Satu, dua, tigaaaa ... hap! Aku tak patah arang. Gerakan kupercepat, hingga Tobby tak mampu menghalangiku masuk ke ruang tamu. Di sana ... tergeletak makanan dan minuman. Air liurku tumpah dan tak kuasa mengudapnya segera. Ya. Sampai habis. Suara geram dari penghuni lama itu terdengar seperti bunyi gempa kecil di rumah ini.
Aaaaa. Dari belakang, Tobby menubrukku. Menggigit leherku yang berkalung biru.
"Aduh sakittt, Tobby" Kepalaku puyeng. Kupandangi beberapa buluku beterbangan di udara. Aku khawatir, jangan-jangan kulitku botak. Aku masih muda!
"Rasakan pembalasanku atas kekurangajaranmu, Beagle bodohhh..." Anjing yang umurnya 10 tahun itu badannya dua kali lebih besar dariku. Ras Doberman yang dua kali lebih tua dariku itu memang berdarah dingin. Dasar tak berperikehewanan!
"Tolongggg ... ampuuuun, Tobby" Kulawan tapi sia-sia. Kucoba teriak minta tolong pada nyonyaku. Nyatanya, ia tak mendengarkan lolonganku ...
Aku menyingkir, ke dapur yang dingin dan bau anyir. Oh, nyonya pasti baru saja pulang dari pasar mingguan di alun-alun yang digelar tiap jumat. Seember ikan masih ada di meja, belum masuk kulkas. Hiiiy ... bukan makanan kesukaanku!
Beagle, itu rasku. Anjing rumahan yang berkepala batu. Namaku? Charlie! Nama yang lumayan cakap, bukan? Sayang, Tobby tak pernah memanggilku begitu.