Sekarang? Satu yang kuyakini, ada persamaan antara aku dan Nina. Kami punya pria gay yang kami cintai. Dan kami ... tinggal se-apartemen sampai batas waktu yang ahhhhhh ... aku sendiri tak tahu. Bahkan kadang-kadang, kamu ada di antara kami, Gie. Hingga di luar sadar, kukuliti semua gayamu. Kamu masih seperti dulu, Gie.
***
“Ya, ampuuuun, Annnaaa ... bau harum makanan. Kamu masak apa pagi-pagiiii? Ini jam berapa sihhhhh?“ Nina yang masih berdaster merah jambu motif hello kitty itu keluar dari kamar. Tangannya mengucek mata. Sesekali menghilangkan pasir tidur di ujung matanya yang mirip almond.
Kursi jati beraksen emas itu ditariknya. Kemudian, ia terduduk, sedikit meregang kedua tangan dan menyapu rambut cepaknya dengan jemari.
Ah, Nina. Kuamati dia lekat-lekat. Dia memang gadis manis, belum mandi dan rambut awut-awutan tadi saja, tetap menarik. Seperti kamu, Gie. Aku suka. Suka sampai mati. Sumpah!
Kulirik sandal hello kitty-nya. Senyumku mengembang. Nina memang imut. Kalau saja aku jejaka, pasti aku tak segan beri dia cinta. Biar kuselimuti dia pakai kaos oblong ekstra size ala kamu, Gie. Ohhhh. Untung saja aku wanita. Cintaku hanya untukmu, Gie. Sungguh. Sampai kapanpun.
“Annaaaaa ... ditanya malah bengong“ Nina menggerakkan tangannya di depan wajahku. Sekali. Hanya sekali, Gie ... tapi sudah mampu membuyarkan lamunan yang tercipta tadi.
“Eh, maaf. Iya, aku bangun Subuh. Kupikir, nggak ada kerjaan, iseng di dapur. Hasilnya? Taraaa ... Sarapan spesial hari minggu ala Miss.Anna; crepes coklat pisang tabur keju. Sandingannya, susu coklat hangat.“ Kubuka tudung saji warna merah muda berenda di atas meja. Sengaja tak kusajikan white frappe kesukaanku. Biar curiga tak perlu hadir. Ya. Masih terlalu dini.
“Waduhhh ... kamu ituuuu ... sudah cantik, lembut, feminin, pinter masak lagi. Pasti banyak pria yang jatuh hati padamu. Nggak kayak aku. Aku mana bisaaaa? Paling juga bikin roti bakar pakai mesin toaster sama telur mata sapi, udah. Hmmm ... Crepes. Pasti nendang, tuh. Eh ... Nugie mana?“ Nina celingak-celinguk.
“Tahu ...“ Angkatan pundakku mengiringi ujung mata yang terbuang, memandang kamarmu. Kamar di mana kamu sesekali bermalam di akhir pekan.