Â
/somnus/ (Latin) dalam bahasa Indonesia /tidur/Â
Kondisi dimana tubuh tengah mengalami periode pemulihan, keadaan fisiologi untuk istirahat bagi tubuh dan pikiran.Â
Diantara gebrakan massal nan masif dan menggugat jiwa-raga, sang Macan Asia tertidur lelap di pangkuan takhayul belaka. Maka ketika seorang pemuda dituntut agar jiwa dan raganya eksis dalam mencapai kemajuan bersama, ia patut bertanya kepada data.Â
"Mengapa grafik intoleransi di negara Indonesia, masih begitu tinggi?", tanya sang Pemuda.
Sebuah pertanyaan yang didukung dengan pernyataan, tiada lebih, tiada kurang, sesungguhnya sebuah negara dapat dideskripsikan dalam sebuah grafik sederhana. Pada tahun 2022 SETARA Institute mencatat terdapat 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama Berkeyakinan) di Indonesia. Akan tetapi, pada tahun 2023 terjadi sebuah peningkatan signifikan, tercatat terdapat 217 peristiwa dan 329 tindakan pelanggaran KBB. Jadi inilah masyarakat Indonesia sesungguhnya, masyarakat primitif yang kian tak berkembang. Waktu telah menunjukan potensi besar yang dimiliki olehnya, namun ia gagal dalam membuktikan kepada dunia. Bahkan membuktikan pada dirinya sendiri saja Indonesia telah gagal.Â
"Adakah peninjauan yang lebih menarik, ketika manusia dan tindakan tidak dikucilkan menjadi sebuah angka belaka?"Â
"Maka etnisitas itu sendiri menjadi takhayul suatu fantasi yang dibangun secara cerdik dan terus-menerus di atas fakta-fakta biologis sehingga meyakinkan, terasa nyata, dan alamiah.", pernyataan tersebut merupakan sebuah kutipan oleh Ariel Heryanto dalam karya yang berjudul Rape, Race, and Reporting. Jika kita memutar kembali waktu dan berada pada zaman Belanda kita akan melihat asal-usul daripada rasa intoleransi yang tak kian menurun di negara ini. Dalam buku karya Peter Carey dan Farish A. Noor berjudul Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830, pada awal abad ke-19 para masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, dan Spanyol tak segan untuk melaksanakan aliansi dengan komunitas suatu daerah bahkan mereka menjadi pujangga asimilasi budaya melalui pernikahan yang dilaksanakan. Namun, pada akhir abad ke-19, bangsa Eropa mengambil perspektif berbeda dalam peninjauan ras, seiring dengan berkembangnya paham rasisme ilmiah dan perbedaan rasial biologis yang menjadi argumentasi konkrit akan pelaksanaan perbedaan unsur SARA.Â
Pandangan yang berbeda akan masyarakat Nusantara yang dibawa oleh bangsa Eropa menjadikan Hindia-Belanda sebagai wilayah yang diatur oleh pemerintahan Belanda dengan perbedaan stratifikasi sosial berdasarkan suku dan ras. Perubahan yang dapat ditinjau dari sisi sejarah dan seharusnya dipahami oleh masyarakat Indonesia yang modern. Perihal mengapa sebetulnya perbedaan etnisitas adalah salah satu byproduct dari masa kolonial Belanda dan eksistensinya sebagai sebuah pemahaman yang tak jarang diterapkan oleh masyarakat melalui pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama Berkeyakinan) merupakan sebuah kebodohan hakiki. Bukti bahwa sesungguhnya masyarakat Indonesia masih berada dalam bayang-bayang kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda, tertanam secara mendalam bahkan dalam eyang-eyang generasi kini yang tengah mendominasi bangsa Indonesia.Â
"Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya." - Gus DurÂ
Untuk meninjau kembali dan merasakan sesungguhnya eksistensi tindakan intoleransi yang berdasarkan data meningkat di negara Indonesia, untuk sesaat hadir sebuah kesempatan untuk berada ditengah mayoritas yang begitu dominan dan dituntut untuk hidup sebagai seorang minoritas yang "dungu dan tak tahu apa-apa". Maka dari itu, dalam jangka waktu singkat, Pondok Pesantren Al-Mizan, Majalengka, Jawa Barat menjadi sebuah sarana dalam usaha membuktikan eksistensi tindakan intoleransi. Selama tiga hari dua malam, mencoba untuk menjadi seorang santri beragama Katolik. Betul, Anda tidak salah baca, seorang santri yang beragama Katolik. Seorang santri yang berbeda dengan yang lainnya, ketika berada dalam situasi dimana kita adalah seorang minoritas diantara mayoritas yang sungguh dominan bahkan sungguh berbeda. Berbagai aspek menjadi subjek perbedaan, dimulai dari agama, suku, dan bahasa. Para santri Katolik dituntut untuk eksis dan menjalankan kehidupan layaknya seorang santri biasa.Â