Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Adat Minggat Anak Muda

30 Juni 2015   14:55 Diperbarui: 30 Juni 2015   14:55 1912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu yang lalu, kami kedatangan tamu. Seorang pria Jerman yang pernah saya kenal 14 tahun lalu itu memang selalu menyempatkan diri ke rumah kami kalau sedang berada di daerah Jerman Selatan. Ia tinggal di Jerman Barat.

Sengaja ia tidak membawa istrinya. Istri sedang sibuk mengurusi orang tua dan nenek yang berlibur bersama di sebuah tempat penginapan, satu jam dari rumah kami. Teman saya bilang, istrinya memang sangat dekat dengan keluarga, berbeda dengan dirinya yang paling banter setahun sekali ketemu orang tua. Jadi, itu dulu yang utama, keluarga, lainnya nomor sekian makanya tidak mau datang ke tempat saya yang bukan saudara.

  

Beberapa anak muda Jerman suka minggat

Thom, kawan saya itu lalu bercerita bahwa waktu muda ia pernah minggat ke lain kota. Mengapa? Alasannya, tidak sepaham dengan orang tua, orang tua terlalu keras mendidik. Banyak aturan. Pertanyaan saya, mengapa di antara empat saudaranya, hanya dia yang minggat? Dia tertawa. Saya taksir karena cara beradaptasi anak (Thom) dengan ortu, berbeda dengan saudara-saudaranya. Yang lain manut orang tua dan jadi orang. Ya iya lah, kalau jadi jambu mete bisa dirujak.

Naaah, waktu minggat umur 17 tahun itu, dia merasa super bebas dan mandiri, melakukan apa saja yang diinginkan. Happy. Sampai suatu ketika, dia mengalami kecelakaan dan menghadap orang tua. Apa kata bapaknya?

“Hmm ... dulu waktu dinasehati kamu tidak mau. Suka membangkang lalu minggat. Sekarang, kamu tiba-tiba datang hanya karena punya masalah besar dan butuh bantuan orang tua.“ Ya, iyalah, pak. Kalau minta bantuan Angela Merkel yang sedang pusing soal penarikan hutang Yunani, bisa sulit perkara. Oh, ya. Waktu Thom cerita begitu, saya membayangkan bapaknya yang berkacamata itu malang kerik, berkacak pinggang sambil geleng-geleng.

Thom mengaku sejak kembali, ia menjadi lebih dekat dengan sang ibu yang sekarang kena alzheimer. Menurut saya, itu hikmah baik dari pubertas dan minggatnya Thom. Insyaf.

Saya tahu kalau Thom bukan satu-satunya anak Jerman yang pernah minggat. Anak tetangga kami, salah satunya juga pernah minggat. Minggatnya memang mapan, pindah ke rumah neneknya dan memang diketahui sang ibu yang single parent.

Ben, sebut saja begitu, minggat ketika berumur 18 tahun. Itu saat dia lulus dari SMA kelas 10 lalu meneruskan ke kelas 11 di Gymnasium, dekat rumah nenek. Minggatnya karena bertengkar dengan sang bunda. Si anak malas membantu di rumah, kerjaannya hanya nonton youtube, dengerin musik dari Ipod, merokok, makan, tidur, sekolah dan jalan-jalan saja. Urusan sekolah tetap beres, sih, tapi harapan mamanya bahwa ia mengerti keadaan rumah tangga, tidak terpenuhi. Anak pertama tinggal di luar kota untuk kuliah. Otomatis, hanya anak ragil yang rajin membantu pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah, memotong rumput dan lain-lain. Tidak adil. Diusirlah si anak. Anak mutung, marah lalu benar-benar minggat.

Saya yakin waktu itu, si ibu hanya emosi. Mana ada harimau makan anaknya? Nasi sudah jadi intip. Keras.

Dua tahun berselang, si anak lulus kelas 13. Dengan sendirinya, ia kembali ke rumah ibu, “hotel Mama“ dan jadi pengangguran selama setahun lalu dapat kerja sebagai Zimmermädchen, tukang rapiin kamar di sebuah hotel di kota setempat.

Cerita yang hampir mirip, diceritakan sekretaris bimbel tempat saya mengajar bahasa Inggris. Anaknya, Max, 21 tahun minggat dari rumah. Tahu-tahu, anak tinggal di rumah nenek alias ibu dari ibu sekretaris. Ayem.

Alasan minggat hampir persis anak tetangga saya. Sebelum minggat, si ibu dan anak bertengkar soal pembagian tugas di rumah. Si anak malas dan hanya menggantungkan orang tua. Memangnya hotel gratisan; makan, tidur tanpa balasan setimpal. Tadinya, si anak dibela sang nenek. Setelah empat tahun lamanya menginap gratis di rumah nenek, si nenek memiliki pemikiran yang sama dengan anaknya, bahwa si cucu memang keterlaluan. Malas. Sebagai hukumannya, si cucu diwajibkan nenek untuk membayar uang listrik dan air di apartemen yang dia tinggali. Rumah nenek memiliki tiga lantai dan si cucu ada di salah satu lantainya. Apalagi, si cucu sudah tinggal bersama pasangannya. Jadi, double kan konsumsinya, bukan single lagi. Berat di ongkos.

Barangkali itung-itungan orang tua/nenek-kakek dengan anak/cucu seperti itu tidak terjadi di tanah air?

 

Adat minggat tak hanya dilakukan anak laki-laki

Minggat, saya kira hanya monopoli remaja berjenis kelamin laki-laki. Salah. Salah besar. Seorang kenalan suami berbagi kisah, bagaimana ia membesarkan dua anak perempuan. Tidak mudah seperti yang saya kira. Anak kedua yang manja dan dekat dengan mereka, Bibi, ternyata justru minggat ketika lulus SMA. Orang tua mana yang tidak kelabakan anaknya minggat, apalagi perempuan???

Setelah pencarian sekian lama dan berbicara dari hati ke hati, si anak mau kembali, asal orang tua mau menerima pacar (dari Kroasia) sebagai bagian dari keluarga. Oooooh, saya tahu, ternyata si bapak (orang Jerman) tidak suka anaknya diambil anak muda yang menurutnya kurang simpatik, makanya si anak minggat. Pengorbanan cinta anak muda, lebih baik minggat daripada pacar yang minggat. Begitu barangkali pemikiran sang gadis waktu itu. Kini, mereka sudah 10 tahun menikah tapi belum dikaruniai anak.

Pernah sekali saya mencerna curhatan sang bapak; menyalahkan si anak yang ngotot minggat dan kawin dengan pria pilihannya karena sampai hari ini ia tidak pernah memiliki cucu. Katanya, itu seperti karma membantah orang tua. Doa orang tua adalah tangan kedua dari sang Pencipta. Tapinya, mengapa anak pertama juga belum juga dikasih momongan? Barangkali memang anak-anak si om, terlahir dengan kesuburan yang berbeda dengan wanita kebanyakan yang dikaruniai anak.

Apa yang dilakukan orang tua kalau anaknya minggat?Ada yang dibiarkan, nanti kalau kecelakaan pulang sendiri atau menempel kertas pengumuman. Pengumuman anak remaja hilang contohnya “Vermisst: ... Wir haben dich vermisst ... deine Eltern“ juga beberapa kali saya temukan di papan pengumuman di toko atau tempat umum lainnya. Lengkap dengan foto terakhir, ciri-ciri, serta harapan dari orang tua agar si anak kembali. Rindu. Jika ada yang mengetahui, diharap memberitahu di nomor yang tertera.

Adat minggat di Indonesia

Waktu saya masih SD, saya ikut-ikutan bapak baca koran lokal setiap hari. Mumpung langganan. Di salah satu lembarnya, sering terdapat pengumuman bahwa seorang anak dicari, meninggalkan rumah dengan ciri-ciri rambut, wajah dan pakaian waktu terakhir kali bertemu sebelum pergi. Mengapa mereka pergi meninggalkan rumah?

Ada kisah seorang anak laki-laki yang minggat waktu SMA kelas 2. Sebabnya, si anak tidak kuat dikekang sang bapak. Harus begini-harus begitu. Bapaknya memang keras dalam mendidik anak dan si anak, Dul, keras kepala.

Si ibu sudah beberapa kali menasehati dengan lembut tapi tak mempan juga. Sampai suatu hari minggat itu.

Bingung, panik, sedih campur kayak nano-nano. Si ibu berusaha mencari informasi untuk menemukan si anak. Si anak dibujuk untuk kembali dan meneruskan sekolah. Susahhh. Hingga pada suatu hari, terdengar kabar si anak mengalami kecelakaan terlindas truk ketika mengendarai sepeda motor.

Kagetnya setengah mati, orang tua segera menjenguk anak ke rumah sakit. Si anak kembali ke rumah, meneruskan SMA sampai tamat lalu minggat lagi. Halahhhhh.

Untung sang bunda berhasil membujuk si anak untuk tetap meneruskan ke jenjang perguruan tinggi meski tetap ngotot tak mau balik ke rumah alias hidup mandiri, memiliki warung gorengan. Alhamdulillah, kini sudah jadi sarjana, menikah dan punya anak serta kerja swasta.

***

Dari cerita Thom, Ben, Max, Bibi sampai Dul tadi, saya jadi tahu bahwa adat minggat anak muda bisa terjadi di seluruh dunia. Alasannya kadang hampir-hampir mirip, kurang harmonisnya komunikasi dan kepala batu (entah orang tua, si anak, atau keduanya).

Seumur hidup, saya memang belum pernah minggat kalau pindah rumah sering. Serem dan nggak enak kayaknya kalau minggat. Apalagi sekarang sudah jadi orang tua. Saya tambah yakin, sekeras-kerasnya orang tua itu memiliki tujuan baik agar anaknya lurus. Minggat? Don’t try this at home, it’s dangerous! (G76)

Dok: G76, contoh gambaran kira-kira, pengumuman anak Jerman yang dicari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun