Mohon tunggu...
Gabriel Lintang
Gabriel Lintang Mohon Tunggu... Freelancer - Suka nulis, jarang ngoceh, kadang membaca

Orang yang ngambil jurusan bahasa waktu SMA dan masuk ke prodi ilmu komunikasi di perguruan tinggi. Bisa berbicara 4 bahasa (Indonesia - Jawa - Inggris - Jepang)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Zaman Sekarang Kok Masih Membaca?

1 Januari 2020   23:31 Diperbarui: 1 Januari 2020   23:42 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2020 kok masih aja ada orang yang suka membaca? Makin tidak heran rasanya setelah mendengar pernyataan itu jika Indonesia menjadi salah satu negara dengan angka membaca paling rendah di dunia. Bukan hanya membaca buku, tapi juga berita di internet yang kadang kebenarannya pun masih dapat dipertanyakan.

Kaum muda di Indonesia tidak suka membaca, itulah yang diutarakan oleh banyak pakar di Indonesia. Sebenarnya hal tersebut sangatlah wajar melihat perkembangan teknologi zaman sekarang yang makin lama menggusur minat baca masyarakat karena mereka sudah menemukan hal yang lebih menarik dalam bentuk audio-video, bukan hanya kumpulan kata membosankan diatas kertas.

Pernah suatu ketika aku sedang membaca sebuah novel e-book dari playstore, dan tiba-tiba seorang teman menghampiri lalu bertanya. “Baca apa bro?”

Aku pun menjawab. “Ini The Three Musketeers, seru deh. Baca coba gih.”

Temanku itu tidak langsung menyahut, namun ia tertawa sedikit. “Lah bukannya ada yang versi film, kenapa masih baca novelnya? Ga asik cuma liat tulisan-tulisan doang. Nggak ada flow-nya.”

Hal kecil itupun membuatku berpikir untuk menulis ini. Apa sekarang memang sudah bukan zamannya membaca lagi? Apakah para penulis dan sastrawan Indonesia akan beralih profesi, takkan menciptakan karya sastra lagi, dan mulai mengikuti arus pasar?

Kadang hal tersebut yang membuat sedih. Semakin lama rasanya para penulis Indonesia tidak memiliki ruang gerak lagi untuk berkarya. Seiring berjalannya waktu, kemungkinan mereka semua akan memilih profesi lain yang sesuai dengan zaman tersebut. Berharap saja hal itu takkan terjadi.

Bagaimana dengan beralih profesi menjadi penulis skenario film, bukankah itu sama saja dengan menulis cerita?

Memang kedua hal itu sama, menulis cerita film dengan menulis cerita untuk novel. Akan tetapi rasa bangga dengan hasil karyanya tersebut lah yang berbeda. Walaupun sebuah buku hanya terjual beberapa eksemplar saja, penulis tersebut akan tetap merasa bangga karena karya individunya dihargai oleh masyarakat.

Kembali ke topik sebelumnya, rasanya tak perlu dijelaskan kembali kenapa masyarakat Indonesia terutama generasi muda menyepelekan pentingnya membaca pada zaman ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun