Mohon tunggu...
Gabriel Lionel Wito
Gabriel Lionel Wito Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

seorang pelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perihal Sepuluh Ribu Rupiah

15 September 2024   06:30 Diperbarui: 15 September 2024   06:42 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika malam sudah menyentuh langit, bintang-bintang putih bertebaran ditengah kegelapan angkasa, Abhi tengah bersiap melaksanakan aksinya. Tak banyak berbicara, ia memasuki ruang tempat Sultan menyimpan uang harian itu. Sesuai dengan rencana, ia mengambil sepuluh ribu rupiah Sri Sultan.

Keesokan harinya, Sri Sultan menghitung kembali jumlah uang yang akan diberikan kepada para abdi untuk membeli bahan pangan di pasar untuk keraton. Akan tetapi, ia menemukan sepuluh ribu rupiah telah hilang dari dompet. Sang Sultan panik, ia segera memangil seluruh abdi dalam yang ada di keraton. "Para abdi, bergegas kemari!" teriak sang Sultan.

Maka seluruh abdi dalem berbaris satu banjar layaknya tentara dihadapan Sultan, ia berkata kepada mereka, "Barangsiapa mencuri uang sepuluh ribu rupiah, maka ia akan memperoleh ganjaran." Melihat Sultan yang berteriak membuat Abhi tertawa menyeringai. Melihat aksinya, Abhi dipanggil oleh Sultan. Para abdi lainnya diperbolehkan untuk meninggalkan kedua lelaki.

"Abhi, mengapa kau tertawa?" tanya Sultan dengan tenang.
"Karena aku mencuri sepuluh ribu rupiah?" jawab Abhi
"TERNYATA ENGKAU PELAKUNYA!?" teriak Sultan, "Aku sudah memberikan-mu berbagai instrumen agar kau mau berkembang bahkan menjadikanmu seorang Pangeran Sentana. Ini yang kau berikan kepada-ku?" balas sultan dengan amarah.
"Instrumen untuk menjadi apa? Untuk menjadi pelawakmu? Selama lima tahun aku telah berada disini, berdiri diantara para abdi lainnya. Tak salah bagiku, untuk memberikan dan membeberkan pendapatku tentang sebuah ide. Mereka tidak sekalipun tertawa padaku, mereka mendengarkan dengan seksama. Tetapi, setiap kali engkau datang, menghampiri para abdi ketika aku tengah berbicara. Kau selalu tertawa, terbahak-bahak. Atau ketika aku tengah membaca literaturku, engkau tertawa layaknya aku seorang badut. Jadi apa yang engkau inginkan wahai Sultan? Seorang pelawak atau seorang abdi."
"Wahai Abhi, aku tak pernah mentertawakanmu, pemikiran-mu selalu menyegarkan bagi seorang yang terjebak diantara kursi kekuasaan belaka. Uang sepuluh ribu itu? Aku tak peduli, kau mau mengambil seratus juta pun aku tak peduli. Asal engkau berbicara padaku. Tetapi ini bukan perihal sepuluh ribu, melainkan pemikiranmu yang kolot!" tanggap Sultan.

Abhi telah lelah mendengarkan Sultan yang selalu saja menghina pemikirannya. Tanpa berbicara, ia meletakan blankon indah, serta pusaka keris. Seluruhnya dikembalikan pada Sultan. Tanpa berbicara, ia merunduk pada sang Sultan dan meninggalkan keraton.

 Konflik semata berbeda reaksi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun