Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membatik di Depan Publik Jerman

13 Oktober 2015   20:48 Diperbarui: 14 Oktober 2015   09:07 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keterangan Gambar:Promo Membatik (kanan atas)/Dok: Helen

 

Dalam perbincangan dengan diaspora Baden-Württemberg, disepakati beberapa orang akan menari. Diantaranya saya. Eeee ... lha kok mbak Emanuelle Helen usul, saya disarankan mbatik buat show off. Kayak di pasar Bringharjo Yogja katanya. Walah, mbaaakk ... baru juga belajar. Masih anyaran, ting clepret hasilnya. Kadang kenyonyos malam sampai mringis.

Mulut memang kadang lebih cepat dari otak. Dan ketika otak saya beberapa menit kemudian bekerja, saya berpikir “Kenapa tidak? Bukankah festival kami itu tempat yang pas buat pamerkan kekayaan budaya Indonesia?“ Hayokkkk.

Setelah didorong-dorong dari jauh oleh mbak Helen lewat FB dan email, akhirnya saya mau juga. Terbujuk. Walahhhh ... mau nggaya mbatik di depan publik Jerman!


 begini hasil cantingan bolak-balik Dok: Noni Trenkwälder

 

 

cara mencanting dengan posisi canting yang benar/Dok: B69

 

"serbuk warnanya kayak apa sih?"/Dok: B69

 

Awas kompor njebluk

Beberapa hari sebelum hari H, saya baru diingatkan suami:

“Sudah tanya sama panitia, boleh nggak pakai kompor, nanti kalau ada kecelakaan atau kebakaran gimana? Main api hangus lho, buk.“ Biasa, orang Jerman pasti harus eksak. Harus teliti dan detil. Ada baiknya juga.

“Ohhh ... iyaaaa.“ Baru ingat kalau untuk membatik, saya pakai malam yang dipanaskan di atas wajan yang dipanasi kompor cilik, yang menyala terus, meski dengan api kecil. Segera saya hubungi panitia. Mbak Andi juga baru ingat. Iya ya, kann mbatik pakai kompor???

Seingat saya, ada kompor elektrik. Saya usul bagaimana kalau pakai itu saja. Lebih aman. Nggak ada apinya, cuma panas dari kabel listrik. Mbak Wiwin kebetulan punyak. Habis perkara. Semua terkendali. Acara mbatik tak jadi batal.

Sayangnya, yang jaga aula bilang, itu tetap berbahaya karena banyak orang di ruangan. Kalau terjadi apa-apa malah kacau. Ya, sudah, solusinya, dipanaskan di dapur.

“Tapi ... biasanya, malam dan wajan harus selalu di atas kompor agar panas dipertahankan kalau tidak, dia tidak mau mengalir dari canting menuju kain mori.“ Saya masih ngeyel. Meniru kalimat dari guru saya; pak Slamet, Bu Slamet dan mas Hanif. Rayuan untuk menggunakan kompor elektro, gatot.

Jerman memang sangat memperhatikan segi keselamatan. Kalau ada bakar-bakaran, berarti harus panggil tim pemadam kebakaran (Feuerwehr) yang siap sedia atau ada tangki semprot api (Feuerlöser). Repotttt.

Penonton kecewa

Setelah rampung membawakan tari Bali, Manokrawa (di mana mahkotanya ketat mengikat kepala dan rambut), saya ganti baju lagi. Kebaya Jawa modern warna merah berpayet warna melang-meling. Harusnya, enak setelah tari Gambyong lalu mbatik tapi karena jadwal diubah, ya, sudah. Pusing nanti panitia, gonta-ganti jadwal terus. Walhasil, sasakan saya rusak. Jeleeeek sekali. Nggak papa, yang penting praktek mbatiknya bukan hanya penampilan.

Barang-barang sudah disiapkan. Mbak Andi menyarankan saya memasak malam di dapur lalu ada yang angkat ke panggung kalau mau dipakai.

“Pak, malamnya...“ Suami yang duduk paling depan seberang panggung saya kode.

“Di mana?“ HP segera dimasukkan ke saku, ia berdiri.

“Dapur ... dipanasin lagi ya?“ Pinta saya. Belahan jiwa saya segera mengabulkan komando saya. Mengambil wajan isi malam.

Mulut saya segera komat-kamit sembari memegang microphone, menerangkan bahan dan alam membatik serta proses membatik. Tak berapa lama, suami datang dan wajan ditaruh di lantai, saya senang.

“Nah, malamnya sudah ada. Mari kita praktek. Ayo siapa tiga orang yang mau maju untuk praktek nyanting?“

Tak sampai 5 menit, sudah ada tiga orang; satu orang India dan dua orang Jerman.

“Waduhhhh ... kok malamnya nggak bisa, sudah dingin, lengket! Dipanasin lagi, pak.“ Lagi-lagi saya minta suami untuk memanaskannya. Memang membatik harus dengan kompor menyala sehingga pemanasan malam rata dan cair terus. Tahu kann, udara Jerman dingin ...“ Wah, maaf, ternyata sudah kaku. Nggak bisa untuk membatik. Lain kali ya?“ Saya minta maaf pada ketiga ibu dan hadirin. Acara praktek mbatik nggak jadi beneran karena malam tidak bekerja sempurna di dalam canting. Mereka sedih. Sedih sekali. Kesempatan langka, eee ... malah batal. Canting (isen, klowongan dan nemboki), dikembalikan ke kotak saya. Nggak jadi nyanting.

Akhirnya, hanya proses pewarnaan (dari cantingan kain yang saya buat terdahulu) dan blah-blah ... cerita proses pembuatan batik. Contoh hasil membatik dan seterusnya. Terima kasih untuk Diah, Tristan, Aliyah dan Chayenne yang membantu di panggung untuk mencampur serbuk warna dengan air. Wah-wahhh ... membatik tak hanya butuh kesukaan tapi juga kesabaran. Untuk menyelesaikan batik sebesar sapu tangan kecil saja, saya butuh 3 hari. Sehari untuk menggambar dan menyanting, sehari ngemblok dan mewarnai, sehari semalam untuk pengeringan setelah diwarnai tadi. Lah kalau 2 meter seperti kain untuk bawahan kebayak? Tambah lama kaaan? Kalau sudah profi, cepet. Saya baru pemula, belajar. Pakai lama.

Nah, makanya kalau batik saya sudah jadi, mau dibeli orang semahal apapun nggak bakalan mau. Sudah jelek, bikinnya lama pula. Haha. (G76)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun