Sebuah kegelapan ciptaan-Nya sendiri, kini telah menjadi musuh abadi. Bagi para pencari kekekalan, Ia telah sedia dengan segala tundingan dan tantangan. Tak ada yang lepas dari genggaman tangan-Nya yang membunuh itu. Waktu berlalu begitu lambat bagi-Nya, keabadian makhluk pertama dunia menggerogoti jiwa dan raga yang sempurna. Tanpa disadari Ia jatuh pada tudingan yang ditujukan pada para fana.Â
Pada momen itu sang Cungkring sadar, sesungguhnya Ia lebih manusia dibandingkan manusia. Paradoks menjadi konklusi sempurna akan percakapan sederhana sang Cungkring dan Manusia, sesungguhnya siapa itu Manusia dan mengapa?Â
Apakah sang Cungkring manusia? Atau sebaliknya? Apakah Ia sang maha-pencipta? Lantas bagaimana seorang pencipta dunia terjebak pada dunia-Nya sendiri? Begitu pula dengan sang Manusia. Apakah aku seorang Tuhan?Â
Menikmati kematian dan menjauhi keabadian adalah penghargaan sesungguhnya karena tanpa kematian hidup seorang manusia tak berarti. Sang Cungkring yang tak kian mati dan hidup secara abadi, Ia menginginkan kematian. Akan tetapi seorang Manusia yang kian mati, ia menginginkan keabadian.
Mana yang layak akan kehidupan abadi? Mana yang tak pantas untuk ditelan Bumi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H