang sejauhmana orang tua mengenal potensi anak. Misalnya; apakah anak dianggap rajin belajar, apakah anak rapi merawat buku dan alat tulisnya, apakah anak perlu bantuan mengerjakan PR, apakah anak mau membantu temannya di kelas dan seterusnya, yang relevan dengan persiapan ke sekolah lanjutan. Jawaban hanya ditandai dengan simbol wajah (tersenyum dengan mahkota, tersenyum tanpa mahkota, garis mulut lurus, garis mulut ke bawah). Formulir dengan pertanyaan yang sama, diberikan kepada anak yang bersangkutan dan diisi.
Kedua formulir dicocokkan. Aiiiih. Rupanya, tidak jauh berbeda! Kata bu guru, yang paling njegleg atau berbeda jauh adalah formulir dari murid anak laki-laki. Mereka selalu menjawab semua pertanyaan dengan icon wajah tersenyum dengan mahkota. Padahal, misalnya, untuk pertanyaan yang sama, orang tua memberikan nilai wajah dengan garis mulut ke bawah, alias kecewa. Hahaha ...
OK. Di sana, kami diberitahu kelemahan dan kelebihan anak. Misalnya, anak kami tidak begitu pandai dan tidak begitu bodoh alias rata-rata, standar. Bakatnya adalah bahasa dan seni, bukan teknik atau eksakta. Rekomendasi itu adalah hasil konferensi semua guru di sekolah.
Untuk itu beliau dan sekolah merekomendasikan untuk sekolah di Realschule saja. Surat penekanan tentang hal itu akan dibuat secara resmi oleh kepala sekolah SD dan diberikan kepada orang tua. Nantinya, copy dikirim ke sekolah yang dipilih oleh anak dan orang tua.
Bagi anak-anak yang ingin sekolah di level yang lebih tinggi (Gymnasium) tapi rekomendasinya adalah Hauptschule dan atau Realschule, ia diharuskan mengikuti tes di Gymnasium. Jika gagal harus otomatis mengikuti garis nasib pada kertas yang sudah ditorehkan sekolah.
Proses Mendaftar di Sekolah Lanjutan
Sepertihalnya saat mendaftar di Gymnasium untuk anak nomor satu, untuk anak kedua yang pengennya dari tahun kemarin ke Realschule, juga membutuhkan pengisian formulir berisi data nama dan alamat anak serta orang tua, foto kopi surat kelahiran anak (bagi yang dari luar negeri atau lahir di luar negeri, dengan terjemahan ke bahasa Jerman dari penerjemah tersumpah dan pengesahan dari kedutaan Jerman). Wiii ... Rupanya rapor tidak dibutuhkan, meskipun nilai tengah semester sudah ada bulan Februari lalu. Sudah jelas nilai matematika, Jerman dan Inggris misalnya.... Lalu, no photo. Pas foto tidak diperlukan untuk pendataan pendaftaran seperti yang saya alami waktu SMP atau SMA di tanah air. Padahal siap-siap, sudah bawa.
Jadwal pendaftaran hanya dua hari, misalnya Rabu dan Kamis pukul 14.00-17.00. Antrian untuk mengumpulkannya berdiri, di depan kantor rektor. Petugas memeriksa barisan dengan menanyakan apakah sudah memiliki foto kopi surat kelahiran atau belum. Jika tidak ada, akan dikopikan gratis. Baik betul. Tadi mau menggandakannya, lupaaa ...
Selain yang antri, beberapa ibu dan bapak tampak sibuk di meja yang disediakan, mengisi formulir. Lupa bawa bolpen nggak masalah karena sekolah menyediakan di meja-meja. Kami sudah mengisinya dari rumah. Formulir diprint dari internet.
Tak berapa lama sejak kedatangan, giliran kami masuk. Di sana sudah ada petugas yang menyapa. Saya tidak yakin apakah perempuan itu kepala sekolah karena waktu ketemu dua tahun yang lalu bukankah kepsek berjenis kelamin laki-laki?
Si ibu memeriksa berkas kami (dua lembar surat data diri anak dan selembar pernyataan orang tua mendaftarkan anak) dan mencentang di daftar beliau. Lengkap. Beliau bertanya pada anak kami, siapa nama dan sekolah di mana. Sekolah yang dipilih memiliki program kelas bilingual (Jerman-Inggris) dan biasa. Wanita itu bertanya pada si anak mau yang mana. Anaknya nggak mau dua bahasa meskipun ia tertarik sekali dengan bahasa Inggris, takut matematika sudah nggak paham mana pakai bahasa pengantar bahasa Inggris. Tambah mumet. Meskipun demikian, anak tetap dipersilakan untuk ikut kelas presentasi tentang kelas bilingual seminggu kemudian, sebagai gambaran. Siapa tahu tertarik? Teman-teman sekampung banyak yang ikut.
Sebelum pulang, si ibu berpesan bahwa kalau semua beres, tidak akan ada pemberitahuan atau telepon dari sekolah. Alias diterima. Jadi kami dimohon untuk tidak khawatir. “Tahun lalu, banyak yang mendaftar jadi banyak nelpon sana-sini agar orang tua segera mengejar pendaftaran alternatif ke sekolah lain“, Ujarnya.
Sudah, gitu aja. Nggak berbelit-belit. Kalau bisa dipermudah, tak perlu dipersulit. Yup. Kami pun pulang. Paling 5-10 menit saja tadi, ya?
***
Memang masih bulan Maret dan masuk sekolah kelas V pada bulan September, rentang waktu tenangnya 6 bulan. Hmm saya yakin, itu berdasarkan proses. Butuh proses untuk memeriksa data dan memilih siswa yang diterima dan tidak. Persiapan yang tidak main-main.
Bagaimana dengan pengalaman kompasianer menyekolahkan anak ke sekolah lanjutan? Adakah rasa khawatir tidak diterima? Atau kekhawatiran khusus lainnya? Saya ingat ada uang gedung untuk sekolah swasta, uang seragam, uang ini-itu untuk beberapa sekolah di tanah air. Yah, jaman saya kecil duluuuu. Apakah sekarang masih ada? Untung di Jerman tidak ada pakaian seragam sekolah alias bebas rapi, orang tua tidak akan dimintai dana untuk pos itu. (G76).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI