Telepon genggam saya berbunyi (bravo technology). Aih, ada pesan dari kompasianer Ifani! Senangnya dicolek mbak Maianya Kompasiana ini. Wanita seksi itu menanyakan kabar saya. Iiiih. Saya sedang sakit perut dari reaksi obat gigi dan “... satu jam lagi akan menari di sebuah panggung Malam Indonesia di Bürgerhaus Zähringen, Lameystr. 2, 79108 Freiburg, mbak ....“ Buntutnya? Happy ending.
***
[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Barisan modeshow nusantara sayap kanan"][/caption]
Ya. Kamis, 16 Oktober 2014. Duuuh. Kok Kamis sih, kalau boleh memilih saya usul Sabtu atau Minggu karena lebih longgar. Kan anak-anak sekolah esoknya, hari Jumat (hari ini). Tapi karena saya bukan panitia, manut saja.
Sedari pagi memang sudah panik. Menyiapkan anak-anak sekolah, mencabut benang dari OP gigi, mengantar suami ambil barang, membantu mengepaknya untuk dikirim, menjemput anak, memasak dan siapin makan siang, membantu bikin PR lalu bersih-bersih. Ya, ampuuuun. Rumah kalau seharian tidak disentuh seperti kapal pecah!
Tak terasa sudah pukul 16.00. Harus segera berangkat ke Freiburg. Butuh dua jam untuk menuju tempat undangan. Maklum, rush hour, semua orang pengen pulang sesegera mungkin. Bye-bye lembur. Banyak orang Jerman yang tidak menyukainya. Enakan di rumah sama keluarga atau hobi. Cihuy.
Saya manfaatkan jasa suami yang menyetir, dengan berdandan. Haha, tak takut coreng moreng. Suami saya geleng kepala karena saya tak mau dandan di Freiburg saja. Mana keburu, paaaak? Butuh setengah jam untuk memakai baju dan setengah jam dandan? Bisa telat, karena saya nari awal-awal. Pikir panitia karena rumahnya paling jauh, jadi didahulukan (matur nuwun, mbak Juju cs).
A ... alhamdulillah sudah sampai di depan gedung. Pukul 18.00! Saya menggeret koper berisi baju tari dan ... buku “38 Wanita Indonesia Bisa.“ Sekalian jualan, boleh kok sama panitia yang cantik-ganteng dan baik hati.
[caption id="attachment_367142" align="aligncenter" width="512" caption="Ratusan penonton "]

[caption id="attachment_367141" align="aligncenter" width="512" caption="Jualan buku"]

[caption id="attachment_367143" align="aligncenter" width="340" caption="Bulu mata jog jig"]

[caption id="attachment_367144" align="aligncenter" width="320" caption="Di belakang layar ...."]

Di depan pintu tadi, saya disapa mbak Ayiek, koordinasi buku. Eee ... ketemu kompasianer Susan (salah satu narsum dalam buku saya) dan dua jagoannya. Walaaah, maaf tak ada waktu banyak, saya harus dandan. Nanti, ya? Toilet, mana toilet? Saya bukan mau BAK tapi ganti baju. Tinggal 45 menit. Huff! Saya panik, semua di belakang layar sudah siap, saya belum.
Waktu saya ke toilet, melewati orang-orang yang sedang menikmati kudapan makanan Indonesia seperti nasi rendang dengan buncis wortel, lontong soto ayam, gado-gado dan bakmi goreng (vegetarian) yang dibandrol 5 €/porsi. Sedangkan camilan satu euroan ada bakwan, tahu isi, tempe mendoan, lumpia, martabak, pangsit goreng isi ayam, bakpao daging sapi dan sate ayam. Wih, masih ada yang manis-manis tuuuuh ... bukan saya bukan kereta api tapi bolu pandan, bolu ketan hitam, wingko babat, dadar gulung, pisang aroma dan wajik ketan. Ngiler, nggak?
Di ruangan bawah dekat toilet, para pengunjung lainnya tengah mengerubungi workshop batik. Sungguh sebuah peninggalan budaya leluhur yang adi luhung,membanggakan dan memesona.
[caption id="attachment_367147" align="aligncenter" width="512" caption="Di belakang panggung pada dandan."]

[caption id="attachment_367145" align="aligncenter" width="512" caption="Makanan Indonesia laris manis tanjung kimpul"]

[caption id="attachment_367146" align="aligncenter" width="512" caption="Batik juga diserbu pengunjung"]

Ow, pukul 18.30. Saya sudah selesai berdandan. Siap menari. Saya hanya perbaiki sedikit riasan, terutama bulu mata palsu yang cepot terus. Idihhh, tak biasa pakai. Sekali pakai serasa jadi Syahrini. Mata saya seperti diganduli jog jig, penghalus aspal jalanan! Yang palsu itu beraaaat.
Sebentar kemudian, sepasang MC (yang perempuan orang Indonesia yang lelaki, pastilah orang Jerman). Mereka membacakan mata acara yang akan disajikan. Yang orang Indonesia berbahasa Jerman, yang orang Jerman menggunakan bahasa Indonesia. Seru!
Tarian pertama sebagai penyambutan tamu, muncul Rachel Indira, Teresia Kristyanti, Sazkiza Heidy Fathin dan Alisa Ismi Rahmawati demi membawakan tari Lenggang Nyai. Jadi ingat ondel-ondel atau lenong rumpi. Memang tarian ini asli Jakarta. Menggambarkan tentang cerita Nyai Dasimah yang menikah dengan seorang pria Belanda tapi tidak merasa bahagia.Nyai berusaha mencari kebenaran dalam hidup dan mendapatkan peruntungannya. Saya senang dengan warna-warni bajunya.
[caption id="attachment_367148" align="aligncenter" width="512" caption="Para Nyai Dasima"]

[caption id="attachment_367153" align="aligncenter" width="512" caption="Nyai Gana mau silat gaya Jabar"]

[caption id="attachment_367154" align="aligncenter" width="512" caption="Nyai Gana ingin joget gaya Yogya"]

[caption id="attachment_367155" align="aligncenter" width="512" caption="Ada nuansa gaya China..."]

[caption id="attachment_367169" align="aligncenter" width="504" caption="Oranye, seperti labu oranye Jerman di musim gugur"]

[caption id="attachment_367156" align="aligncenter" width="340" caption="Dandannya lama, narinya 4 menit saja"]

[caption id="attachment_367166" align="aligncenter" width="344" caption="Separuh narsis"]

Tarian pembuka usai, mbak Juju (mbak Ayiek sudah?) maju ke podium. Ia membaca kata sambutan, sebagai ketua panitia. Ada seorang wanita Jerman yang juga ikut membantu dalam acara ini, sesaat kemudian menggantikan mbak ketua untuk memberikan prakatanya.
Pukul 18.50. MC perempuan teriak-teriak.
“Tari Roro Ngigel ... mana tari Roro Ngigel.“ Kain kepalanya yang pasti tipikal Minangkabau itu hampir mencocok mata saya. Kepalanya melongok ke sana-ke mari mencari sosok yang dicari. Xixi. Saya sudah ada di depannya dari tadi. Bahkan tangan saya mengacungkan jari tinggi-tinggi, saya pakai deo.
“Lah, itu di depanmuuuu ... “ sorak para perempuan yang sudah rapi dengan dandanannya. Hahaha ...
Saya dicari dan harus tampil? Deg-degan pasti dong, kalau tidak bisa mati. Musik mulai dipasang. Waduh, suami dan anak-anak masih di resto, siapa yang motret ya? Saya minta mbak Dara melakukannya dari balik panggung (bukan depan, malu katanya). Anyway, danke.
Jeng-jeng-jeeeeng ... saya menari Roro Ngigel. Ini ciptaan Ida Wibowo, putri dari maestro Bagong Kussudiarjo. Tarian gadis yang beranjak dewasa ini merupakan perpaduan gaya Yogya, China dan Jabar. Halah, saya kemayu. Kemayuuu sekali. Apalagi warna bajunya oranye. Meski anting dan kalung emasnya kelupaan, tariiik.
Dan, wow. Cahaya lampu panggung yang terang menambah semangat saya. Seperti mandi matahari. Tak terlihat wajah-wajah penonton dengan jelas karena saya lupa kacamata. Xixi. Tapi saya merasa, gerakan saya diikuti ekor mata orang-orang. Bahkan beberapa sudah ambil video dan foto. Bisa copy paste?
Empat menit kemudian, musik berhenti. Tarian saya kelar. Saya mengatupkan kedua telapak tangan dan membungkuk. Tanggapan selesai. Mereka bertepuk tangan. Argh, jadi ingat manggungdi tujuh belasan Indonesia. Bedanya, kali ini, yang nonton buleee semua. Pakle juga ada sih.
Hmm. Tampilan berikutnya yang tak kalah heboh, bahkan diulang sampai dua kali gara-gara seorang balita umur 2 tahun berteriak lantang cemengkling, “Noch mal ...“ atau "lagi-lagi." Ini anak memang dari tadi ribut, cerewet terus, xixixi, sampai mamanya yang duduk di sebelah saya, di lantai depan panggung tempat saya memotret, malu sendiri. Ealah, Naaaang.
Sajian itu ... tak lain dan tak bukan seni musik Bali, Tingklik namanya, dibawakan oleh seorang lelaki dan dua wanita Jerman (satunya berseruling bambu). Kata seorang bapak yang tinggal di Bali dan hadir di acara ini, musik itu biasa digelar kalau ada orang punya gawe kecil-kecilan. Ada yang menari, ada sawerannya. Musik dan tari rakyat, rupanya. Oh. Mereka yang membawakan dari klub Anggur Jaya. Klub ini didirikan pada tahun 1982 oleh Profesor Dieter Mack dari klub Gamelan Freiburg. Saat ini klub dipimpin oleh Sigrid dan Martin Winter. Mereka juga banyak mengadakan kerjasama dengan grup Gamelan München dan Basel (Swiss). Opo ora hebat? Si balita di sebelah saya sampai joget-joget kegirangan.
Nah, kalau sudah melihat mereka main alat musik Indonesia, saya jadi malu. Kok mbiyen ora sinau karawitaaaan. Saya seharusnya dulu belajar karawitan di negeri sendiri. Eman-eman, bapak kagungan gamelan slendro dan pelog, nda.
Jam terus maju. Pukul 19.11. Tari Tak Tong Tong dari Sumatra Barat menggetarkan panggung. Shorea Rieper, Ella Schnurr dan Maira Bruncken begitu manis mengenakan baju oranye kuning dengan selipan bunga di gelung cepolnya. Sayang, tak sempat motret. Saya dihadang sepasang lansia yang sering ke Indonesia. Begitu semangatnya menceritakan perjalanan mereka di tanah air kita, sampai saya tak bisa putus pembicaraannya. Hanya mengangguk-angguk, menanggapi sedikit dan tersenyum. Untung keduanya pamitan.

Barisan modeshow nusantara sayap kanan
[caption id="attachment_367160" align="aligncenter" width="512" caption="Indahnya baju tradisional kita ..."]

[caption id="attachment_367159" align="aligncenter" width="322" caption="Pasangan ini sempat salah disebut asalnya oleh MC, xixi"]

Begitu sendirian, saya segera dekati barisan putra-putri berbaju daerah. Indonesia itu kaya akan budaya ya? Modeshows baju dari Sabang sampai Merauke segera dimulai. Fara dan kawan-kawan membawakan baju yang warna-warninya mengagumkan. Saya sendiri terpesona, apalagi orang asing?
Semua peraga meninggalkan panggung. Penonton? Semua bubar. Lho, kok bubar ... iya karena ada jadwal istirahat. Ma mi me ... makan minum dan menuju toilet. Saya sambangi meja sebelah kanan yang dipenuhi lautan makanan dan minuman. Hmm ... lapaaar. Saya diantar mbak Ayiek dan mbak Sien menuju kamar panitia. Ada makanan yang dimasaknya, gratis. Yuhuuu ...
***
Usai makan, dua orang wanita Jerman mendatangi tempat saya berdiri sambil makan. Salah satunya meminta foto saya. Aduhai, seperti artis. Mau sajalah. Tapi ia tak mau kalau latar belakangnya tempat sampah (jijik), kami pun pindah. Dan entah siapa lagi yang minta foto dan mengobrol tentang tarian yang saya bawakan:
“Itu adiknya, ya?“ Seorang wanita Jerman menunjuk pada anak gadis saya yang nomor dua. Baru ketika saya jelaskan umur saya berapa dan itu anak berapa, dia tertawa gaya bebas. Ia pun tertarik ketika saya ceritakan telah belajar sejak TK sampai SMA untuk menari, hanya dari kegiatan ekstrakurikuler pilihan bukan wajib. Dasarnya juga sudah senang njoget.
Beberapa menit kemudian, saya kaget. Ada bunyi ngiiiingg ... Hallo-hallo dimulai. Semua tamu dan panitia diharap memenuhi ruangan lagi, acara segera diteruskan. Ada permainan anak-anak yang dipresentasikan oleh Astri Gautama, Dara, mbak Jayanti dan lainnya yang saya lupa tanya namanya siapa .... Main bekel, seledor, lompat tali dan sebagainya. Anak-anak kami ikut komentar karena mereka juga kenaldengan permainan itu. Hanya suami saya yang melet. Ia pernah saya bekali main congkak saja. Lain, tidak.
Penonton begitu terhibur dengan permainan anak-anak gaya Indonesia yang pasti masih ada tapi jarang ditemukan, seiring dengan perkembangan teknologi. Semua pakai jarak jauh meski duduk sebelahan.
[caption id="attachment_367161" align="aligncenter" width="512" caption="Dolanan bekel"]

[caption id="attachment_367162" align="aligncenter" width="341" caption="Tari topeng"]

[caption id="attachment_367163" align="aligncenter" width="327" caption="Penyanyi solo "]

[caption id="attachment_367164" align="aligncenter" width="512" caption="Awas Leak!"]

[caption id="attachment_367165" align="aligncenter" width="512" caption="Shinta dan para penari Kecak "]

Seterusnya, ada tari topeng Bapang. Mas Reza Muhammad membawakan tarian yang memiliki filosofi tinggi. Ceritanya, si mas menggambarkan seorang pria bernama Bapang Jayasentika. Dia ini orang yang pelit dan sombong. Ini bisa dilihat dari gerakannya di atas panggung; dada membusung, kedua tangan ke belakang, malang kerik dan lain-lain. Topeng merahnya, juga ada artinya.
Tarian selesai. Disusul sesi tanya jawab yang cukup menarik untuk diamati. Tiga orang ada di atas panggung. Sang pewawancara, wanita Jerman dan yang diwawancarai orang Indonesia yang tinggal di Jerman; mbak Pioh Rofiah dan RudiSriwulan. Mbak Pioh mengaku, berada di Jerman karena menuntut ilmu. Awalnya, hidup memang sulit. Mandiri dan mahal. Untung ia berhasil menyelesaikan studinya Februari 2014 lalu dan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Salju adalah satu keindahan yang sejak di tanah air diimpikannya, namun kini, sangat tidak disukai. Dingin! Ia juga menceritakan bagaimana rasanya melihat orang bebas berciuman di tempat umum. Dulunya malu, sekarang ngeces, sudah biasa hehe.
Sedangkan mas Rudy menginjakkan kakinya di Jerman karena berniat mendalami bahasa Jerman, bahasa yang banyak digunakan di tempatnya bekerja (semacam biro perjalanan). Tak mudah memang untuk belajar di Jerman; harus ada penyetaraan sekolah, tambahan program dan kendala lainnya. Tak ada makan siang yang gratis. Bagaimanapun, ia telah berhasil menentukan jalan hidupnya sesuai yang diinginkan.
Informasi mereka ini penting untuk mereka-mereka yang bermimpi hijrah ke Jerman atau negeri asing. Tidak mudah tapi tetap bisa dilakukan, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Bagi warga Jerman yang hadir, ini memberikan sebuah wacana tambahan bahwa integrasi suatu bangsa butuh dukungan masyarakat lokal. Dan kedatangan para migran bisa memberikan warna dalam kehidupan sebuah negeri yang didatangi.
Ketiga orang yang blah-blah-blah itu turun dari panggung. Tepuk tangan meriah bergemuruh. Herzlich willkommen in Deutschland, selamat datang di negeri Jerman.
Anak-anak mulai menikmati sajian acara, awalnya ogah. Suami rewel minta pulang, maklum ia lelah. Aha. Sebentar, pak. Ada lagu daerah, kata MC. Betul. Ada mbak Nonni Sri Athari dan iringan keyboard mbak Claudia Sutardjo. Lagu campur sari “Suwe ora jamu“, “Manuk Dadali“ dan “Indonesia Pusaka“ mengobati rasa rindu akan Indonesia. Tak hanya saya, juga orang Jerman yang sering ke Indonesia ... kapan lagi ke sana, ya ....
Tak berapa lama acara ngibing sendirian mbak Nonni habis (biasanya di Indonesia pasti ada yang njejeri ikut ngibing xixi). Mbak Claudia segera memainkan tuts-tuts hitam putih itu dengan sebuah musik yang bikin jantung lunjak-lunjak. Sip.
Oiiii ... Hampir pukul 21.00. Kalau pintu dibuka, ya harus ditutup biar tidak masuk angin. Sama dengan acara “Malam Indonesia.“ Penutupan dengan tarian kecak. Si ragil sudah tak sabar menyaksikannya karena sekilas melihat seorang putri Bali berambut panjang di belakang layar lewat. Putri saya penggemar putri-putrian.
Tari kecak? Tadi sebelum tari ini dimulai, saya sudah didatangi untuk diajak ikut nimbrung. Diberi ikat Bali dan secarik kertas (gerakan tari Kecak). Saya mau.
Reza Muhammad menjadi pimpinan kami dalam membawakan tari kecak ini. Ini sebuah tari drama Bali yang biasa ditarikan secara massal, 50-100 orang pria dengan kain hitam putih kotak-kotak kayak papan catur itu. Itu menyoal cerita Ramayana.
Benarlah, kami dibagi dalam dua grup yang datang dari dua sisi. Kami duduk bersila, memutar badan dan tangan ke atas sembari berteriak “cak-cak-cak.“ Ada saat di mana Leak, si figur setan yang menyeramkan datang di tengah-tengah, menyerang grup A dan grup B bergantian. Ketika ia pergi, datanglah penari Bali. Gemulai tariannya tak kalah seru dengan seikat bunga di perut dan warna baju mengkilat yang membalut tubuhnya yang seksi.
Sekitar 10 menitan ia lenggak-lenggok dan pergi. Kami para penari kecak pocokan, turunke panggung, mengambil penonton untuk diajak menari kecak.
Cak-cak-cuk ji! Bubarrrr! Kami bubaran.
***
Dari kegiatan di atas, saya diingatkan bahwa orang Indonesia boleh saja kagum dan meniru budaya asing tapi jangan lupa akan budaya keindonesiaan di manapun ia berada. Apalagi tinggal di luar negeri, saya jadi semakin merasa; Indonesia memang indah, semakin indah ketika dipandang dari jauh. Jauh di mata dekat di hati. Makanya, menari untuk Indonesia? Joss gandos! (G76)
PS: Senang bahwa saya tidak sendiri, banyak warga Indonesia di Jerman yang memiliki aksi untuk Indonesia. Selamat dan sukses, IGFU, ikatan warga Indonesia di Freiburg. Dua tahun lagi ya ... 2016!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI