[caption id="attachment_367163" align="aligncenter" width="327" caption="Penyanyi solo "]
[caption id="attachment_367164" align="aligncenter" width="512" caption="Awas Leak!"]
[caption id="attachment_367165" align="aligncenter" width="512" caption="Shinta dan para penari Kecak "]
Seterusnya, ada tari topeng Bapang. Mas Reza Muhammad membawakan tarian yang memiliki filosofi tinggi. Ceritanya, si mas menggambarkan seorang pria bernama Bapang Jayasentika. Dia ini orang yang pelit dan sombong. Ini bisa dilihat dari gerakannya di atas panggung; dada membusung, kedua tangan ke belakang, malang kerik dan lain-lain. Topeng merahnya, juga ada artinya.
Tarian selesai. Disusul sesi tanya jawab yang cukup menarik untuk diamati. Tiga orang ada di atas panggung. Sang pewawancara, wanita Jerman dan yang diwawancarai orang Indonesia yang tinggal di Jerman; mbak Pioh Rofiah dan RudiSriwulan. Mbak Pioh mengaku, berada di Jerman karena menuntut ilmu. Awalnya, hidup memang sulit. Mandiri dan mahal. Untung ia berhasil menyelesaikan studinya Februari 2014 lalu dan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Salju adalah satu keindahan yang sejak di tanah air diimpikannya, namun kini, sangat tidak disukai. Dingin! Ia juga menceritakan bagaimana rasanya melihat orang bebas berciuman di tempat umum. Dulunya malu, sekarang ngeces, sudah biasa hehe.
Sedangkan mas Rudy menginjakkan kakinya di Jerman karena berniat mendalami bahasa Jerman, bahasa yang banyak digunakan di tempatnya bekerja (semacam biro perjalanan). Tak mudah memang untuk belajar di Jerman; harus ada penyetaraan sekolah, tambahan program dan kendala lainnya. Tak ada makan siang yang gratis. Bagaimanapun, ia telah berhasil menentukan jalan hidupnya sesuai yang diinginkan.
Informasi mereka ini penting untuk mereka-mereka yang bermimpi hijrah ke Jerman atau negeri asing. Tidak mudah tapi tetap bisa dilakukan, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Bagi warga Jerman yang hadir, ini memberikan sebuah wacana tambahan bahwa integrasi suatu bangsa butuh dukungan masyarakat lokal. Dan kedatangan para migran bisa memberikan warna dalam kehidupan sebuah negeri yang didatangi.
Ketiga orang yang blah-blah-blah itu turun dari panggung. Tepuk tangan meriah bergemuruh. Herzlich willkommen in Deutschland, selamat datang di negeri Jerman.
Anak-anak mulai menikmati sajian acara, awalnya ogah. Suami rewel minta pulang, maklum ia lelah. Aha. Sebentar, pak. Ada lagu daerah, kata MC. Betul. Ada mbak Nonni Sri Athari dan iringan keyboard mbak Claudia Sutardjo. Lagu campur sari “Suwe ora jamu“, “Manuk Dadali“ dan “Indonesia Pusaka“ mengobati rasa rindu akan Indonesia. Tak hanya saya, juga orang Jerman yang sering ke Indonesia ... kapan lagi ke sana, ya ....
Tak berapa lama acara ngibing sendirian mbak Nonni habis (biasanya di Indonesia pasti ada yang njejeri ikut ngibing xixi). Mbak Claudia segera memainkan tuts-tuts hitam putih itu dengan sebuah musik yang bikin jantung lunjak-lunjak. Sip.
Oiiii ... Hampir pukul 21.00. Kalau pintu dibuka, ya harus ditutup biar tidak masuk angin. Sama dengan acara “Malam Indonesia.“ Penutupan dengan tarian kecak. Si ragil sudah tak sabar menyaksikannya karena sekilas melihat seorang putri Bali berambut panjang di belakang layar lewat. Putri saya penggemar putri-putrian.
Tari kecak? Tadi sebelum tari ini dimulai, saya sudah didatangi untuk diajak ikut nimbrung. Diberi ikat Bali dan secarik kertas (gerakan tari Kecak). Saya mau.
Reza Muhammad menjadi pimpinan kami dalam membawakan tari kecak ini. Ini sebuah tari drama Bali yang biasa ditarikan secara massal, 50-100 orang pria dengan kain hitam putih kotak-kotak kayak papan catur itu. Itu menyoal cerita Ramayana.
Benarlah, kami dibagi dalam dua grup yang datang dari dua sisi. Kami duduk bersila, memutar badan dan tangan ke atas sembari berteriak “cak-cak-cak.“ Ada saat di mana Leak, si figur setan yang menyeramkan datang di tengah-tengah, menyerang grup A dan grup B bergantian. Ketika ia pergi, datanglah penari Bali. Gemulai tariannya tak kalah seru dengan seikat bunga di perut dan warna baju mengkilat yang membalut tubuhnya yang seksi.
Sekitar 10 menitan ia lenggak-lenggok dan pergi. Kami para penari kecak pocokan, turunke panggung, mengambil penonton untuk diajak menari kecak.
Cak-cak-cuk ji! Bubarrrr! Kami bubaran.
***
Dari kegiatan di atas, saya diingatkan bahwa orang Indonesia boleh saja kagum dan meniru budaya asing tapi jangan lupa akan budaya keindonesiaan di manapun ia berada. Apalagi tinggal di luar negeri, saya jadi semakin merasa; Indonesia memang indah, semakin indah ketika dipandang dari jauh. Jauh di mata dekat di hati. Makanya, menari untuk Indonesia? Joss gandos! (G76)
PS: Senang bahwa saya tidak sendiri, banyak warga Indonesia di Jerman yang memiliki aksi untuk Indonesia. Selamat dan sukses, IGFU, ikatan warga Indonesia di Freiburg. Dua tahun lagi ya ... 2016!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H