Mohon tunggu...
Hukum Pilihan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Fokusnya Apa Sih?

20 April 2019   11:35 Diperbarui: 20 April 2019   13:21 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu Kekerasan Seksual dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual merupakan sebuah isu yang sedang populer dan banyak diangkat oleh masyarakat dewasa ini. Para perempuan di berbagai kota, misalnya, merayakan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan silam dengan melaksanakan berbagai kampanye---menunjukkan peningkatan kesadaran terhadap pentingnya melawan aksi kekerasan seksual.

Data yang dimiliki oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa pada 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015 sebanyak 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas, dan masih banyak lagi kasus yang tidak tercatat karena tidak dilaporkan. 

Ironisnya, kekerasan seksual seringkali dilakukan oleh orang-orang terdekat: pacar, mantan pacar, atau suami. Lebih menyedihkan lagi, kasus kekerasan seksual banyak yang berujung pada mediasi, seperti menikahkan korban dengan pelaku kekerasan seksual, serta perlakuan yang tidak mengenakkan bagi korban---petugas yang cenderung menyudutkan korban, stigma rakyat sekitar terhadap korban.

Menurut Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Ratna Bantara Munti, Indonesia butuh regulasi khusus yang mengatur pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Oleh karena itu, lahirlah pembahasan dan pengkajian Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang dimulai di awal Januari 2019 setelah ada aksi desakan di Desember 2018, meskipun RUU ini telah menjadi prioritas sejak 2016.

Berbagai Penolakan (dari Sesama Perempuan)
Kekerasan seksual, dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, didefinisikan sebagai "merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan 2 dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik."  

Saya yakin bahwa semua perempuan menolak kekerasan seksual. Namun, mengapa ada figur-figur perempuan yang menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual? Mengapa ada banyak jarkom (pesan yang diteruskan) di jejaring sosial untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang turut disebarkan oleh perempuan? Mengapa masih ada perempuan-perempuan dari partai-partai politik yang turut menyuarakan penolakan ini dan menghubungkan dengan pilihan presiden dan wakil legislatif di pemilu?

Seorang guru besar di IPB, misalnya, Prof Euis Sunarti, menyatakan terang-terangan penolakannya terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurut Euis, yang ia tangkap lewat RUU tersebut adalah jika aborsi dan pelacuran terjadi atas dasar suka dan tanpa pemaksaan, kedua hal tersebut diperbolehkan. Ia bersama timnya, AILA, juga menyusun sebuah makalah yang melawan beberapa substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Figur perempuan lainnya, seorang dosen Program Studi Jurnalistik Universitas Padjajaran, membuat petisi besar-besaran di change.org untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan anggapan masih ada kekosongan dalam RUU tersebut yang dapat memperbolehkan aktivitas seksual yang dilarang oleh agama. 

Ketua Humas DPP PKS, Ledia Hanifa Amaliah, menyatakan bahwa PKS menolak karena ada empat poin yang belum terakomodasi oleh RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: perubahan nomenklatur kekerasan seksual menjadi kejahatan seksual, perlunya perubahan definisi kekerasan seksual, penambahan klausul-klausul preventif terhadap kekerasan seksual, dan penambahan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam RUU tersebut.

Dari opini-opini yang telah disampaikan para figur perempuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mereka mempermasalahkan substansi penghapusan kekerasan seksual yang ada pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Mereka menyatakan kegelisahan karena ada kekosongan peraturan---ada zina, aborsi, dan perilaku LGBT yang dapat dilakukan secara legal apabila didasarkan suka sama suka. Namun, apakah itu fokus sebenarnya dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?

Fokus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Sodik Mujahid, sebagai Panja RUU PKS dari Fraksi Gerindra, menyatakan, "Semangat Gerindra adalah kepada perlindungan, rehabilitasi korban, dan lain-lain. Sama sekali tidak terhadap hal-hal yang dikhawatirkan masyarakat, seperti pembebasan zina." Ketua DPR, Bambang Soesatyo menegaskan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak memuat pasal-pasal pro-zina dan menyatakan DPR sama sekali tidak mendukung zina.

Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha'i, menyatakan fokus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah khusus menangani kekerasan seksual dan melihat khusus pada aspek kekerasannya, seperti aspek pemenuhan kebutuhan dan hak korban, bukan konteksnya membahas perzinaan apalagi LGBT.

Imam juga menambahkan bahwa pihak-pihak yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan alasan pro-zina, pro-LGBT, pro-aborsi itu tidak membaca dengan baik isi RUU tersebut karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sama sekali tidak mau melegalkan perzinaan, aborsi, maupun LGBT.

Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Mariana Amiruddin menyampaikan bahwa fokus dari RUU PKS adalah korban. Dalam rancangan aturan itu, jelas terdapat definisi kekerasan seksual, yakni: bila ada pemaksaan, intimidasi, dan kekerasan.

Menurut Mariana, ada kesalahpahaman dari pihak yang menolak RUU PKS: tidak memasukkan ihwal prostitusi, tak berarti RUU PKS mendukung perzinaan. Dalam tulisan yang Mariana susun untuk menanggapi makalah Prof Euis dan AILA, ia menyatakan bahwa batasan yang dinilai disini adalah pemberian consent yang jelas dari korban---persetujuan atas tindakan seksual, dan berbeda dengan suka sama suka.

Adapun dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, terdapat enam elemen yang dibawa menurut Komnas Perempuan: pencegahan terjadinya kekerasan seksual, penindakan pelaku kekerasan seksual, pemulihan korban, peletakkan kewajiban negara dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan, peran masyarakat dan tokoh daerah untuk mengedukasi masyarakat mengenai kekerasan seksual, dan pemantauan terhadap UU Penghapusan Kekerasan Seksual setelah disahkan.

Pemicu Penolakan
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat penyebaran hoaks yang sistematis terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Hoaks yang tersebar, menurut Komisaris Komnas Perempuan, memanfaatkan situasi politik yang ada dan mulai mencuat di masyakat beberapa hari setelah debat pilpres, sebelum petisi itu ada.

Informasi hoaks meliputi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melegalkan zina (perilaku seks bebas) maupun LGBT. Padahal, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak pernah ramai dan disorot oleh masyarakat sebelum ada penyebaran hoaks yang sistematis. Sampai saat ini, petisi yang dibuat oleh Maimon Herawati---yang disertai dengan substansi bernada provokasi dan penggiringan isu---telah ditandatangani oleh 165 ribu orang.

Lalu Apa?
Simpang siurnya kejelasan dari masa depan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual cukup meresahkan bagi pihak-pihak yang memperjuangkan hak korban kekerasan seksual. Hal ini menandakan pemerintah, yaitu DPR, untuk bekerja keras dalam menemui titik temu dengan berbagai pihak yang masih bersikeras untuk menolak dan mengesahkan secepat mungkin sebelum terjadi pergantian politik karena hasil pemilu. Tindakan kekerasan seksual masih banyak kita temui di keseharian masyarakat di Indonesia, baik oleh orang asing, maupun orang terdekat ㅡ apa yang dapat melindungi para korban bila RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak segera disahkan? 

TL;DR
Polemik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih bergulir dengan hangat, diiringi dengan embel-embel kental seperti 'Pro-Zina' dan 'Pro-LGBT'. Menurut mereka yang menolak, ada celah yang 'sengaja' diciptakan untuk orang-orang yang dapat melakukan aktivitas seksual yang dilarang agama, asal suka sama suka. Menurut mereka yang memperjuangkan pengesahannya, RUU ini hadir untuk merangkul korban kekerasan seksual dan mencegah adanya kekerasan seksual yang marak terjadi di Indonesia---mengutamakan consent. Saya mendukung DPR segera mengkaji, menyempurnakan, dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bagaimana sikap Anda?

Daftar Rujukan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun