Mohon tunggu...
Gabriel Lionel Wito
Gabriel Lionel Wito Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

seorang pelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perihal Sepuluh Ribu Rupiah

15 September 2024   06:30 Diperbarui: 15 September 2024   06:42 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abhimata: Kelak menjadi orang yang bijaksana.

Tatkala jingga matahari telah bertemu dengan langit biru, tandanya engkau harus pulang. Kembali ke bangunan yang kau sebut sebagai rumah. Tandanya Ia menginginkan engkau untuk berjumpa dengan keluarga. Tetapi bagi satu insan, cerita yang berbeda ditakdirkan untuknya.

Abhimata, seorang yang merasa berbeda diantara massa. Seorang abdi keraton, bermodalkan literatur dan sikap anarkis. Abhimata menjadi seorang abdi yang menarik perhatian para Raden. Entah mengapa, Sultan memilih untuk mempertahankan Abhi. MenurutNya, padangan Abhi menyegarkan tubuhnya dengan tawa. Bagaimana seorang Abhi bisa menjadi abdi dalem, patut dipertanyakan. 

Suatu hari Sultan memangil Abhi ke teras taman eden miliknya, ia tengah menyeruput kopi hitam hangat dipasangkan dengan singkong goreng, serta kursi goyang kayu. Tanpa ragu dan tanpa sopan santun, Abhi segera mendekati kursi goyang sri sultan dan bertanya, "Sampean memanggil saya?", tanya Abhi kepada Sultan.

"Sampean?" tanya Sultan dengan terkejut.
"Nggih, sampean manggil saya?" balas Abhi

Sambil menduduk ia memandang dua bola mata cokelat Abhi dengan tatapan api neraka. Walaupun begitu, ia tahu bahwa panggilan "Sampean" yang diutarakan oleh Abhi merupakan wujud pemberontakan dalam diri Abhi. Maka, untuk kali ini ia membiarkan itu untuk terjadi. 

"Kau adalah seorang irasional diantara para rasional.", lanjut Sultan kepada Abhi.
"Apa daya seorang abdi melawan Sultan? Segala telah diperintahkan pada-ku, aku akan menjalani sesuai yang engkau mau sri Sultan, akan tetapi ketahuilah ini. Suatu hari nanti, ketika segala telah mendukung daripadaku, daku akan mengambil yang engkau miliki." balas Abhi.
"Wahai Abhi, kau bijak, tetapi dungu. Sungguh kau layaknya sebuah paradoks. Tapi tak apa, sungguh menghibur daku. Aku ingin memberikan sebuah berita padamu. Mulai esok, kau adalah Pangeran Sentana. Kau akan menemani-ku dalam berbagai kegiatan besar."

Abhi tidak memberikan reaksi sedikit-pun, bahkan raut wajahnya terpaku tetap. Ia berpikir sejenak lalu membalas apa yang telah dikatakan oleh Sultan, "Sri Sultan yakin?" tanya Abhi dengan menantang.
"Oh ya, tentu, daku yakin. Pandangan-mu layaknya pikiran segar bagiku."
"Apik!" balas Abhi. Ia merunduk kepada Sultan dan meninggalkan teras taman dengan berlari kegirangan.
"Dasar, anarkis." kata Sultan sambil menyeringai.

Apabila abdi dalem lainnya mendapatkan gelar sebagai seorang Pangeran Sentana, ia akan bersyukur dan berterima kasih kepada Sultan. Abhi bukanlah abdi dalam lainnya, ia mengangap ini sebagai kesempatan besar untuk menerapkan apa yang telah terlintas di pikiran kecilnya itu, "Mengobrak abrik, Sultan. Bagaimana cara aku melakukannya? Pembakaran keraton? Ah tidak, kurang majestik. Perusakan pusaka? tentu saja tidak aku akan terkena dampaknya." pada pemikirannya yang ketiga, seorang Abhi berhasil menemukan jawaban yang ia cari. "Ah tentu saja, aku akan mengambil uang Sultan, tak perlu begitu berlimpah, aku hanya memerlukan sepuluh ribu rupiah. Sri Sultan adalah seorang yang cermat, ia akan merasa panik ketika kehilangan sepuluh ribu rupiah saja. Dengan jabatanku sebagai Pangeran Sentana, aku memiliki akses ke daerah keraton yang tidak terjamah."

Maka bulat sudah pikiran Abhi, ia akan mengambil sepuluh ribu rupiah dari uang harian yang digunakan untuk belanja seorang sultan. Setiap hari, sri sultan menghitung kembali uang yang digunakan oleh belanja keraton, ketika para abdi telah membeli segala kebutuhan atau sebelumnya. Sri Sultan akan menghitung segalanya. Maka, kehilangan sepuluh ribu rupiah akan menjadi sebuah histeria besar baginya.

Ketika malam sudah menyentuh langit, bintang-bintang putih bertebaran ditengah kegelapan angkasa, Abhi tengah bersiap melaksanakan aksinya. Tak banyak berbicara, ia memasuki ruang tempat Sultan menyimpan uang harian itu. Sesuai dengan rencana, ia mengambil sepuluh ribu rupiah Sri Sultan.

Keesokan harinya, Sri Sultan menghitung kembali jumlah uang yang akan diberikan kepada para abdi untuk membeli bahan pangan di pasar untuk keraton. Akan tetapi, ia menemukan sepuluh ribu rupiah telah hilang dari dompet. Sang Sultan panik, ia segera memangil seluruh abdi dalam yang ada di keraton. "Para abdi, bergegas kemari!" teriak sang Sultan.

Maka seluruh abdi dalem berbaris satu banjar layaknya tentara dihadapan Sultan, ia berkata kepada mereka, "Barangsiapa mencuri uang sepuluh ribu rupiah, maka ia akan memperoleh ganjaran." Melihat Sultan yang berteriak membuat Abhi tertawa menyeringai. Melihat aksinya, Abhi dipanggil oleh Sultan. Para abdi lainnya diperbolehkan untuk meninggalkan kedua lelaki.

"Abhi, mengapa kau tertawa?" tanya Sultan dengan tenang.
"Karena aku mencuri sepuluh ribu rupiah?" jawab Abhi
"TERNYATA ENGKAU PELAKUNYA!?" teriak Sultan, "Aku sudah memberikan-mu berbagai instrumen agar kau mau berkembang bahkan menjadikanmu seorang Pangeran Sentana. Ini yang kau berikan kepada-ku?" balas sultan dengan amarah.
"Instrumen untuk menjadi apa? Untuk menjadi pelawakmu? Selama lima tahun aku telah berada disini, berdiri diantara para abdi lainnya. Tak salah bagiku, untuk memberikan dan membeberkan pendapatku tentang sebuah ide. Mereka tidak sekalipun tertawa padaku, mereka mendengarkan dengan seksama. Tetapi, setiap kali engkau datang, menghampiri para abdi ketika aku tengah berbicara. Kau selalu tertawa, terbahak-bahak. Atau ketika aku tengah membaca literaturku, engkau tertawa layaknya aku seorang badut. Jadi apa yang engkau inginkan wahai Sultan? Seorang pelawak atau seorang abdi."
"Wahai Abhi, aku tak pernah mentertawakanmu, pemikiran-mu selalu menyegarkan bagi seorang yang terjebak diantara kursi kekuasaan belaka. Uang sepuluh ribu itu? Aku tak peduli, kau mau mengambil seratus juta pun aku tak peduli. Asal engkau berbicara padaku. Tetapi ini bukan perihal sepuluh ribu, melainkan pemikiranmu yang kolot!" tanggap Sultan.

Abhi telah lelah mendengarkan Sultan yang selalu saja menghina pemikirannya. Tanpa berbicara, ia meletakan blankon indah, serta pusaka keris. Seluruhnya dikembalikan pada Sultan. Tanpa berbicara, ia merunduk pada sang Sultan dan meninggalkan keraton.

 Konflik semata berbeda reaksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun