Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tempat Terindah

15 September 2015   22:31 Diperbarui: 15 September 2015   22:53 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Keindahan yang tak biasa saya temui di Jerman. Selain jarang menemuinya, ulama Turki menganjurkan supaya saya di rumah saja ibadahnya.

Tapinya, dari kecil saya memang terbiasa untuk leluasa pergi ke sana. Selain orang tua kami rumahnya di Jepang (jejer lapangan, dekat lapangan) dan Jerman (jejer taman, dekat taman) ... juga Jerid (Jejer mesjid, dekat masjid).

Ya, gituuu, tinggal sak nyuk sudah sampai masjid, betul-betul nikmat.

Bahagia sekali rasanya kalau bangun pagi tanpa alarm. Kagetnya beda. Adzan sudah menggugah hati dan badan untuk segera bergegas berkumpul. Shubuhan. Bulan dan bintang tampak masih bersahabat mengucap “Selamat pagi“. Cantik.

Ada yang menarik dari sholat berjamaahnya. Kebanyakan kalau Shubuhan adalah orang tua. Sebentar-sebentar mereka tanya-tanya. Maklum, sudah lama tidak ketemu.

Anak-anak sendiri, akan ramai datang pada saat Maghrib. Ihh ... gemes dengan motif mukenanya. Ada yang Hello Kitty, princess Sofia, Barbie, Elza ... dan masih banyak lainnya. Warnanyapun beragam.

Kadang kami harus memperingatkan: “Psssst ...“ kalau mereka terlalu ramai ngobrolnya. Atau “Ayo, sholat“ jika mereka belum juga berdiri.

Nah, selesai sholat, mereka akan memberikan salam. Mengulurkan tangan kepada jamaah.

Dasar tukang goda, saya sapa mereka;

"Ihhhhh, cantiknya, sini salim" tangan saya sudah siap dicium. Satu persatu anak-anak itu mengambil tangan saya dan diciumkan ke pipi. Ihhh. Mana ada di Jerman?? Meski saya ajarkan anak-anak kami tentang ini, saya gak tahu apa kalau sudah gedhe masih mau? Semoga. Rasanya “nyes“ kalau tangan dicium anak-anak.

Oh, ya. Ada dua anak yang selalu tak mau menyambut tangan saya.

"Lhoooo .. Tante sedih tho, dik. Salim thoooo" saya pura-pura sedih. Tangan saya masih juga tak kembali. Sampai capek, tak juga dijabat.

Anak-anak yang saya maksud pasang muka cemberut. Menyembunyikan tangan yang sebenarnya ingin saya gapai. Ya, sudah. Saya memang orang asing. Haha.

Hari demi hari, saya telaten mengajak mereka salaman. Meski tidak mau, saya ajak terus dan terus.

Sampai suatu ketika salah satu anak yang tidak mau salaman, anak gadis yang kurus, datang sendiri, meminta tangan saya dan mencium.

 

"Aduh, cuantiknyaaaaa" Seru saya, menyanjung si anak yang sudah berubah. Luar biasa. Anak pintar.

 

Sebelum pulang ke Jerman, saya bagikan oleh-oleh kecil buat anak-anak manis itu. Untuk kenang-kenangan dari tante, ya. Gembiraaaa.

Yup. Tempat terindah telah ditemukan. Bahagia itu sederhana.(G76)

 

Semarang, 28 Agustus 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun