Mohon tunggu...
Gabriella Devi Benedicta
Gabriella Devi Benedicta Mohon Tunggu... -

Peneliti di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. Tertarik dan aktif menyuarakan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keragaman Gender dan Bias Universitas

9 Juli 2017   21:55 Diperbarui: 9 Juli 2017   22:27 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberagaman gender nyatanya masih menjadi isu yang sensitif dan polemik tersendiri di dunia akademis Indonesia. Masalah yang menimpa kelompok LGBT di Indonesia tidak hanya terjadi di ranah sosial maupun dunia kerja, namun juga terjadi di ranah perguruan tinggi, tempat ilmu pengetahuan direproduksi. Beberapa kampus secara eksplisit menjadikan komponen 'bebas LGBT' secara perseorangan atau 'tidak tergabung dalam kelompok/komunitas LGBT' sebagai syarat masuk ke perguruan tinggi tersebut. 

Di tahun 2017 saja, setidaknya terdapat dua perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Andalas (Unand) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang menunjukkan sikap anti terhadap kelompok LGBT. Hal ini tentu menimbulkan kontroversi tersendiri di kalangan aktivis LGBT dan HAM, pejabat universitas, pemerintah lokal hingga Kementerian Ristek Dikti.  

Tidak dapat dinafikan bahwa pendidikan sejatinya menjadi hak seluruh warga negara dan bersifat inklusif. Hal tersebut secara jelas tercantum dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan." Hal ini juga sejalan dengan pandangan dari Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Ali Ghufron Mukti seperti ditulis dalam JawaPos[1] yang menegaskan hak pendidikan untuk semua, secara tidak terkecuali kelompok LGBT. Namun, hal ini ternyata tidak membuat Rektor Unand mencabut persyaratan tersebut. Walaupun sudah tidak tercantum dalam website universitas sebagai persyaratan bagi mahasiswa baru yang lulus SNMPTN 2017, namun rektor Unand tetap menutup diri bagi kelompok LGBT di kampus tersebut. Atas nama otonomi kampus yang berhak menentukan aturan sendiri, rektor Unand tetap menunjukkan sikap oposisi atas keberatan Kementrian Ristek Dikti. Moralitas keagamaan menjadi faktor yang melatarbelakangi keputusan pembuatan persyaratan tersebut, seperti dilansir Tempo, Mei 2017.[2]

Dalam artikel lain yang ditulis oleh Tempo[3], Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah justru menunjukkan sikap pro atas kebijakan Unand terkait status LGBT tersebut. Sikap diskriminatif dan anti HAM bagi calon mahasiswa LGBT justru ditanggapi beliau dengan wacana pembuatan sarana pendidikan 'khusus' bagi kelompok LGBT di Kota Padang. Wacana kebijakan pembuatan sarana pendidikan 'khusus' bagi kelompok LGBT ini justru membuat kelompok LGBT semakin tereksklusi secara sosial, bahkan memungkinkan tindakan diskriminatif dan stigmatisasi semakin mengakar. Payung hukum di negeri ini secara jelas telah menjamin kebebasan dan perlindungan bagi tiap warga negara dari perlakuan yang diskriminatif (UUD 1945 pasal 28I (2)).[4] Walaupun dalam realitas di akar rumput, penerapan kebijakan tersebut perlu terus dikritisi.

Tindakan terbuka beberapa universitas yang menolak keberadaan kelompok LGBT di universitas mereka berkembang sejak adanya pernyataan Menristek, M. Nasir tahun 2016 tentang pelarangan aktivitas kelompok LGBT di dalam kampus.[5] Menristek mengatakan hal tersebut sebagai tanggapannya terhadap kelompok SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies) di Universitas Indonesia yang diklaim oleh beberapa kalangan sebagai kelompok/klub mahasiswa LGBT. Nama UI yang dipakai kelompok mahasiswa ini juga membuat seakan-akan kelompok ini sebagai kelompok studi resmi di bawah bendera universitas.

Tidak hanya di Indonesia, negara-negara lain di dunia juga ternyata memiliki sikap yang anti terhadap keberagaman gender yang ada. Seperti dilansir Reuters[6] tahun 2015, beberapa kampus di Amerika Serikat seperti George Fox University, California Baptist University, Grace University dan Pepperdine University melakukan tindakan diskriminatif terhadap mahasiswa karena alasan identitas gender mereka, seperti penolakan mahasiswa transgender untuk menempati asrama kampus, pengusiran mahasiswa gay, permintaan mahasiswi lesbian untuk mengembalikan bantuan dana yang diberikan maupun penolakan terhadap kelompok transgender atas identitas gender mereka. Tindakan diskriminatif juga dilakukan salah satu kampus di Guangdong, China pada bulan Juni 2016 kepada salah satu mahasiswi lesbian yang menunjukkan rasa cintanya terhadap pacar perempuannya di ruang publik. Hal itu berakibat pada penahanan sertifikat kelulusannya.[7]

Mengapa menjadi 'berbeda' dalam hal identitas gender, berkonsekuensi terhadap hak untuk belajar dan menimba ilmu? Dalam pandangan heteronormativitas, tentu kelompok LGBT dianggap tidak ideal, bahkan menyimpang. Gayle Rubin, dalam bukunya 'Thinking Sex', menjelaskan bagaimana heteroseksualitas dinaturalisasi dan praktik seksual lainnya diabnormalisasi.[8] Pandangan ini direproduksi serta disinggungkan dengan berbagai ranah lainnya, seperti agama, sosial, budaya, politik maupun ekonomi. Dalam institusi pendidikan pun, bias terhadap pandangan yang heteronormatif ini nyatanya tidak dapat terhindarkan. Tidak sedikit yang menganggap LGBT adalah virus atau penyakit gangguan kejiwaan yang dapat menular. Hal ini menjadi stigma dan momok tersendiri di kalangan masyarakat kita.

Dalam kacamata sosiologis, realitas mengenai keberagaman gender nyatanya adalah produk dari konstruksi sosial. Menurut Diamond dan Butterworth (2008), identitas gender tidak bersifat stabil dan tetap, namun dibangun secara sosial dan dapat bervariasi bagi individu dari waktu ke waktu. Melalui internalisasi pengetahuan eksternal, identitas gender yang dimiliki individu tersebut terus diasah dan dinyatakan dalam interaksi sosial yang dijalaninya.[9]

Identitas gender yang cair terbentuk dari lapis demi lapis preferensi, dapat berubah dan berada di ranah privat individu. Sifat pribadi ini yang seharusnya tidak diatur oleh pihak lain, termasuk dalam hal ini lembaga pendidikan. Kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa pejabat universitas memiliki pola pikir tertentu yang didasari atas nilai dan norma yang diyakini. Hal tersebut dapat berimplikasi terhadap kebijakan yang diambil oleh suatu institusi. Gender sebagai bagian dari identitas yang terjalin dari keseluruhan sosial yang kompleks dan spesifik, menurut Alsop, Fitzsimons dan Lennon membutuhkan pembacaan yang spesifik pula.[10] Hendaknya pembacaan atas identitas gender tersebut tidak merugikan suatu kelompok tertentu, apalagi sampai pada pelarangan terhadap kelompok tertentu untuk menimba ilmu pengetahuan.

Lembaga pendidikan tinggi berdasarkan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi diharapkan menjadi pusat pendidikan, penelitian dan pengabdian terhadap masyarakat. Sebagai pusat pendidikan, universitas hendaknya bersifat inklusif dan dapat mengakomodir kebutuhan pendidikan setiap warga negara Indonesia. Sebagai pusat penelitian, keragaman gender dapat dilihat sebagai fenomena sosial yang ada di dalam masyarakat dan menjadi kajian akademik yang dapat membantu pemerintah dalam pembuatan kebijakan terkait fenomena ini. Sebagai pusat pengembangan masyarakat, berbagai intervensi sosial yang dimotori oleh perguruan tinggi dapat dilakukan sebagai pengamalan ilmu pengetahuan yang direproduksi untuk perubahan sosial yang bersifat positif. 


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun