KETIKA HIDUP MENGAJARKAN ARTI KESABARAN
PENULIS : GADIZA RADEN
DOSEN : Vera Sardila,M.Pd
Â
ABSTRAKÂ
Hidup merupakan perjalanan yang penuh ujian, mengajarkan pentingnya kesabaran dan ketekunan. Artikel ini menggambarkan kisah seorang pemuda, Mhd Adfa, yang melalui berbagai tantangan, mulai dari kehilangan orang tua, pergaulan buruk, hingga krisis identitas. Dengan dukungan neneknya, ia berhasil bangkit, memulihkan resiliensi, dan memenuhi kebutuhan psikologisnya sesuai Hierarki Kebutuhan Maslow. Transformasi Adfa menjadi inspirasi bahwa kesabaran, kerja keras, dan dukungan lingkungan dapat membawa seseorang dari keterpurukan menuju keberhasilan. Artikel ini menegaskan bahwa kesabaran bukan sekadar menunggu, tetapi keberanian untuk terus berusaha dan percaya pada proses kehidupan.
Â
Â
Â
Â
PENDAHULUAN
Â
Hidup adalah perjalanan yang penuh dengan liku-liku. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai rencana. Terkadang, kita harus menghadapi kenyataan pahit, kegagalan yang menyakitkan, dan harapan yang terasa jauh dari genggaman. Namun, di balik setiap ujian yang datang, selalu ada pelajaran berharga yang bisa kita petik. Salah satu pelajaran terpenting yang diajarkan oleh kehidupan adalah kesabaran.
Kesabaran bukan sekadar tentang menunggu, melainkan tentang keberanian untuk terus berusaha, menerima kenyataan, dan percaya bahwa setiap hal memiliki waktu terbaiknya. Dalam proses itulah, kita belajar untuk tumbuh, bangkit, dan menjadi pribadi yang lebih kuat. Kisah perjalanan seorang pemuda bernama Mhd Adfa adalah contoh nyata bagaimana kesabaran dan kerja keras dapat mengubah hidup seseorang dari keterpurukan menjadi keberhasilan yang membanggakan.
Ketika Hidup Mengajarkan Arti KesabaranÂ
Hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan. Ada masa ketika kita harus menapaki jalan terjal, menghadapi kegagalan yang menyakitkan, dan melihat harapan seolah semakin jauh dari genggaman. Namun, di balik setiap ujian itu, hidup sebenarnya sedang memberikan pelajaran berharga tentang arti kesabaran. Bukan hanya tentang menunggu, melainkan tentang berusaha sepenuh hati, percaya pada proses, dan menerima bahwa setiap hal memiliki waktunya. Inilah yang dialami oleh seorang pemuda bernama Mhd Adfa..Masa Kehilangan terdapat pada dampak Perkembangan Psikososial
Adfa lahir di keluarga sederhana di pinggiran kota kecil. Ayahnya bekerja sebagai buruh harian dengan penghasilan pas-pasan, sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang penuh kasih. Kehidupan mereka mungkin jauh dari kata mewah, tetapi selalu hangat. Namun, saat Adfa berusia 14 tahun, ibunya meninggal dunia setelah bertahun-tahun berjuang melawan penyakit kronis.  Kehilangan ini meninggalkan luka dalam yang memengaruhi  Perkembangan psikososialnya, terutama pada tahap Identitas dan Kebingungan.
Peran menurut Erik Erikson (1950). Rasa kehilangan dan perubahan dalam struktur keluarga menyebabkan Adfa mengalami krisis identitas. Meski ayahnya berusaha kuat, tekanan hidup membuatnya memutuskan menikah lagi. Kehadiran ibu tiri membawa niat baik, tetapi Adfa merasa sulit menerimanya. Rumah yang dulu terasa hangat berubah dingin, penuh ketegangan yang membuat Adfa merasa seperti orang asing.
Pergaulan Buruk terjadi pada kehidupan adfa ancaman terhadap Resiliensi Ketika masuk SMK, Adfa berharap lingkungan baru dapat menghapus kesedihannya. Namun, kenyataan berkata lain. Lingkungan sekolah mempertemukannya dengan pergaulan yang buruk. Awalnya, Adfa hanya ikut-ikutan untuk melupakan kesepiannya. Namun, kebiasaan itu lambat laun menghancurkan masa depannya.
Menurut teori Resiliensi (Ann Masten) (1990) .Adfa berada dalam situasi penuh risiko, termasuk kehilangan ibu, hubungan keluarga yang renggang, dan pengaruh negatif lingkungan. Situasi ini membuatnya semakin terpuruk hingga akhirnya tinggal kelas.
Intervensi Positif yang terjadi di kehidupan adfa, Peran Faktor Pelindung Kegagalan ini membuat ayahnya kecewa. Bukannya memarahi, sang ayah memanggil nenek Adfa untuk membantunya. Neneknya, seorang wanita bijak penuh kasih sayang, meminta Adfa tinggal bersamanya di desa kecil yang tenang.
"Nak, hidup ini seperti perjalanan. Kadang kita tersesat, tapi selalu ada jalan kembali. Semua tergantung pilihanmu. Mau terus seperti ini, atau mau bangkit?" ujar neneknya.
Kehadiran neneknya menjadi faktor pelindung yang penting dalam membangun kembali resiliensi Adfa. Ia menemukan kembali rasa aman dan dukungan emosional yang sebelumnya hilang.
Kebangkitan menurut teori Hierarki Kebutuhan Maslow (1943) Seteah merenung, Adfa memutuskan untuk memulai lembaran baru. Ia pindah ke SMA dan bertekad memperbaiki hidupnya. Hari-hari pertama di SMA tidak mudah. Ia merasa tertinggal jauh dari teman-temannya, tetapi kali ini ia tidak menyerah.
Adfa mulai belajar dengan giat, bertanya jika tidak paham, dan mengganti kebiasaan buruk dengan hal-hal yang lebih bermanfaat. Dalam perjalanan ini, Adfa memenuhi tingkatan kebutuhan dalam Hierarki Kebutuhan Maslow:
Kebutuhan Fisiologis dan Keamanan seperti Tinggal bersama neneknya memulihkan kebutuhan dasar dan rasa aman. Kebutuhan Kasih Sayang dan Rasa Memiliki oleh adfa dukungan neneknya mengembalikan rasa dicintai. Kebutuhan Penghargaan yang terjadi pada adfa nilainya meningkat, ia mendapatkan kepercayaan diri dan penghargaan dari lingkungan.
Ketika duduk di kelas 12, Adfa bermimpi melanjutkan pendidikan ke universitas. Meski kondisi ekonomi keluarganya sulit, ia tidak menyerah. Ia berusaha keras mendapatkan beasiswa. Dengan disiplin tinggi, Adfa belajar hingga larut malam, aktif dalam berbagai kegiatan akademik, dan akhirnya diterima di universitas impiannya.
Kesuksesan Adfa mencerminkan tahap tertinggi dalam hierarki Maslow, yaitu aktualisasi diri. Selain itu, nilai-nilai yang diajarkan neneknya mencerminkan pendidikan karakter (Thomas Lickona):
- Moral Knowing: Pentingnya kerja keras dan kesabaran.
- Moral Feeling: Dukungan neneknya membentuk empati dan motivasi.
- Moral Action: Adfa menunjukkan perubahan nyata dengan prestasi akademik dan pengabdian sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. W. W. Norton & Company.
Masten, A. S. (2001). Ordinary magic: Resilience processes in development. American Psychologist, 56(3), 227--238.
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370--396.
Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. Bantam Books.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H