Mohon tunggu...
Gagan
Gagan Mohon Tunggu... -

Orang gila yang tak lupa kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Deret Kata yang Berubah Dandanan

27 Maret 2017   20:04 Diperbarui: 27 Maret 2017   20:31 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber gambar ; https://2.bp.blogspot.com/-wXRvoz8-yGs/WCpbOJKyjmI/AAAAAAAAAPs/J2oktAxrhjs5zQm-YQdEN-E6c5Jc8qn0wCLcB/s1600/talk.jpg"][/caption]

Sore hari rumah itu penuh sesak. Kudengar dari orang di tepi jalan ada rombongan kata datang dari rantau. Terlihat para kerabat lakukan prosesi pesta sambut. Sungguh meriah. Tatap takjub merata dan tepuk tangan bergema.

Setiap orang lewat dicegat. Beberapa bibir manis dan santun membagikan bingkisan tak terkecuali aku. Betapa senang hati ini menerimanya.

Aku tak kenal mereka secara pribadi, begitu pula sebaliknya. Aku yang hanya kebetulan melintas di jalan itu.

Perjalananku masih jauh. Paket yang kuterima kubuka di sebuah perhentian saat melepas lelah.
Kemasan paket itu berlapis. Tercium aroma aneh. Saat lapisan terakhir kubuka, berhamburanlah kata-kata keluar dari bungkusan. Kemudian semua berjoget seperti perayaan kemenangan.

Aku heran, kata-kata itu rupa bentuknya mirip. Satu tubuh berwarna warni, ada yang dipenuhi asesoris, dan ada pula yang bagian tubuhnya seperti sengaja diamputasi.

Diantara keriuhan kulihat satu deret kata saling perpegangan erat. Mereka hanya diam di tepi arena joget dan tampak ketakutan. Tubuhnya masih asli dan alami serta terlihat sangat pucat.

Kutanya mereka;"Kenapa kalian tak ikut pesta?"

Salah satu diantara mereka menjawab ; "Kami adalah kata-kata asli yang dirampas dari tuan pemilik kami"

"Lalu siapa yang berjoget itu?" Tanyaku lagi.

Dijawabnya; "Mereka adalah deret hasil kloning kami yang sudah mereka komodifikasi. Sekarang jadi terkenal karena banyak yang suka. Mereka adalah wujud plintiran tubuh kami yang sengaja dibagikan gratis untuk kepentingan pemilik rumah pesta tadi"

Aku terdiam, kemudian memandang satu persatu kata-kata yang sedang berjoget. Kuperhatikan dengan teliti, terlihat dari pori-pori tubuh mereka keluar cairan seperti keringat. Aromanya busuk menusuk hidung. Dibeberapa bagian lipatan tubuhnya keluar duri-duri tajam.

Joget terus berlangsung. Tepuk tangan meriah masih menggema, namun dalam hati aku bersumpah tak mau lagi lewat jalan tadi.

------

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun