Ceritanya, kami pernah jalan-jalan ke Berlin. Di sana, kami menemukan jalan Check Point Charlie (wilayah Soviet dan Amerika). Tempat itu dahulu digunakan sebagai kontrol warga yang wara-wiri keluar-masuk Jerman, selain check point Alpha (wilayah Inggris) dan check point Bravo (batasan Amerika).
Check Point Charlie itu, berupa dua arah jalan yang di tengah-tengahnya ada gardu penjaga. Tumpukan karung goni yang saya gak tahu isinya apa tapi pasti bukan duit, pasir kali ya, ada di depan gardu. Mungkin dulu buat sembunyi biar tidak tertembak atau tempat meletakkan brem senjata agar stabil menembak musuh. Dan maksud sekarang, demi menggambarkan suasana jaman dulu sebenar-benarnya. Meski ada turis Inggris nyeletuk, katanya malah mirip fantasi Disneyland. Halah.
***
Di sana. Iya, di Check point Charlie. Ayayay ... Terlihat tiga orang pemuda berseragam serdadu Amerika, Perancis dan Rusia waktu jaman perang dengan bendera negara. Ih, lucuuu, tapi ... emm sebentar ...
"Boleh anak-anak foto bersama kalian?" Seorang ibu menuntun dua anak kecil yang sedari tadi digandeng biar tak hilang. Maklum, banyak turis meski waktu itu masih bulan Mei. Adem-panas.
"Dua euro satu orang..." Gubrakkkkk! Si mas yang wajahnya ganteng itu mengajukan syarat berfoto wefie bersama mereka. Si ibu mengangguk dan memberi receh padanya setelah sesi foto selesai. Saya meringis. Waaaah saya kira gratis. Eh, mana ada yang gratis di tempat wisata, ya? Ini namanya “cerdas“. Ekonomi kreatif. Meskipun hal ini menuai kontra, khususnya pihak Amerika. Seorang veteran Amerika Serikat yang pernah bertugas di check point Charlie, Kolonel Vernon Pike menganggap tindakan itu tidak bisa ditolerir dan tak menghormati sejarah.