Mohon tunggu...
Gabriel Lintang
Gabriel Lintang Mohon Tunggu... Freelancer - Suka nulis, jarang ngoceh, kadang membaca

Orang yang ngambil jurusan bahasa waktu SMA dan masuk ke prodi ilmu komunikasi di perguruan tinggi. Bisa berbicara 4 bahasa (Indonesia - Jawa - Inggris - Jepang)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sejarah Indonesia Selain Reformasi Tahun 1998

5 Mei 2020   15:15 Diperbarui: 5 Mei 2020   17:35 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia telah terjadi banyak kasus yang melibatkan dukun dan beberapa orang yang memiliki ilmu kebatinan. Akan tetapi lain halnya dengan yang terjadi di Banyuwangi.

Bukan dukun yang menyerang orang-orang, akan tetapi kebalikannya. Tragedi ini mengingatkan kita pada tragedi di Eropa di mana seseorang yang kala itu dituduh sebagai penyihir dibakar hidup-hidup.

Pada tahun 1998, kejadian yang mirip terjadi di daerah Bayuwangi. Terdapat sekelompok orang menamai mereka sebagai Gerakan Anti Tenung (Gantung). Kelompok ini merupakan penyebab salah satu tragedi kelam yang terjadi di Indonesia. Tragedi pertama ini biasa disebut sebagai Geger Santet Pertama.

Biasanya kalau sudah berurusan dengan "santet", pemikiran masyarakat sudah pasti menuju ke arah negatif. Akan tetapi di balik santet negatif tersebut, juga terdapat santet yang bertujuan baik (dalam hal ini menyembuhkan penyakit) yang dinamakan santet putih. Kala itu santet putih dianggap normal oleh masyarakat sekitar.

Akan tetapi makna santet putih ini tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah stigma buruk di mata masyarakat dan mereka segera melupakan esensi sebenarnya dari santet putih.

Masyarakat Banyuwangi yang awalnya menganggap santet adalah hal yang lumrah mulai berpikiran bahwa dukun-dukun yang mampu melakukan praktek santet adalah orang berbahaya. Dan mulai dari situlah tragedi Banyuwangi dimulai.

Beberapa oknum mulai menyusuri rumah-rumah terduga sebagai dukun dengan memberikan tanda silang ataupun batu yang bertumpuk di depan rumah target. Kemudian selang beberapa hari seseorang yang terduga dukun itu pun ditemukan tewas bersimbah darah.

Ini adalah geger santet pertama yang terjadi pada Februari tahun 1998. Namun beruntung kejadian tersebut bisa teredam dengan cepat di bawah komando langsung dari Presiden Soeharto.

Setelah konflik mereda, Bupati Banyuwangi kala itu (Purnomo Sidik) berinisiatif, demi menghindari konflik yang kemungkinan akan terulang, pada tanggal 14 Oktober 1998 ia memerintahkan semua camat untuk mendata semua orang yang memiliki kekuatan magis agar sebelum konflik kembali terjadi, orang-orang itu dapat diselamatkan terlebih dahulu.

Karena tujuannya baik dan menjanjikan keamanan, maka orang-orang yg memiliki kemampuan magis percaya akan pemerintah lalu mendata diri dan menyerahkannya pada camat. Akan tetapi sayangnya inisiatif tersebut tidak berakhir baik.

Data yang sebelumnya merupakan data penyelamatan malah menjadi data buron calon target pembantaian. Entah siapa yang membocorkannya, namun akhirnya data tersebut jatuh ke tangan Gerakan Anti Tenung.

Karena data sudah valid dan hanya tinggal melacaknya saja, maka Gantung segera melancarkan aksinya. Mereka menyergap dan membunuh secara keji para dukun sesuai dengan data yang ada. Gerakan santet kedua ini jauh lebih cepat dan masif dibandingkan yang pertama.

Karena pemerintahan kala itu sedang berada dalam kondisi pemulihan akibat runtuhnya orde baru, Gantung menjadi lebih leluasa dalam menjalankan aksinya dibantu dengan data yang bocor sehingga sangat memudahkan para anggota Gantung..

Mereka datang bukan secara diam-diam, akan tetapi mereka seolah sengaja menunjukkan diri dan memang saat itu masyarakat mendukung gerakan ini dengan menunjukkan lokasi dukun yang disebutkan.

Dalam hitungan hari, puluhan nyawa telah melayang dengan cara yang keji. Mereka dikuliti, mutilasi, bahkan beberapa orang percaya apabila badan mereka didekatkan walau sudah dimutilasi, bagian badan yang putus itu akan kembali menyatu atau bisa dibilang mereka menganggap bahwa para dukun itu abadi sehingga mereka memilih untuk memisahkan kepala dari badannya ke tempat yang cukup jauh.

Pasca tragedi ini, pemerintah pusat kala itu cenderung diam dan secara tidak langsung menggiring opini masyarakat bahwa Gantung merupakan gerakan tersembunyi pemerintah di berbagai daerah. Oleh karenanya masyarakat pun memberikan dukungan pada mereka.

Akan tetapi setelah mendengar apa yang terjadi, akhirnya pemerintah pun angkat bicara dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki andil dalam gerakan ini. Pernyataan itupun membuat masyarakat enggan untuk kembali mendukung Gantung dan Gerakan Anti Tenung makin menyempit.

Keadaan di situ sudah sedikit mereda seiring berjalannya waktu dan masyarakat mulai beraktifitas seperti biasa, hingga akhirnya muncul sosok yang akan jadi pembantai baru. Mereka disebut sebagai Ninja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun