“Ihhh ... malu, ah.“
“Lho, kok malu?“
“Anaknya gimana?“
“Nggak boleh masuk, bu. Dititip di Caracalla. Kalau nggak dipakai, nanti gosong. Aku nggak mau, buk.“ Suami saya memandangi anak-anak. Ya ... mereka geleng. Anak-anak nggak mau dititipin di Caracala, pemandian di sebelahnya yang punya “Kinderbetreuung“, tempat penitipan anak. Intinya, anak-anak mau ikut renang tapi nggak mau lihat orang telanjang. Hahaha.
“Ya, sudah. Ditanyakan lagi enaknya gimana.“ Kalau travel bersama memang beda dengan travel sendiri. Banyak suka-dukanya. Orangnya banyak, isi otaknya beda-beda, maunya lain-lain. Harus diskusi, nggak asal eksekusi....
Untunglah, kasir menyarankan untuk menukarnya dengan tiket berenang di pemandian Caracalla. Artinya, anak-anak di atas tujuh tahun, boleh nyegur. Kami meninggalkan Friedrichsbad, menuju Caracalla Therme. Horeeee ....
Caracalla Therme dibangun tahun 200-an, jaman Romawi. Reruntuhannya masih bisa dilihat sampai hari ini. Dari pemandian Caracalla modern lantai satu, turun ke bawah, ke arah parkir lalu ada pintu di sebelah kanan. Tertulis “Ruine“.
Kolam renang yang sudah sejak jaman Romawi 1869-1877 dengan gaya neurenaissance itu, begitu cantik menarik mata. Mengimitasi Caracalla jaman bahula. Coba saja pandang patung pualam di sisi kanan dan kiri. Kalimat Goethe, pujangga Jerman; "Wünderwirkend, strümt die Welle strümt die heisse Dampf der Quelle“ atau Keajaiban, gelombang dan air panas dari perut bumi.
Oh, ya. Di dalam Friedrichsbad, orang boleh renang telanjangnya di tiga ruang, sesama jenis kelamin di dua ruangan dan satu ruangan di tengah-tengah dengan kubah yang indah, untuk ganda campuran. Haha ... nggak bisa bayangin kalau nyebur di kolam mix.
Aturan di sana adalah:
1. Harus telanjang