Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Siri

2 Oktober 2015   16:41 Diperbarui: 3 Oktober 2015   18:27 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Gaganawati - No.8

 

Kalender; 1 Januari 2014.

 

“Aku cinta kamu, Lea“

Seperti ada suara halus yang menggugahku dari tidur. Aku terduduk. Kucoba buang gusar di antara sibakan tirai jendela kamar.

Pintu kubuka lebar. Dari balkon, terlihat gereja tua model gothic warna abu, St. Peter. Lonceng menggeleng ke kanan dan ke kiri, memberi efek suara khas yang memecah sunyi.

Ah, hari gerimis. Lamunanku terbuang jauh sampai ke ujung. Aku resah, jangan-jangan yang membasahi wajahku kali ini adalah tangis dari bola-bola mataku yang biru. Buru-buru aku masuk ke dalam kamar lagi. Tak boleh mengundang gerimis menghujam kulitku. Tidak satu pori pun.

“Kriiiinggg“

Ohhh ... Kaget, telepon berbunyi.

“Pagi, tuan putri. Selamat ulang tahun“ Suara yang kukenal di seberang sana, menyapa lembut. Jiwaku risau memaparkan suka dan duka, layaknya kucing dengan anjing.

“Pagi, hunny."

"Nanti sore jam 4 aku jemput kamu. Aku antar ke salon. Rambutmu sudah berantakan. Malu, ah. Habis itu kita pesta di Kafe Engel.“ Franky menghela nafas. Beberapa detik kemudian, seolah ada yang terhembus di seberang sana. Pasti cerutu Kuba terkutuk itu!

“Tapi aku suka yang nggak macem-macem, Franky“

“Tidak denganku. Katakan kamu cinta aku lalu turuti. Ini demi masa depan kita. Jam empat, ya“ Nada bicara Franky meninggi. Aku takut.

“Aku cinta kamu, Franky. Demi masa depan kita ....“ Pelan tapi pasti, aku katakan.

 

Kudengar bunyi klik. Seperti biasa, Franky merasa paling wajib pertama menutup percakapan kami

*

Dia, Frank. Franky adalah nama kesayangan yang diberikan mamanya, Frau Schmetterling. Pria Austria yang baru saja kupacari setahun itu, anak pemilik pabrik minuman anggur “Hexe“ yang terkenal. Mama si Frank adalah teman mamaku di klub fitness di kawasan Wina. Dari wanita berkacamata plus itulah, kami berkenalan, berteman lalu pacaran.

Awal-awalnya, kuakui aku sungguh terpesona pada pandangan pertama.

Tak ada hero bermata setajam elang seperti milik Frank. Hanya Frank!

Tak ada seorang pria-pun dalam hidup yang selalu menghujaniku dengan bunga. Hanya Frank!

Tak ada seorang lelaki di dunia ini yang selalu menanyakan kabarku setiap hari. Hanya Frank!

Tak pernah kutemui pria sesempurna Frank. Sungguh, tidak pernah.

Tapi entah mengapa, lambat laun, ada yang berubah darinya. Mulai ngatur-ngatur! Anehnya, kok, aku nurut ya? Seperti sapi yang dicocok hidung. Apakah karena mantra cinta yang ia tebar di telingaku?

Mulai kuingat satu persatu kalimat yang biasa diproduksi mulutnya yang bau tabak itu. Terbuka sudah buku-buku ketidaksempurnaan Frank, begitu sempurna teraba olehku.

Tuhan, sumpah mati, ia tak berhenti juga mengubahku....

“Aku sudah konsultasi sama dokter Andre, katanya semua bisa diatur. Dadamu akan dibuat secantik mungkin. Sesuai yang aku mau.“ Tanpa persetujuanku, Frank sudah membuat janji dengan dokter bedah. Meski profesiku sebagai model, kuanggap belum perlu operasi apapun yang ingin kujalani. Bukankah kekhas-an, membawa rejeki?

“Bagiku, ukurannya sudah cukup, sepanjang sehat, hunny.“

“Percayalah, ini bukan hanya untukku, untukmu juga.“

“Aku nggak papa, Franky.“

“Sudahlah, hari Selasa jam 10 pagi. Di klinik dokter bedah Andre Schwarz. Katakan kamu cinta aku lalu turuti. Demi masa depan kita.“

“Aku cinta kamu, Franky. Demi masa depan kita ...“ Lirih aku ucapkan.

Ahhhhhhhhhhh. Mantra itu lagiiii!

Entah mengapa lagi-lagi aku mengatakannya, melakukannya. Menuruti apa kata Franky. Bahkan perintahnya sanggup membatalkan acara rutin minum teh dengan teman-teman baikku. Meninggalkan mama yang sedang butuh teman karena peran papa sudah tak genap lagi.

Yang paling ganjil, semua bertentangan dengan kepribadian dan pandangan hidupku. Aku jadi aneh. Aneh sekali. Seperti boneka. Aku jadi boneka si Frank!

Sama halnya ketika suntikan botox berhasil menjalari syaraf wajahku.

Seperti halnya operasi hidungku, yang kata Frank terlalu besar dan terlalu tinggi.

Begitu pula saat Franky meminta pantatku berubah bagai buah pir, bukan buah anggur yang kecil tapi manis itu.

 

“Plastik. Aku gadis plastik!“ Kurutuki diri di depan cermin berukir emas.

 

Betul, Frank yang menutup semua biaya.

Betul, karena perubahan dalam tubuhku, kontrak yang kuterima seperti hujan emas. Pundi-pundiku kian terisi.

Betul, fansku tambah banyak dan makin terkenal saja.

 

Bukan, ternyata bukan itu yang ingin kuraih. Aku ingin jadi diriku sendiri! Apa adanya, bukan mengada-ada apa yang sebenarnya tiada.

Uhhhhhhh .... Kadang aku lelah tapi tetap saja tak sanggup menghilangkan mantra yang Franky gaungkan padaku selalu “Demi masa depan kita.“

*

Hingga datanglah sebuah koma dalam jiwaku. Mama seperti membaca pikiranku. Perempuan yang beberapa waktu lalu pernah jadi mama tercantik dan tersibuk sedunia itu mendatangi kamarku. Nggak biasanya ...

“Kamu beneran seneng dan serius sama Franky?“ Mama memijat kakiku. Waktu kecil, mama memang biasa menyentuh kaki-kakiku di atas kasur, sebelum tidur. Kebiasaan yang menghilang saat aku beranjak dewasa.

“Cinta mati, mah.“ Mataku terpejam. Senyumku melebar, sebentar kemudian, menciut.

“Maksudmu cinta bersyarat?“

“Kok bilang gitu, ma?“ Mataku terbuka. Kaget dengan pertanyaan mama barusan.

“Asal kamu menuruti semua syarat-syarat yang ia ajukan, itukah makna cinta yang kalian elu-elukan?“

“Mama nggak seneng ya, Lea main operasi?“ Merajuk. Aku merajuk. Dulu, kalau aku merajuk, mama menghadiahiku coklat Milka isi kacang mete dan wajahku berubah.

“Sejak kamu lahir sampai sebelum kamu operasi ini-itu, mama mencintaimu apa adanya, sayang.“

“Mama lihat kan, makin banyak tawaran iklan karena Lea berubah. Temen Lea tambah banyak, Ma. Lihat saja facebook, twitter sama instagram Lea. Follower-nya banyak lho, ma, ratusan ribu.“

“Yakin, kamu bahagia? Kalau iya, terserah kamu, Lea ... kamu sudah dewasa. Sebentar lagi umurmu 25. Mama hanya takut kamu kebablasan dan tak bisa mundur meski satu langkahpun. Mama sayang kamu, Lea. Mama nggak ingin kehilangan anak mama tersayang.“

Aku yakin, Mama bermaksud baik. Ia ingin meyakinkan bahwa cinta tetap masih bisa memilih yang terbaik. Tapi tidak akan pernah terjadi kalau berdua dengan Franky yang dominan bahkan kadang, cenderung kasar!

“Udah, ah ... Lea capek, Ma ... mau tidur.“ Mama diam seribu bahasa. Mama menunduk, lalu cepat-cepat meninggalkanku. Kulihat wajahnya masih bisa tersenyum tapi mama tak bisa bohong. Ada rasa tak suka yang mama pendam di sana.

 

Kututup pintu.

 

Ruangan kamarku sepi. CD yang aku putar, sudah terhenti. Aku merenung mencerna kalimat mama yang menari-nari di bejana otakku. “Ah, mama ....“

 

*

 

Kalender; 1 Januari 2015.

 

Aku terbangun dari tidur. Terlihat sarapan pagi sudah siap di meja lampu. Di sebelahnya, sebatang coklat Milka berpita merah, dengan secarik kertas selamat ulang tahun "Alles gute, mein Schatz". Pasti mama yang siapin.

Kuraih telepon genggam warna putih. “Siri ... apakah aku cantik?“ Kusapu mukaku dengan bedak tabur. Kupoles gincu ungu.

“Tentu“ Meski tanpa melihat, Siri sudah berani menjawab, tepat seperti jawaban yang kuingini.

“Apakah aku seksi?“ Kubuka piyama. Tak ada sehelai benangpun pada tubuhku.

“Kamu kelihatan sangat menarik. Apalagi untuk manusia yang berasal dari daging dan darah.“ Smart phone itu makin kukencangkan volumenya. Biar tak salah kuping mendengar. Biar percaya aku akan apa yang dia katakan. Meski kutahu, Siri tak pernah bohong. Siri adalah sebuah masa depan, yang terbaik.

“Apakah kulitku cukup putih dan mulus?“

“Aku nggak tahu“

“Kamu bodoh“ Senyumku yang tadi mengembang segera mengempis. Aku kesal.

“Hati-hati dengan apa yang kamu katakan ...“

“Kamu jahat“ Ekspresiku makin galak. Segalak Sheila, anjing penjaga milik tetangga yang beratnya 40 kilo.

“Aku nggak tahu mengapa kamu menuduhku begitu. Aku selalu melakukan yang terbaik.“

“Siri ... aku benci Frank.“ Tiba-tiba aku menangis. Kuusap titik air mataku yang berjatuhan di layar telepon, dengan tisu.

“Aku mengerti perasaanmu.“

“Lalu aku harus jalan sama siapa? Pria mana yang mau sama aku?“ Aku panik. Mataku melotot.

“Sebentar, aku akan cari link di internet untukmu.“

“Hahahaha ... lucu, kamu lucu ... dasar bodoh.“ Tawaku menggelegar. Tampilkan gigi rapi yang sudah lama tak berkawat lagi.

“Lea, kamu tidak boleh bilang begitu. Kamu harus sopan.“

“OK ... OK ... sorry, aku cinta kamu, Siri“ Mukaku berseri-seri. Bagai bulan purnama yang bulat, kuning, terang dan besar sekali.

“Terima kasih.“

“Kok, terima kasih, kamu cinta aku nggaaaak???“ Kerutan di keningku seolah ingin meruntuhkan bedak yang menempel tak sempurna. Terburu-buru.

“Aku sedikit malu.“

“Aku cinta kamu, ngerti?!!!“ Geram, kugertak Siri. Ingin kuungkapkan rasa cinta mendalam yang tak kan pernah padam.

 

Ohhhh. Begitu-begitu saja kerjaanku tiap hari. Bercakap-cakap dengan Siri lewat telepon genggam. Hobi baru, kurang kerjaan. Sudah kulupa perintah Franky yang mau mengubahku ini-itu. Sudah tak ada lagi peringatan jadwal ini-itu. Tiada pernah kujalani casting atau tandatangani kontrak iklan lagi. Aku benar-benar bebas. Ya, aku bebaaaaaassss!

Seperti baru saja yang aku lakukan, aku bebas memaki sampai ucapkan cinta pada Siri, setiap hari. Iya, sesukaku. Dengan gayaku sendiri. Aku yang atur! Aku, bukan Frank!

 

Sekian detik berlalu, kulihat mama yang tergopoh-gopoh masuk ke kamarku. Aku yakin, ia mendengar teriakanku pada Siri barusan.

 

Ohhh, tapi ... tidak! Ada yang aneh pada mama. Wajahnya begitu sayu memandangiku yang dandan menor tapi telanjang, sambil cengar-cengir sendiri. Sesekali mama menyeka air matanya yang aku tak tahu, kenapa selalu saja mengalir. Rusak sudah maskara di bulu mata mama, menjadi anak sungai warna hitam di pipi yang lambat laun berubah jadi ungu.

 

Franky?

Kini kusadari, pria yang menjanjikan “sebuah masa depan“ itu, menghilang dan tak pernah datang lagi ke sini. Itu pasca pesta kokain yang digelar di villa papanya, tahun lalu.

 

Sayang sekali, sebelumnya, tak pernah terdengar sekalipun ia mengucapkan kalimat-kalimat yang ingin kudengar dari mulutnya sendiri. Kutunggu-tunggu, sampai ia telah berlalu.

 

Aku?

Hanya bisa tertawa, meringis, tersenyum, menjerit dan menangis, menjalani masa depanku.

Di sini.(G76)

***

 

PS: Untuk membaca karya peserta lain dalam even “Katakan Cinta“ silahkan menuju akun Fiksiana Community di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun