[caption id="attachment_367153" align="aligncenter" width="512" caption="Nyai Gana mau silat gaya Jabar"]
[caption id="attachment_367154" align="aligncenter" width="512" caption="Nyai Gana ingin joget gaya Yogya"]
[caption id="attachment_367155" align="aligncenter" width="512" caption="Ada nuansa gaya China..."]
[caption id="attachment_367169" align="aligncenter" width="504" caption="Oranye, seperti labu oranye Jerman di musim gugur"]
[caption id="attachment_367156" align="aligncenter" width="340" caption="Dandannya lama, narinya 4 menit saja"]
[caption id="attachment_367166" align="aligncenter" width="344" caption="Separuh narsis"]
Tarian pembuka usai, mbak Juju (mbak Ayiek sudah?) maju ke podium. Ia membaca kata sambutan, sebagai ketua panitia. Ada seorang wanita Jerman yang juga ikut membantu dalam acara ini, sesaat kemudian menggantikan mbak ketua untuk memberikan prakatanya.
Pukul 18.50. MC perempuan teriak-teriak.
“Tari Roro Ngigel ... mana tari Roro Ngigel.“ Kain kepalanya yang pasti tipikal Minangkabau itu hampir mencocok mata saya. Kepalanya melongok ke sana-ke mari mencari sosok yang dicari. Xixi. Saya sudah ada di depannya dari tadi. Bahkan tangan saya mengacungkan jari tinggi-tinggi, saya pakai deo.
“Lah, itu di depanmuuuu ... “ sorak para perempuan yang sudah rapi dengan dandanannya. Hahaha ...
Saya dicari dan harus tampil? Deg-degan pasti dong, kalau tidak bisa mati. Musik mulai dipasang. Waduh, suami dan anak-anak masih di resto, siapa yang motret ya? Saya minta mbak Dara melakukannya dari balik panggung (bukan depan, malu katanya). Anyway, danke.
Jeng-jeng-jeeeeng ... saya menari Roro Ngigel. Ini ciptaan Ida Wibowo, putri dari maestro Bagong Kussudiarjo. Tarian gadis yang beranjak dewasa ini merupakan perpaduan gaya Yogya, China dan Jabar. Halah, saya kemayu. Kemayuuu sekali. Apalagi warna bajunya oranye. Meski anting dan kalung emasnya kelupaan, tariiik.
Dan, wow. Cahaya lampu panggung yang terang menambah semangat saya. Seperti mandi matahari. Tak terlihat wajah-wajah penonton dengan jelas karena saya lupa kacamata. Xixi. Tapi saya merasa, gerakan saya diikuti ekor mata orang-orang. Bahkan beberapa sudah ambil video dan foto. Bisa copy paste?
Empat menit kemudian, musik berhenti. Tarian saya kelar. Saya mengatupkan kedua telapak tangan dan membungkuk. Tanggapan selesai. Mereka bertepuk tangan. Argh, jadi ingat manggungdi tujuh belasan Indonesia. Bedanya, kali ini, yang nonton buleee semua. Pakle juga ada sih.
Hmm. Tampilan berikutnya yang tak kalah heboh, bahkan diulang sampai dua kali gara-gara seorang balita umur 2 tahun berteriak lantang cemengkling, “Noch mal ...“ atau "lagi-lagi." Ini anak memang dari tadi ribut, cerewet terus, xixixi, sampai mamanya yang duduk di sebelah saya, di lantai depan panggung tempat saya memotret, malu sendiri. Ealah, Naaaang.
Sajian itu ... tak lain dan tak bukan seni musik Bali, Tingklik namanya, dibawakan oleh seorang lelaki dan dua wanita Jerman (satunya berseruling bambu). Kata seorang bapak yang tinggal di Bali dan hadir di acara ini, musik itu biasa digelar kalau ada orang punya gawe kecil-kecilan. Ada yang menari, ada sawerannya. Musik dan tari rakyat, rupanya. Oh. Mereka yang membawakan dari klub Anggur Jaya. Klub ini didirikan pada tahun 1982 oleh Profesor Dieter Mack dari klub Gamelan Freiburg. Saat ini klub dipimpin oleh Sigrid dan Martin Winter. Mereka juga banyak mengadakan kerjasama dengan grup Gamelan München dan Basel (Swiss). Opo ora hebat? Si balita di sebelah saya sampai joget-joget kegirangan.
Nah, kalau sudah melihat mereka main alat musik Indonesia, saya jadi malu. Kok mbiyen ora sinau karawitaaaan. Saya seharusnya dulu belajar karawitan di negeri sendiri. Eman-eman, bapak kagungan gamelan slendro dan pelog, nda.
Jam terus maju. Pukul 19.11. Tari Tak Tong Tong dari Sumatra Barat menggetarkan panggung. Shorea Rieper, Ella Schnurr dan Maira Bruncken begitu manis mengenakan baju oranye kuning dengan selipan bunga di gelung cepolnya. Sayang, tak sempat motret. Saya dihadang sepasang lansia yang sering ke Indonesia. Begitu semangatnya menceritakan perjalanan mereka di tanah air kita, sampai saya tak bisa putus pembicaraannya. Hanya mengangguk-angguk, menanggapi sedikit dan tersenyum. Untung keduanya pamitan.
Barisan modeshow nusantara sayap kanan
[caption id="attachment_367160" align="aligncenter" width="512" caption="Indahnya baju tradisional kita ..."]
[caption id="attachment_367159" align="aligncenter" width="322" caption="Pasangan ini sempat salah disebut asalnya oleh MC, xixi"]
Begitu sendirian, saya segera dekati barisan putra-putri berbaju daerah. Indonesia itu kaya akan budaya ya? Modeshows baju dari Sabang sampai Merauke segera dimulai. Fara dan kawan-kawan membawakan baju yang warna-warninya mengagumkan. Saya sendiri terpesona, apalagi orang asing?
Semua peraga meninggalkan panggung. Penonton? Semua bubar. Lho, kok bubar ... iya karena ada jadwal istirahat. Ma mi me ... makan minum dan menuju toilet. Saya sambangi meja sebelah kanan yang dipenuhi lautan makanan dan minuman. Hmm ... lapaaar. Saya diantar mbak Ayiek dan mbak Sien menuju kamar panitia. Ada makanan yang dimasaknya, gratis. Yuhuuu ...
***
Usai makan, dua orang wanita Jerman mendatangi tempat saya berdiri sambil makan. Salah satunya meminta foto saya. Aduhai, seperti artis. Mau sajalah. Tapi ia tak mau kalau latar belakangnya tempat sampah (jijik), kami pun pindah. Dan entah siapa lagi yang minta foto dan mengobrol tentang tarian yang saya bawakan:
“Itu adiknya, ya?“ Seorang wanita Jerman menunjuk pada anak gadis saya yang nomor dua. Baru ketika saya jelaskan umur saya berapa dan itu anak berapa, dia tertawa gaya bebas. Ia pun tertarik ketika saya ceritakan telah belajar sejak TK sampai SMA untuk menari, hanya dari kegiatan ekstrakurikuler pilihan bukan wajib. Dasarnya juga sudah senang njoget.
Beberapa menit kemudian, saya kaget. Ada bunyi ngiiiingg ... Hallo-hallo dimulai. Semua tamu dan panitia diharap memenuhi ruangan lagi, acara segera diteruskan. Ada permainan anak-anak yang dipresentasikan oleh Astri Gautama, Dara, mbak Jayanti dan lainnya yang saya lupa tanya namanya siapa .... Main bekel, seledor, lompat tali dan sebagainya. Anak-anak kami ikut komentar karena mereka juga kenaldengan permainan itu. Hanya suami saya yang melet. Ia pernah saya bekali main congkak saja. Lain, tidak.
Penonton begitu terhibur dengan permainan anak-anak gaya Indonesia yang pasti masih ada tapi jarang ditemukan, seiring dengan perkembangan teknologi. Semua pakai jarak jauh meski duduk sebelahan.
[caption id="attachment_367161" align="aligncenter" width="512" caption="Dolanan bekel"]
[caption id="attachment_367162" align="aligncenter" width="341" caption="Tari topeng"]