Purnama malam ini telah begitu lama kunantikan. Saat-saat kutatap rupanya yang begitu menawan serta cahayanya yang bening menerpa tubuhku terus terbayang-bayang dalam anganku. Namun apa ini, apa yang kulihat sekarang? Gelap, hampa, kosong sejauh mata memandang hanya awan mendunglah yang kulihat. Dengan mudahnya ia segera menyapu segala keindahan itu bersama dengan gairah hidupku. Sirna, pupus sudah impianku malam ini.
     "Hmm..., kaya gini bagus juga, gimana menurutmu Chel?" Tanya gadis itu pada Chelsea.
     Tidak ada jawaban dan gadis berparas imut itu kembali berkata "Tapi kok, tokohnya ini ga bersyukur banget ya. Masa sudah diberi penglihatan yang baik, masih aja ngeluh sama apa yang dia lihat. Coba deh sehari saja jadi aku, ga akan betah!"
Begitulah gadis itu, Abel namanya, dia adalah seorang gadis yang malang, sejak sekitar satu tahun lalu ia mengalami sebuah insiden yang membuatnya kehilangan indra penglihatannya. Hingga kini, pada usianya yang menginjak enam belas tahun ia masih bergulat dengan hal itu.
     "Nak! Abel! Makan dulu yuk, Ibuk udah masak makanan favoritmu lho!" Suara ibunya samar-samar semakin terdengar mendekati kamar Abel.
     Dengan amat bersemangat Abel dituntun ibunya menuju ruang makan, katanya "Masak apa Buk? Enak banget baunya."
     "Ada deh, sekali suap pasti Abel langsung tau." Jawab ibunya.
     Rasa penasarannya pun semakin memuncak, ketika duduk ia segera makan bersama ibunya. "Whoa! Sup jagung! Ada ayamnya juga ditambah masih panas! Favoritku banget Buk, hapal banget sih buk!" Seru Abel dengan begitu gembira. Ibunya turut bahagia melihat kebahagiaan buah hatinya itu.
     Mereka berdua makan bersama dengan begitu nikmat. Keringat bercucuran memenuhi wajah gadis itu. Tampaknya ia memang sangat bersemangat. "Aduh-aduh Bel pelan-pelan aja, tunggu rada dingin dulu to. Engga-engga kalau dihabisin sama ibuk, supnya juga ga punya kaki, ga akan lari." Kata ibunya.
     "Gimana to Ibuk ini, justru itu Buk! Mumpung panas-panas gini enaknya langsung dihabisin, nanti kalo dingin, aduh sayang, udah ga nikmat." Jawab Abel tak mau kalah.
     Kata ibunya "Iya deh, yang penting sekarang Abel seneng to?"
     "Jelas Buk! Apalagi Ibuk yang masak. Komplit!" Jawab Abel.
     Sembari mereka menikmati sup ayam jagung tadi ibunya mulai mengganti topik pembicaraan mereka. "Oiya Bel, gimana novelmu sekarang? Udah jadi?"
     "Belum Buk, ya tapi paling bentar lagi jadi." Sambung Abel.
     Abel memiliki kelebihan dalam menyusun sebuah cerita, kini yang bisa menemani kesepiannya dalam kebutaannya hanyalah terus menyelesaikan novel yang sedang ia garap.
     "Tapi tahu engga Buk? Tokoh di novelku ini kurang bersyukur banget, dia udah diberi penglihatan yang sehat dan normal masih aja ngeluh sama apa yang dia lihat. Coba deh jadi aku sehari aja, pasti ga betah." Kata Abel.
     "Nak." Sahut ibunya sambil mendekati dan merangkul putrinya itu. Suasana pun berubah drastis, dari yang sebelumnya bahagia lambat-laun berubah menjadi haru. "Kamu itu unik lho. Katanya kamu bersyukur akan keadaan dirimu saat ini, bersyukur masih  dapat melanjutkan kehidupan seperti ini, tapi kok sekarang ngeluh?" Sambung ibunya.
     "Tapi Ibuk ga akan paham Buk! Emang Ibuk tahu apa perasaanku sekarang?" Abel semakin tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi menggenang di matanya itu. "Aku merasa iri buk! Aku iri sama orang-orang yang bisa melihat indahnya dunia dengan kedua mata mereka, iri sama temen-temenku yang bisa beraktivitas dengan normal, iri sama ibuk yang sekarang bisa melihat diriku yang sedang menangis ini!" Tumpah sudah air mata gadis itu, tumpah sudah semua keluh-kesah yang ada di dalam benaknya selama ini.
     Sunyi, ibunya tak dapat berkata-kata. Kini dengan begitu tulus sang ibu hanya dapat memeluk putri kesayangannya itu. Faktanya adalah hingga saat ini Abel masih belum dapat menerima kebutaannya itu. Ia seringkali berkhayal bahwa ia adalah seorang yang dapat melihat dan setelah itu ia malah memprotes khayalan yang ia ciptakan sendiri. Maka hal itulah yang terjadi hari ini, mulai dari cerita dalam novelnya dan menaruh rasa iri pada tokoh dalam karyanya sendiri. Setelah itu ia membagikan rasa irinya pada orang-orang yang dia jumpai, yaitu Chelsea dan ibunya sendiri.
     Malam telah berlalu, mentari pagi kembali menampakkan dirinya pada dunia. Abel masih terlelap dalam tidurnya. Semalam setelah apa yang ia lalui, ia dituntun ibunya menuju kamarnya. Di dalam kamar ia tak dapat langsung tertidur, seluruh rangkaian kejadian yang baru saja ia alami terus muncul dalam pikirannya. Mulai dari rasa sayang ibu pada anaknya melalui semangkuk sup, lalu rasa peduli ibunya ketika bertanya tentang kemajuan novelnya. Namun, setelah itu dirinya mengeluh dan situasi berubah menjadi kacau. Bersama dengan ingatan yang muncul ini, muncul juga kesedihan dalam diri Abel. Sedih bukan karena ia mengingat segala keluhannya, tetapi sekarang ia telah sadar bahwa segala perilakunya benar-benar buruk, ia sadar mungkin ia telah begitu menyakiti perasaan ibunya. Bahwa betapa mudahnya emosinya terpancing dan tanpa bisa mengontrolnya menumpahkan emosinya itu, bahkan tanpa disadari ia telah membentak ibunya dan berkata bahwa ia merasa iri pada ibunya sendiri.
     Oleh karena itu, kini setelah kesadaran baru yang muncul dalam dirinya, dia membulatkan tekad bahwa esok ketika ia bertemu dengan ibunya ia akan langsung terbuka dan meminta maaf akan segala perilakunya. Namun, permintaan maaf ini hanya sebatas atas perilakunya tadi malam, ia tetap belum dapat menerima fakta bahwa dirinya buta, sehingga sekarang ini ia hanya ingin meminta maaf pada ibunya. Beberapa saat kemudian Abel yang sudah tidak dapat mengalahkan rasa kantuk yang menyelimuti dirinya mulai terlelap dan akhirnya tertidur.
     Pagi ini sang ibu kembali menjumpai anaknya "Abel bangun yuk, sudah jam tujuh ini!" Ibuk memanggil seraya membuka pintu kamar Abel. Perlahan mata Abel terbuka, ia segera duduk di kasurnya. Bersamaan dengan hal itu sang ibu telah duduk disebelahnya.
"Iya buk udah bangun ini." Jawab Abel. Niat yang ia buat semalam pun juga muncul dalam pikirannya bersama jawaban yang ia lontarkan pada ibunya.
     Tanpa menunggu terlalu lama, Abel segera mengutarakan seluruh isi hatinya. Dengan sungguh-sungguh ia meminta maaf atas segala tindakannya semalam. "Buk, Abel minta maaf ya. Semalam Abel engga bisa ngontrol emosi Abel, bahkan Abel berani membentak Ibuk, maaf ya Buk. Tadi malam Abel sungguh-sungguh tidak bisa mengontrol emosi Abel buk." Katanya.
     "Iya Nak, ibuk tahu menerima suatu hal baru yang nggak kamu suka itu pastilah amat berat, apalagi kebutaan yang permanen seperti ini. Ibuk sendiri juga nggak bisa bayangin kalau Ibuk sendiri yang ngalamin. Ibuk sudah memaafkan kamu, sekarang kamu harus berdamai dengan dirimu sendiri dan ibuk akan selalu berada di sisimu, ibuk akan selalu menemanimu dalam proses itu." Jawab ibunya dengan sepenuh hati.
     Terbuka, lega sudah hati Abel. Kini ia menyadari bahwa penyebab dari segala masalah yang ia hadapi adalah ketika ia belum dapat berdamai dengan dirinya sendiri. Ia sadar bahwa ketika ia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri, rasa kesepianlah yang muncul dan mendominasi dirinya. Rasa kesepian itulah yang hanya dapat ia lihat dalam kegelapan yang menyelimuti matanya. Chelsea adalah buktinya. Chelsea bukanlah sebuah nama orang, Chelsea hanya buah dari kesepian Abel, dengan menciptakan Chelsea dalam pikirannya Abel kira itu dapat menjadikannya teman dalam sepi. Namun tidak, faktanya yang terjadi adalah sebaliknya. Abel semakin merasa kesepian dan Chelsea itu sendiri yang membuktikan seberapa dalam rasa kesepian pada hati Abel.
     "Terimakasih banyak ya Buk. Berkat Ibuk yang selalu sabar menghadapi diriku ini, sekarang Abel sadar bahwa pertama-tama aku harus damai dengan diriku sendiri sebelum berdamai dengan orang lain dan Abel benar-benar bersyukur akan keberadaan Ibuk dalam hidupku yang hingga kedepannya Ibuk masih mau mendampingiku dalam prosesku berdamai dengan diriku sendiri." Kata Abel pada ibunya dengan mantap.
     "Iya Nak, Ibuk juga berterimakasih karena sekarang kamu sudah mau mencoba untuk berdamai dengan dirimu sendiri dan terimakasih karena kamu mau menerima ibuk sebagai temanmu dalam proses itu." Kata ibunya.
     Dengan begitu tulus sang ibu merangkul putrinya itu dan pada saat yang sama sang putri langsung membalas pelukan ibunya. "Yaudah sekarang ayo sarapan dulu ibuk udah masak tadi." Kata ibunya.
     "Iya Buk." Jawab Abel dengan perasaannya yang masih sedikit canggung.
     Selama makan Abel tetap tidak dapat fokus pada makanan yang ia santap, ia benar-benar tersentuh menyadari bahwa betapa besar rasa sayang ibunya pada dirinya. Bahwa dengan rasa sayang itu ibunya begitu mudah memaafkan segala perilakunya dan kini tetap mendukung serta membantunya dalam tiap masalahnya. "Buk, Abel mau duduk di teras dulu ya, mau ngadem." Kata Abel pada ibunya.
     "Iya hati-hati, perlu dituntun Ibuk atau engga?" Sambung ibunya.
     "Iya Buk, gapapa ngga usah dituntun cuma deket Abel jalan pelan-pelan kok sambil pegangan tembok, Ibuk lanjut makan dulu aja nggak papa nanti Abel balik lagi."
     Dengan begitu perlahan dan berhati-hati melangkahkan kakinya, Abel sedikit demi sedikit mulai menggapai teras rumahnya. Sesampainya disana ia mencoba menggenggam sandaran kursi lalu duduk di sana. Dalam duduknya Abel mencoba mengolah segala masalahnya selama satu tahun ini. Masalah ini bermula ketika Abel bergembira mendengar kabar bahwa pengerjaan novelnya akan dibiayai dan dibantu oleh suatu perusahaan percetakan ternama. Karena dia terlalu larut dalam suasana bahagianya ia berlarian kesana kemari melalui tiap sudut dalam rumahnya. Namun nahas, ketika sedang berlari ia tidak sadar bahwa tepat di depannya terdapat sebuah mainan bola plastik sehingga selang beberapa detik kemudian ia menginjak bola itu dan terjatuh. Sialnya lagi ia terjatuh dalam posisi duduk dan jatuh pada alas yang begitu keras dan sesaat kemudian ia segera pingsan. Saat terbangun ia sudah tidak dapat melihat apapun dan kebutaan itulah yang didapatinya hingga saat ini.
     Setiap Abel mengingat rangkaian yang menimpanya ini ia amat kesal pada dirinya sendiri di masa lalu yang begitu bodoh dan ceroboh, tetapi kini ia mencoba mengubah paradigmanya. Kini ia melihat segala insiden yang menimpanya sebagai sebuah anugrah dari Tuhan dan sebagai bentuk peringatan Tuhan akan dirinya. Sehingga kini ia kembali mencoba masuk dalam keheningan batinnya. Sembari merasakan dan mendengarkan seluruh kejadian yang terjadi di sekitarnya ia juga mencoba merasakan apa suara hatinya. Ternyata setelah melalui pertobatannya pagi ini suara hatinya telah berubah, dari dalam lubuk hatinya ia telah berdamai dengan kejadian yang menimpa dirinya. Melalui insiden ini ia juga belajar untuk mengendalikan emosi dan perasaannya. Dari dalam hatinya ia telah menerima kebutaan yang ia dapatkan.
     Sekarang kebutaannya ini ia jadikan sebagai sarana dalam menggapai ketenangan. Dahulu kebutaannya ini membuatnya dilanda rasa kesepian yang begitu mendalam, tetapi kini setelah berdamai dengan kebutaannya ia dapat mengolah rasa sepinya ini menjadi keheningan sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H