Mohon tunggu...
Gabriel Lionel Wito
Gabriel Lionel Wito Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

seorang pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Nusantara dalam Kondisi Tertidur

22 November 2024   19:19 Diperbarui: 22 November 2024   21:06 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Macan Tertidur Lucu, sumber: LovePic.com

                                                                                                        

/somnus/ (Latin) dalam bahasa Indonesia /tidur/ 

Kondisi dimana tubuh tengah mengalami periode pemulihan, keadaan fisiologi untuk istirahat bagi tubuh dan pikiran. 

Diantara gebrakan massal nan masif dan menggugat jiwa-raga, sang Macan Asia tertidur lelap di pangkuan takhayul belaka. Maka ketika seorang pemuda dituntut agar jiwa dan raganya eksis dalam mencapai kemajuan bersama, ia patut bertanya kepada data. 

"Mengapa grafik intoleransi di negara Indonesia, masih begitu tinggi?", tanya sang Pemuda.

Sebuah pertanyaan yang didukung dengan pernyataan, tiada lebih, tiada kurang, sesungguhnya sebuah negara dapat dideskripsikan dalam sebuah grafik sederhana. Pada tahun 2022 SETARA Institute mencatat terdapat 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama Berkeyakinan) di Indonesia. Akan tetapi, pada tahun 2023 terjadi sebuah peningkatan signifikan, tercatat terdapat 217 peristiwa dan 329 tindakan pelanggaran KBB. Jadi inilah masyarakat Indonesia sesungguhnya, masyarakat primitif yang kian tak berkembang. Waktu telah menunjukan potensi besar yang dimiliki olehnya, namun ia gagal dalam membuktikan kepada dunia. Bahkan membuktikan pada dirinya sendiri saja Indonesia telah gagal. 

"Adakah peninjauan yang lebih menarik, ketika manusia dan tindakan tidak dikucilkan menjadi sebuah angka belaka?" 

"Maka etnisitas itu sendiri menjadi takhayul suatu fantasi yang dibangun secara cerdik dan terus-menerus di atas fakta-fakta biologis sehingga meyakinkan, terasa nyata, dan alamiah.", pernyataan tersebut merupakan sebuah kutipan oleh Ariel Heryanto dalam karya yang berjudul Rape, Race, and Reporting. Jika kita memutar kembali waktu dan berada pada zaman Belanda kita akan melihat asal-usul daripada rasa intoleransi yang tak kian menurun di negara ini. Dalam buku karya Peter Carey dan Farish A. Noor berjudul Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830, pada awal abad ke-19 para masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, dan Spanyol tak segan untuk melaksanakan aliansi dengan komunitas suatu daerah bahkan mereka menjadi pujangga asimilasi budaya melalui pernikahan yang dilaksanakan. Namun, pada akhir abad ke-19, bangsa Eropa mengambil perspektif berbeda dalam peninjauan ras, seiring dengan berkembangnya paham rasisme ilmiah dan perbedaan rasial biologis yang menjadi argumentasi konkrit akan pelaksanaan perbedaan unsur SARA. 

Pandangan yang berbeda akan masyarakat Nusantara yang dibawa oleh bangsa Eropa menjadikan Hindia-Belanda sebagai wilayah yang diatur oleh pemerintahan Belanda dengan perbedaan stratifikasi sosial berdasarkan suku dan ras. Perubahan yang dapat ditinjau dari sisi sejarah dan seharusnya dipahami oleh masyarakat Indonesia yang modern. Perihal mengapa sebetulnya perbedaan etnisitas adalah salah satu byproduct dari masa kolonial Belanda dan eksistensinya sebagai sebuah pemahaman yang tak jarang diterapkan oleh masyarakat melalui pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama Berkeyakinan) merupakan sebuah kebodohan hakiki. Bukti bahwa sesungguhnya masyarakat Indonesia masih berada dalam bayang-bayang kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda, tertanam secara mendalam bahkan dalam eyang-eyang generasi kini yang tengah mendominasi bangsa Indonesia. 

"Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya." - Gus Dur 

Untuk meninjau kembali dan merasakan sesungguhnya eksistensi tindakan intoleransi yang berdasarkan data meningkat di negara Indonesia, untuk sesaat hadir sebuah kesempatan untuk berada ditengah mayoritas yang begitu dominan dan dituntut untuk hidup sebagai seorang minoritas yang "dungu dan tak tahu apa-apa". Maka dari itu, dalam jangka waktu singkat, Pondok Pesantren Al-Mizan, Majalengka, Jawa Barat menjadi sebuah sarana dalam usaha membuktikan eksistensi tindakan intoleransi. Selama tiga hari dua malam, mencoba untuk menjadi seorang santri beragama Katolik. Betul, Anda tidak salah baca, seorang santri yang beragama Katolik. Seorang santri yang berbeda dengan yang lainnya, ketika berada dalam situasi dimana kita adalah seorang minoritas diantara mayoritas yang sungguh dominan bahkan sungguh berbeda. Berbagai aspek menjadi subjek perbedaan, dimulai dari agama, suku, dan bahasa. Para santri Katolik dituntut untuk eksis dan menjalankan kehidupan layaknya seorang santri biasa. 

Pada lingkungan yang berbeda, sudah menjadi ekspektasi daripada para mayoritas untuk "menyenggol" para minoritas. Sebagaimana definisi kata ekspektasi, ada kemungkinan bahwa apa yang menjadi pemikiran kita tidak akan terjadi, bahkan sebaliknya. Suasana yang awalnya dikira mencekam, menyeramkan, dan suram ternyata sungguh berbeda dan jauh dari apa yang telah dibayangkan. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk sejenak membayangkan peristiwa yang terjadi pada hari pertama di Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka. Bayangkan Anda adalah seorang remaja berusia 16 (enam belas) tahun, seorang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam ajaran agama Katolik, Anda tinggal di rumah yang 100% Katolik, lalu suatu saat Anda diberikan kesempatan untuk hadir dalam pondok pesantren yang dominan beragama lain. 

"Apa yang akan Anda Lakukan?"

Kesempatan ini menjadi sebuah pembelajaran menarik bagi penulis, untuk hidup dalam lingkup yang berbeda secara total. Pondok Pesantren Al-Mizan adalah sebuah bukti konkrit akan ajaran keberagaman yang begitu abstrak dan dikonkritkan dalam kehidupan pemuda-pemudi bangsa. Untuk sesaat ditengah keraguan yang begitu besar, kami disambut dengan sebuah tarian sederhana. Tak lama kemudian tarian berubah menjadi pelukan, tak disangka rasanya kami disambut untuk tinggal di rumah para santri. Rumah yang rela merangkul sesama dan membantu dikala perkara tengah bertaut. Tatkala waktu telah menunjukan waktu pukul 16.00 WIB, rasanya tak layak apabila dalam waktu senggang kami tak mencoba untuk mengenal mereka, para santri pendamping untuk tiga hari dan dua malam. 

Diantara matahari sore begitu jingga dan ia tenggelam di sisi Timur Bumi, hangat dan indah dalam waktu yang begitu kohesif. Maka terjadi percikan percakapan, mengapa sesungguhnya dalam dunia yang dianggap begitu didominasi oleh kelompok mayoritas, terdapat konflik yang berada kelompok itu tersendiri. Konflik yang dianut oleh dua kelompok yang berbeda, antara mereka yang menjunjung tinggi toleransi dan melawan para anti-kolaborasi. Cerita demi cerita disampaikan. Tak terasa waktu telah menunjukan pukul 17.55 WIB, waktu untuk sholat Maghrib percakapan singkat nan sederhana yang diawali oleh pertanyaan belaka berakhir begitu saja. Pemahaman baru diantara dunia yang berbeda menjadi pemantik akan pertanyaan-pertanyaan besar lainnya. 

Apabila hadir sebuah kesempatan untuk berdialog dengan para "perwakilan rakyat" yang tengah duduk nyaman di antara kursi mewah nan megah Senayan, tentunya masyarakat muda patut bertanya, "mengapa masalah dan konflik tak kian diselesaikan, Anda semua memegang kekuasaan yang begitu besar dan tinggi?" atau "Bisakah kita sebagai seorang masyarakat menghilangkan unsur suku, agama, dan ras yang begitu terikat dalam kultur Indonesia?".  Tak disangka seusai pengajian subuh, Kyai Haji yang bertugas sebagai kepala Yayasan Pondok Pesantren Al-Mizan merupakan seorang anggota aktif DPR Fraksi PKB Komisi VIII. Maka dalam kesempatan sederhana kami diundang untuk hadir dan bertamu di rumah Kyai Haji Maman Imanulhaq. Pemikiran skeptis dalam menghadapi dialog menjadi esensi utama sebelum menghadapi dialog singkat. 

Dari sebuah percakapan singkat, Kyai Haji Maman Imanulhaq sejujurnya adalah pujangga bangsa Indonesia. Sebuah pemikiran yang menyegarkan diantara Indonesia yang berputar pada tipuan bangsa Eropa. Kehadiran dialog singkat antara Kyai Maman dan kami menyegarkan harapan akan penyelesaian dan masa depan bangsa yang terbebaskan dari genggaman pemerintahan kolonial. Para santri akan meniru dan mengikuti sikap Kyai yang menjadi fondasi formasi di Pondok Pesantren Al-Mizan. Mereka adalah hasil pendidikan yang bersifat kontinu dan representasi dari dunia Indonesia dalam beberapa dekade kedepannya. Sebagaimana ajaran untuk menjadi sosok buruk tersebar dalam negara Indonesia, segelintir harapan muncul daripada hati untuk semakin menjunjung tinggi toleransi dan kebersamaan. 

Pada akhirnya, kita patut bertanya, apakah eksistensi intoleransi di negara Indonesia masih eksis dan merupakan sebuah realita pahit yang harus diterima oleh bangsa ini? Jawabannya adalah iya. Eksistensi ini akan terus hadir dalam bangsa dan negara kita jika kita memilih untuk menunjukan sikap acuh tak acuh dan tidak mau memahaminya secara konkrit. Seringkali pemahaman ini dibacakan atas nama agama ataupun budaya. Akan tetapi, kehadiran dan eksistensi intoleransi yang begitu kuat merupakan hasil dari penjajahan bertahun-tahun dibawah pemerintahan Kolonial Belanda. Hasil penjajahan yang berakibat terhadap tertidurnya bangsa Indonesia, agar ia menunjukan sikap acuh tak acuh terhadap esensi penting dalam negara sendiri. Agar bangsa Indonesia tak akan terbangun dari tidur lelapnya. Sesungguhnya jika Indonesia mampu dan dapat menyelesaikan permasalahan etnisitas ia sudah terbangun tegap dan tegas dalam menghadapi segala yang datang padanya. 

Akhir kata, sebagai masa depan bangsa Indonesia dan untuk membangunkan macan yang tengah tertidur. Para kaum muda patut bertolak dari masa lalu dan berpegang teguh pada pendirian masa kini yang terbuka terhadap berbagai hal baru. Layaknya seorang Kyai Haji Maman Imanulhaq, seorang yang berasal dari kaum mayoritas, tetapi mendukung dan menyokong mereka yang berada dikategori minoritas. Pertanyaan yang perlu dijawab oleh kaum muda adalah "mau dibawa kemana bangsa ini?". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun