[caption caption="Mengajar lansia Jerman. Apa alasan mereka kursus bahasa Inggris?"][/caption]Senin dan Selasa, minggu ini. Itu hari-hari pertama semester baru kursus bahasa Inggris A1 untuk 60+. Ya, ada plusnya karena memang diperuntukkan bagi orang berusia 60 tahun ke atas. Bukan berarti ada pijat plus-plusnya lhoooo .... saru, nanti ditibum.
Yup. Biasanya mereka itu pensiunan. Weee lah, kok? Sudah pensiun mau-maunya belajar bahasa Inggris, ya? Luar biasa, saya sangat kagum dengan mereka dan bangga bahwa mereka memilih saya. Uhuk-uhukkkkk. Batuk sikkkk.
Iya. Dalam brosur VHS setebal 110 halaman yang disebar ke pelosok kota sejak Desember 2015, pilihan kelas dan gurunya banyak, persaingannya ketat. Apalagi beberapa dari mereka adalah native speaker, kurang apa coba? Kalau saya maaaaah Janglish – Jawa English. Xixixixi ... wis ben. Yang penting sehat dan bahagia. Ya, nggak?
Nah, dari perkenalan peserta kursus di dua kelas saya itu, saya menyimpulkan ada 7 alasan mengapa lansia Jerman memilih mengisi waktunya dengan belajar bahasa Inggris:
1. Ingin keliling dunia
Beruntung bahwa suami dan saya adalah pecinta jalan-jalan. Hey, globe, we're coming. Xixixi. Sayangnya, karena anak-anak ada yang masih kecil, kadang suka rewel ... ya seret mau ke mana-mana. Jadinya kalau pergi yang deket-deket saja, keliling Jerman. Sak nyuk. Kalau agak jauhan ke luar negeri, biasa dibagi. Saya sendirian, saya sama anak-anak atau suami sendiri atau suami sama anak-anak. Kalau sekali kami berlima ke luar negeri, ya ampuuun ... bedhol desa. Sudah repot dan muahallll pula. Makanya, kami bertekad, kalau anak-anak sudah besar kami akan keliling dunia. Nabung duluuu.
Oh, ya. Prinsip keliling dunia kalau sudah tua, mengadaptasi kebiasaan lansia Jerman. Biasanya, ketika anak-anak sudah mandiri dan bisa ditinggal (kuliah, pindah, kerja atau menikah). Artinya, kalau ke luar negeri, setidaknya harus menguasai bahasa Inggris. Vera asli kota Villingen mengatakan bahwa ia pernah kebingungan di sebuah bandara suatu negara karena paham apa yang diucapkan petugas atau orang lain tapi menjawabnya ngelu. Kurang praktek. Untung, selamat sampai tujuan. Nggak salah kalau kini, ia mau kursus.
2. Biar otaknya tetap bekerja
Masih ingat cerita profesor saya yang tanya jam berapa, tapi di dua tangannya ada jam tangan? Atau ketika bapak saya tanya di mana kacamatanya tapi ternyata dipasang di atas rikma, rambut? Hahahaha ... saya yakin, masa itu akan datang pada saya. Tunggu saja nanti ...
Penyakit lupa tidak memilih asal negara. Lansia Jerman juga bisa lupa. Itulah sebabnya, beberapa murid saya, seperti Eva dari Immendingen atau Karl dari Nendingen belajar bahasa Inggris. Mereka mengaku, sudah pernah ikut kursus bahasa Inggris yang diadakan kantor waktu mereka belum pensiun. Yaaaa ... sekarang lupa. Untung kursus lagi. Seperti mengasah pisau biar tajam. Pisau kalau tidak digunakan ya, ketul tidak tajam. Bahkan bisa neyeng, karatan.
3. Malu sama istri, anak atau menantu
Beda lagi dengan Ute. Perempuan ayu itu mengaku malu. Mosok kalau diajak ngobrol sama calon menantunya (orang asing), ia hanya bisa menjawab “YES“, sama “NO“. Saat mereka jalan-jalan, wanita berambut blonde bermata biru itu mengaku sebel jadi kayak induk bebek yang ngikuti minti, anak bebek. Soalnya, mau mengungkapkan pendapat atau menentang, nggak bisa. Huuuh. Piye, jal? Ya ... kursus bahasa Inggris!
Bruno dari Tuttlingen, yang anaknya menikah dengan orang Inggris dan sesekali berkunjung, juga mengaku ... asli malu tingkat tinggi! Mosok, diajak cucunya yang imut-imut ngobrol, cuma bisa mantuk-mantuk. Si cucu sudah nyerocossss nggak putus-putus, embahnya ling-lung. Setelah 1 semester belajar, ia ketagihan. "Ikut lagi, donggg." Begitu serunya.
Sedangkan Klaus dari Tuttlingen, belajar Inggris karena malu sama istri, yang sudah lebih duluan belajar bahasa Inggris. Si istri kalau ngomel-ngomel pakai bahasa Inggris. Klaus mau ganti ngomel atau jawab atau marah gimanaaaa ... orang nggak paham. Makanya, kursus tapi nggak mau sekelas, takut saingan. Gimana, Klaus? Sudah bisa ngomel pakai bahasa Inggris kan? But please ... don't use those dirty words.
4. Diajak saudara/teman/kenalan
Ada tipe orang yang ikut-ikutan, tut wuri handayani. Ada yang suka di depan menjadi pemimpin, pencetus atau ing ngarsa sung tuladha. Namanya juga orang ya ... lain-lain, nggak papa.
Lisl, adalah pemilik sebuah restoran di Bucheim, sudah berumur 63 tahun. Keinginannya ikut kursus karena diajak kakak ipar. Sang kakak pernah mengutarakan cita-cita keliling dunia waktu acara minum teh sambil makan kuweh, Kaffe trinken. Tapinya, tanpa bahasa Inggris bagaimana? Kurang joss, tho? Akhirnya, kakak ipar tak lagi sendirian kursus bahasa Inggris karena adik ipar, kepincut ikut. Tariiiiik.
5. Dapat hadiah voucher kursus
Siapa sih yang menolak dikasih voucher? Rejeki tuhhhh. Seperti Wolfgang yang mendapat voucher kursus bahasa selama satu semester di kelas bahasa apapun dan ia memilih saya. Uhukkk (lagi).
Yang ngasih adalah lembaga VHS. Saya kurang awas mendengarkan, mengapa VHS memberinya kado itu. Nah, karena gratis, ya, dimanfaatin. Mosok dibuang? Yang pengen dikasih saja, barangkali antri kannn? Hampir setara dengan 300 €.
6. Agar tidak bosan di rumah
Menjadi tua itu biasa, menjadi dewasa itu pilihan. Kata iklan lhoooo ...
Siap tidaknya seseorang menjadi tua dan berada di rumah tanpa aktivitas dan sendirian, pastinya beda dari masa muda dan kesibukan yang dikerjakan. Kalau Kompasianer beda yaaa .. kan nulis di Kompasiana. Xixixixixi.
Namanya lansia apalagi sudah duda atau janda dan anak-anak sudah mandiri dan hidup terpisah dengan orang tua, pasti hidup terasa bosan. Sepi, sunyi, senyap, sendiriiii ...
Daripada nglangut, ada baiknya memilih kegiatan baru di luar rumah. Itu kata Cvejka yang ngaku dari Yugoslavia (sekarang apa ya, nama negaranya?). Pikirnya, kursus bahasa Inggris tak hanya mengusir bosan, membunuh sepi ... tapi juga cakap berbahasa inggris.
7. Mencari lingkaran pertemanan baru yang cocok
Ute dari München mengaku, teman-teman barunya di kelas bahasa Inggris pagi tadi sepertinya menyenangkan. Maklum, tinggal di kota sekecil Tuttlingen, beda sama sarang tim Bayern München. Awalnya, motivasi utama belajar Inggris adalah karena malu, meningkat menjadi mendapat teman baru yang asyik. Biar betah di Tuttlingen, nggak balik ke metropol.
Hmmm ... Hidup tidak hanya urusan perut dan kebutuhan pribadi lain. Sosialisasi juga penting digalakkan.
Pengakuan alumni-alumni tahun pertama saya mengajar (Berchtold, Alexandria dan Claudia), meski mereka sudah tidak melanjutkan kursus lagi, pertemuan dengan teman-teman kursus masih berlangsung. Bukankah itu indah? That’s what friends are for.
***
Berdasarkan pengamatan kacamata saya, selama setidaknya 2 tahun mengajar di Volkshochschule Tuttlingen, 7 alasan tersebut masih akan berlaku bagi para peserta semester-semester berikutnya. Artinya, itu-itu lagi yang akan jadi alasan mereka belajar bahasa Inggris. Kenapa bukan bahasa asing lain? Ada siiiih lansia yang belajar bahasa Rusia, Perancis dan Italia di VHS, tetapi bukankah bahasa Inggris itu bahasa internasional? Sekali paham mak wussss ... mendunia. Cieee ...
Bagaimana dengan kompasianer? Apakah Anda sudah menguasai bahasa Inggris tak hanya pasif tetapi juga aktif? Atau “litle-litle I can“ dan “no what-what“? Ayo. Bergabunglah bersama club, kursus, lomba, pertemuan atau apa saja yang bisa mendukung Anda untuk memilikinya, mengasahnya. Yes, we can. Eman-eman kalau sudah bisa tapi mampet eh maksudnya nggak pernah dipraktekkan lalu wes hewes-hewes bablas, ilang!
Tak hanya anak muda di tanah air kita ... lansia Indonesia jangan sampai kalah semangat. Wong lansia Jerman saja semangaaaat. Let’s explore English. It’s time! Nunggu apa? (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H