Masih ingat lagu dangdutnya Meggy Z?
“... Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini ... biar tak mengapa“
Bohooooooong. Sakit hati sama sakit gigi sama sakitnya, lho. Jangan pernah berandai-andai sakit gigi! Bagi yang sudah pernah sakit hati dan sakit gigi seperti saya, bisa bilang No, way ... ngapusiiii ... enak sehat lahir batin. Nggak mau patah hati ... nggak mau sakit gigi.
Nahhh ... Perasaan yang sama pasti ada di batin para pasien yang sedang antri 28 Desember 2015 sejak pukul 10 pagi di sebuah Notartz Dients di Geisingen wilayah Baden Württemberg, Jerman. Lantaran semua dokter gigi di Landkreis Tuttlingen tutup sejak sebelum natal dan baru buka tahun depan (4 Januari 2016), dokter X itu yang ditunjuk untuk menggantikan peran dokter-dokter yang praktek di wilayah. Dibatasi sampai pukul 11.00 daftarnya. Bayangin kann, kalau di Tuttlingen ada 20 dokter gigi, sudah berapa pasien yang akan berbondong-bondong datang ke dokter gigi pengganti selama mereka libur?
Banyaaaak, padat dan ... ahhhh ... sampai saya dan anak-anak harus berdiri. Beberapa orang Jerman malah jongkok, sembari menemani anak-anak mereka bermain di meja mini (Kinderecke).
Saya ingat cerita anak yang nomor dua yang menunggu di ruang tunggu selama kami di dalam bersama anak ragil. Katanya seorang pengungsi dari mana gitu duduk di sebelahnya dan tanya:
“Do you speak English?“
“No, I don’t speak English ...“
“Do you speak German?“
“Yes, I speak German ...“
Akhirnya, orang dewasa yang membawa anak perempuannya itu lesu. Ia bingung harus mengisi selembar daftar pertanyaan tentang data diri dan riwayat kesehatan yang tadi disodorkan oleh petugas.
Makanya, kalau tidak belajar bahasa Jerman berarti tak bisa integrasi di negeri Jerman hingga akan mendapat banyak kesulitan. Para pengungsi atau siapapun yang berniat tinggal di Jerman harus belajar bahasa Jerman karena bahasa Inggris kadang tidak berguna.... Ada wacana bahwa pemerintah Jerman akan memulangkan pengungsi yang tidak mau segera mengikuti kursus bahasa Jerman.
Kembali lagi soal cerita gigi. Itu tadi suasana akhir tahun di Jerman, saat praktek dokter gigi semuanya tutup! Wah ... bagaimana kalau di Indonesia semua dokter gigi di kota-kota pada libur dua minggu di akhir tahun seperti di Jerman? Bisa-bisa gelar tikarrrr ....
Akhirnya, setelah dua jam antri, anak kami dipanggil. Eeee ... sudah masuk, anaknya mau duduk dan mau diperiksa lalu mau disuntik malah nggak jadi dicabut giginya karena nangis kejer. Katanya tiba-tiba berubah takut.
Memang di Jerman, dokter gigi di kota manapun bilang berkali-kali bahwa mereka tidak boleh memaksa anak untuk melakukan praktek apapun kalau anaknya nggak mau. Meski orang tuanya yang maksa dokter, tetap tidak bisa. Buka mulutpun kalau sudah tidak mau dengan berbagai cara, tidak boleh dipaksa. Finish!
Haaa ... ya sudah.
Pulangnya, saya pesan lagi ke anak-anak. Jangan meniru mamanya yang waktu kecil malas sikat gigi dan periksa dokter. Tuanya tanam gigi-gigi yang harganya bisa ditukar mobil. Mereka juga punya resiko tinggi sakit gigi karena suka yang manis-manis. Memang mereka tak lupa sikat gigi dua kali sehari, periksa gigi rutin minimal setiap 6 bulan sekali tapi mungkin kurang ... saya kurang awas kalau habis makan manis lupa disikat tak perlu menunggu nanti-nanti (pagi setelah makan pagi dan malam sebelum tidur).
Nggak asyik ah, sakit gigi, apalagi di akhir tahun. Selamat menyongsong tahun baru, semoga giginya nggak bermasalah. Kesehatan memang nomor satu, lainnya menyusul. Semoga tetap sehat dan bahagia di tahun 2016. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H