Awas kompor njebluk
Beberapa hari sebelum hari H, saya baru diingatkan suami:
“Sudah tanya sama panitia, boleh nggak pakai kompor, nanti kalau ada kecelakaan atau kebakaran gimana? Main api hangus lho, buk.“ Biasa, orang Jerman pasti harus eksak. Harus teliti dan detil. Ada baiknya juga.
“Ohhh ... iyaaaa.“ Baru ingat kalau untuk membatik, saya pakai malam yang dipanaskan di atas wajan yang dipanasi kompor cilik, yang menyala terus, meski dengan api kecil. Segera saya hubungi panitia. Mbak Andi juga baru ingat. Iya ya, kann mbatik pakai kompor???
Seingat saya, ada kompor elektrik. Saya usul bagaimana kalau pakai itu saja. Lebih aman. Nggak ada apinya, cuma panas dari kabel listrik. Mbak Wiwin kebetulan punyak. Habis perkara. Semua terkendali. Acara mbatik tak jadi batal.
Sayangnya, yang jaga aula bilang, itu tetap berbahaya karena banyak orang di ruangan. Kalau terjadi apa-apa malah kacau. Ya, sudah, solusinya, dipanaskan di dapur.
“Tapi ... biasanya, malam dan wajan harus selalu di atas kompor agar panas dipertahankan kalau tidak, dia tidak mau mengalir dari canting menuju kain mori.“ Saya masih ngeyel. Meniru kalimat dari guru saya; pak Slamet, Bu Slamet dan mas Hanif. Rayuan untuk menggunakan kompor elektro, gatot.
Jerman memang sangat memperhatikan segi keselamatan. Kalau ada bakar-bakaran, berarti harus panggil tim pemadam kebakaran (Feuerwehr) yang siap sedia atau ada tangki semprot api (Feuerlöser). Repotttt.
Penonton kecewa
Setelah rampung membawakan tari Bali, Manokrawa (di mana mahkotanya ketat mengikat kepala dan rambut), saya ganti baju lagi. Kebaya Jawa modern warna merah berpayet warna melang-meling. Harusnya, enak setelah tari Gambyong lalu mbatik tapi karena jadwal diubah, ya, sudah. Pusing nanti panitia, gonta-ganti jadwal terus. Walhasil, sasakan saya rusak. Jeleeeek sekali. Nggak papa, yang penting praktek mbatiknya bukan hanya penampilan.