“Kamera saya kenapa ya, mbak?“ Tanya saya pada mbak Selsa yang baru saja saya minta bantu memotret di acara bedah buku “Bertahan di Ujung Pointe“ di Semarang, 22 Agustus 2015. Kamera saya sudah disetting otomatis tapi nggak bisa dipencet! Ihhh ... Hanya bisa manual, tangan harus sibuk menentukan fokus sampai gambar tak lagi buram. Kalau sudah biasa otomatis terus harus manual, kadang kehilangan momen karena kelamaan muter-muter lensa sampai pas. Kerepotan tak hanya saat mengambil gambar tapi juga video.
“Nggak tahu, ya ... Saya nggak apa-apain, kok“ Bunsel juga ikut heran.
“Mungkin jatuh atau apa ya, waktu di Bali ...“ Ceroboh bisa jadi karena selama 6 minggu di Indonesia, banyak kegiatan wara-wiri dari kota ke kota. Kadang nggak awas dan cepet-cepet. Saya pandangi kamera kesayangan, hadiah dari suami tercinta.
Sesampai di Jerman, saya tanya suami soal kamera berperilaku aneh itu. Suami search di internet.
“Barangkali kawatnya putus ...“
“Kawat? Jemuran kaliii ...“ Saya nggak ngeh. Kalau sudah diajak ngobrol soal teknis ... nyerah!
“Itu lho, buuuuk ... mirip kawat yang buat menggerakkan setting otomatis. Yang bunyinya ... tit-tit ... tit-tittt. Dia kan mengatur sendiri waktu disetting otomatis. Maju-mundur ... maju-mundur ... sampai pas baru klik, ambil gambarnya. Kameranya sudah lama, dipakai terus. Lama-lama aus, kawatnya putus. Biasa.“
“Ohhh, gituuuuu ...“ Manggut-manggut sambil masih juga melanjutkan mikir apa katanya ....
Dipesannya bahan yang diperlukan di ebay. Harga Spareparts-nya 7,50€, ongkir 4 €. Total 11,50€. Tiga hari kemudian, sudah di rumah. Ia pun melakukannya. Barang lain yang diperlukan adalah dua tusuk gigi, lampu meja yang terang dan obeng kecil untuk membuka mur kecil.
Setengah jam kemudian....