Seorang manusia takkan kehilangan dirinya, hanya jika ia berani mengambil keputusan terindah dalam hidupnya. Keputusan terindah? Apa itu? Siapakah yang pantas menyandang gelar keputusan terindah dalam hidup? Bagi segelintir fana yang berkelana di dunia penuh sengsara, segala keputusan yang diambil adalah keputusan terindah. Bahkan meninggalkan dunia ini adalah keputusan terindah baginya.Â
Sesungguhnya Kehidupan ini adalah api neraka, penyiksaan tiada tara. Kehidupan dogmatis berbau utopis dibalut kesucian abadi. Tak layak bagi seorang fana, apalagi manusia untuk hadir dalam dunia bejat nan beracun ini. Akan tetapi, diantara api neraka, seorang manusia diminta untuk eksis dan berkelana. Maka momok hitam bersayap abu datang dan bertanya dihadapannya, "Apa yang engkau inginkan wahai fana?".Â
"Aku ingin menguasai dunia!", balasnya dengan lantang.Â
"Bodoh!", kata sosok hitam itu.Â
"Kau bertanya aku mau apa? Maka daku jawab pada tubuhmu yang entah bertulang atau tidak, aku ingin menguasai dunia ini!"
"Wahai fana, mengapa engkau begitu bodoh dan dungu?"Â
"Mengapa? Tidakkah kau pernah merasa dungu? Tidakkah kau lelah bertanya kepada dunia, 'mengapa engkau begitu kejam?' atau tidakkah engkau pernah untuk sesaat berhenti sejenak?", tanya seorang fana dibalut amarah abadi.... "Untuk sesaat Cungkring, apakah engkau ingin berhenti sejenak?Â
Aku lelah dengan dunia yang serba cepat, apapun itu harus tersedia dengan begitu singkat! Untuk sejenak, aku ingin tertidur pada ladang rumput yang yang luas. Menikmati ciptaan Tuan-mu itu, memandang bintang-bintang, dan berharap Ia mengetahui apa yang Ia lakukan! Itu yang aku mau Cungkring, itu yang aku mau!".
Ini adalah pertama kali seorang Cungkring mendapatkan hambatan dalam pekerjaannya, bagi-Nya sifat seorang manusia sama saja, sebuah fana yang terombang-ambing di antara kehidupan dan kematian.Â
Maka Ia teringat kembali, tatkala tengah menciptakan laut dan pantai, karangan-Nya pada hari keempat membentang melawan gelap gulita. Sinar matahari terbit untuk pertama kali di Utara, antara jingga dan kehangatan lestari, betapa indahnya bulat yang begitu sederhana. Tak disangka, hangatnya Matahari dan pasir tampak begitu anggun bahkan bagi seorang Dewa.Â
Seorang manusia mampu menyadarkan seorang Dewa, sungguh mengherankan. Mengelabui menjadi tujuan utama sang Cungkring ketika Ia bertemu dengan fana, sudah hal yang lumrah bagi mereka para manusia untuk bertaut pada keinginan pribadinya, tetapi kali ini sungguh berbeda.Â
Sebuah kegelapan ciptaan-Nya sendiri, kini telah menjadi musuh abadi. Bagi para pencari kekekalan, Ia telah sedia dengan segala tundingan dan tantangan. Tak ada yang lepas dari genggaman tangan-Nya yang membunuh itu. Waktu berlalu begitu lambat bagi-Nya, keabadian makhluk pertama dunia menggerogoti jiwa dan raga yang sempurna. Tanpa disadari Ia jatuh pada tudingan yang ditujukan pada para fana.Â
Pada momen itu sang Cungkring sadar, sesungguhnya Ia lebih manusia dibandingkan manusia. Paradoks menjadi konklusi sempurna akan percakapan sederhana sang Cungkring dan Manusia, sesungguhnya siapa itu Manusia dan mengapa?Â
Apakah sang Cungkring manusia? Atau sebaliknya? Apakah Ia sang maha-pencipta? Lantas bagaimana seorang pencipta dunia terjebak pada dunia-Nya sendiri? Begitu pula dengan sang Manusia. Apakah aku seorang Tuhan?Â
Menikmati kematian dan menjauhi keabadian adalah penghargaan sesungguhnya karena tanpa kematian hidup seorang manusia tak berarti. Sang Cungkring yang tak kian mati dan hidup secara abadi, Ia menginginkan kematian. Akan tetapi seorang Manusia yang kian mati, ia menginginkan keabadian.
Mana yang layak akan kehidupan abadi? Mana yang tak pantas untuk ditelan Bumi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H