Sembari mereka menikmati sup ayam jagung tadi ibunya mulai mengganti topik pembicaraan mereka. "Oiya Bel, gimana novelmu sekarang? Udah jadi?"
     "Belum Buk, ya tapi paling bentar lagi jadi." Sambung Abel.
     Abel memiliki kelebihan dalam menyusun sebuah cerita, kini yang bisa menemani kesepiannya dalam kebutaannya hanyalah terus menyelesaikan novel yang sedang ia garap.
     "Tapi tahu engga Buk? Tokoh di novelku ini kurang bersyukur banget, dia udah diberi penglihatan yang sehat dan normal masih aja ngeluh sama apa yang dia lihat. Coba deh jadi aku sehari aja, pasti ga betah." Kata Abel.
     "Nak." Sahut ibunya sambil mendekati dan merangkul putrinya itu. Suasana pun berubah drastis, dari yang sebelumnya bahagia lambat-laun berubah menjadi haru. "Kamu itu unik lho. Katanya kamu bersyukur akan keadaan dirimu saat ini, bersyukur masih  dapat melanjutkan kehidupan seperti ini, tapi kok sekarang ngeluh?" Sambung ibunya.
     "Tapi Ibuk ga akan paham Buk! Emang Ibuk tahu apa perasaanku sekarang?" Abel semakin tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi menggenang di matanya itu. "Aku merasa iri buk! Aku iri sama orang-orang yang bisa melihat indahnya dunia dengan kedua mata mereka, iri sama temen-temenku yang bisa beraktivitas dengan normal, iri sama ibuk yang sekarang bisa melihat diriku yang sedang menangis ini!" Tumpah sudah air mata gadis itu, tumpah sudah semua keluh-kesah yang ada di dalam benaknya selama ini.
     Sunyi, ibunya tak dapat berkata-kata. Kini dengan begitu tulus sang ibu hanya dapat memeluk putri kesayangannya itu. Faktanya adalah hingga saat ini Abel masih belum dapat menerima kebutaannya itu. Ia seringkali berkhayal bahwa ia adalah seorang yang dapat melihat dan setelah itu ia malah memprotes khayalan yang ia ciptakan sendiri. Maka hal itulah yang terjadi hari ini, mulai dari cerita dalam novelnya dan menaruh rasa iri pada tokoh dalam karyanya sendiri. Setelah itu ia membagikan rasa irinya pada orang-orang yang dia jumpai, yaitu Chelsea dan ibunya sendiri.
     Malam telah berlalu, mentari pagi kembali menampakkan dirinya pada dunia. Abel masih terlelap dalam tidurnya. Semalam setelah apa yang ia lalui, ia dituntun ibunya menuju kamarnya. Di dalam kamar ia tak dapat langsung tertidur, seluruh rangkaian kejadian yang baru saja ia alami terus muncul dalam pikirannya. Mulai dari rasa sayang ibu pada anaknya melalui semangkuk sup, lalu rasa peduli ibunya ketika bertanya tentang kemajuan novelnya. Namun, setelah itu dirinya mengeluh dan situasi berubah menjadi kacau. Bersama dengan ingatan yang muncul ini, muncul juga kesedihan dalam diri Abel. Sedih bukan karena ia mengingat segala keluhannya, tetapi sekarang ia telah sadar bahwa segala perilakunya benar-benar buruk, ia sadar mungkin ia telah begitu menyakiti perasaan ibunya. Bahwa betapa mudahnya emosinya terpancing dan tanpa bisa mengontrolnya menumpahkan emosinya itu, bahkan tanpa disadari ia telah membentak ibunya dan berkata bahwa ia merasa iri pada ibunya sendiri.
     Oleh karena itu, kini setelah kesadaran baru yang muncul dalam dirinya, dia membulatkan tekad bahwa esok ketika ia bertemu dengan ibunya ia akan langsung terbuka dan meminta maaf akan segala perilakunya. Namun, permintaan maaf ini hanya sebatas atas perilakunya tadi malam, ia tetap belum dapat menerima fakta bahwa dirinya buta, sehingga sekarang ini ia hanya ingin meminta maaf pada ibunya. Beberapa saat kemudian Abel yang sudah tidak dapat mengalahkan rasa kantuk yang menyelimuti dirinya mulai terlelap dan akhirnya tertidur.
     Pagi ini sang ibu kembali menjumpai anaknya "Abel bangun yuk, sudah jam tujuh ini!" Ibuk memanggil seraya membuka pintu kamar Abel. Perlahan mata Abel terbuka, ia segera duduk di kasurnya. Bersamaan dengan hal itu sang ibu telah duduk disebelahnya.
"Iya buk udah bangun ini." Jawab Abel. Niat yang ia buat semalam pun juga muncul dalam pikirannya bersama jawaban yang ia lontarkan pada ibunya.
     Tanpa menunggu terlalu lama, Abel segera mengutarakan seluruh isi hatinya. Dengan sungguh-sungguh ia meminta maaf atas segala tindakannya semalam. "Buk, Abel minta maaf ya. Semalam Abel engga bisa ngontrol emosi Abel, bahkan Abel berani membentak Ibuk, maaf ya Buk. Tadi malam Abel sungguh-sungguh tidak bisa mengontrol emosi Abel buk." Katanya.