Bullying memiliki berbagai macam dampak buruk bagi kondisi psikologis dan fisik seseorang. Ketika terjadi perundungan baik berbentuk verbal, fisik, maupun psikologis, korban akan mengalami gangguan-gangguan baik fisik maupun psikologis. Korban bullying fisik umumnya akan memiliki luka-luka baik ringan hingga berat, serta kejadian tersebut dapat menimbulkan trauma. Wiyani (2015) berpendapat bahwa korban bullying akan mengalami berbagai gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah berupa, kecemasan, rendah diri, takut, dan hubungan sosial yang buruk. Perilaku bullying di sekolah dapat mempengaruhi akademik korban, seperti penurunan prestasi, peningkatan absensi, lalai dalam mengerjakan tugas, dan depresi (Wharton, 2005).
Penurunan prestasi akademik dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Dwipayanti dan Indrawati (2014) di Bali yang menunjukkan bahwa korban bullying cenderung memperoleh prestasi belajar yang tergolong rendah. Â Pada umumnya, korban bullying memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah. Hal ini dapat menyebabkan korban mengalami depresi berat yang mengarah ke menyakiti diri sendiri bahkan bunuh diri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dwipayana (2018), pada salah satu subjek penelitian yang berinisial D menyatakan bahwa ia pernah mengalami bullying dan merasa frustasi atau tertekan. Rasa tertekan tersebut mendorongnya untuk melukai dirinya sendiri dan menumbuhkan rasa untuk mengakhiri hidupnya.
Terdapat korban bullying di Nusa Tenggara Timur yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena merasa lelah dan tertekan hidup di lingkungan yang penuh kekerasan, serta mengalami bullying di sekolahnya (Amnifu, 2019). Hal ini membuktikan bahwa bullying atau penindasan dapat terjadi di mana saja baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Pelaku bullying bisa merupakan siapapun terlepas dari gender, umur, dan tingkat pendidikannya.
Selain itu, korban bullying dapat mengalami perasaan cemas atau anxiety disorder. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Juniar Misnami (2016) yang menunjukkan terdapat hubungan antara perilaku asertif dengan rasa kesepian. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa semakin tinggi perilaku asertif dan semakin rendah rasa kesepian maka kecemasan sosial korban bullying semakin rendah, dan berlaku sebaliknya. Menurut Pratanti, perilaku asertif adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang sedang dipikirkan, dibutuhkan, dan dirasakan tanpa memanipulasi atau memanfaatkan orang lain (Alesha, 2020).
Apabila mengetahui orang terdekat atau teman menjadi korban bullying di lingkungannya, maka sebagai manusia hendaklah mendengarkan ceritanya. Korban akan merasa dihargai jika ada seseorang yang mau meluangkan waktu untuk menjadi teman dan mendengarkan ceritanya. Korban juga menjadi lebih tenang dan tidak merasa sendirian sehingga dapat mengurangi dampak berat dari bullying. Menurut Barbara Coloroso (2002), terdapat 4 hal yang bisa dilakukan untuk korban bullying, yaitu:
1. Berusaha meyakinkan korban bahwa kita mempercayainya sehingga korban dapat menceritakan perasaannya dan mereka tidak merasa sendirian,Â
2. Memberitahu dan menegaskan bahwa kejadian tersebut bukanlah kesalahan mereka melainkan kesalahan pelaku,Â
3. Membuat to do list atau rencana mengenai hal-hal yang bisa dilakukan,Â
4. Melaporkan peristiwa bullying ke pihak sekolah.Â
Argumentasi tersebut diperkuat oleh Priyatna dalam bukunya (2010) yang menegaskan bahwa apabila seseorang menjadi korban bullying maka harus bersikap suportif dan mendengarkan keluhannya, serta melaporkan ke pihak sekolah agar korban mendapat jaminan keselamatan sehingga merasa aman
Selain itu, terdapat berbagai cara untuk membantu korban bullying memulihkan kondisi psikologisnya. Salah satunya dilakukan oleh pihak sekolah. Pihak sekolah merupakan salah satu pihak yang memiliki peran penting dalam hal ini karena korban cenderung lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Pihak sekolah dapat memberikan pendidikan karakter yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan yang didasarkan pada etika dan moral sehingga tercipta kepribadian yang baik (Ilahi,2012). Pihak sekolah dapat bekerja sama dengan orang tua korban atau pelaku bullying dengan menjelaskan bahwa perilaku agresif dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Pihak sekolah dapat membentuk program antibullying dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang suportif, kondusif dan hangat (Priyatna,2010). Semua orang yang ada di sekolah harus saling mengasihi, peka, dan toleran sehingga peristiwa-peristiwa yang tergolong dalam bullying dapat terdeteksi dan mencegah bullying di normalisasi. Hal yang paling penting adalah melakukan peer-support. Peer-support adalah dukungan sosial dari teman sekolah atau sebaya. Praktik peer-support dilakukan dengan memilih beberapa anak untuk menjadi teman dekat korban. Hal ini dilakukan karena anak-anak cenderung lebih dekat dan terbuka untuk bercerita dengan teman sebayanya (Amini, 2008). Di sekolah terdapat wali kelas yang berperan sebagai orang tua di lingkungan sekolah. Dalam pemilihan wali kelas hendaknya pihak sekolah memilih guru yang caring dan perhatian terhadap anak didiknya sehingga korban dapat bercerita dan lebih terbuka mengenai peristiwa bullying yang dialami.
Selanjutnya, dalam memulihkan psikologis korban, diperlukan coping strategy. Coping strategy adalah usaha dalam meminimalkan risiko saat stres dan cara menghadapi stres. Terdapat dua bentuk coping strategy, yaitu strategi berdasarkan masalah  (problem-based) dan Strategi berdasarkan emosi diri (emotions-based) menurut Silvana dalam (Bakhtiar & Asriani, 2015). Strategi berdasarkan masalah adalah strategi untuk mengubah situasi yang sedang dihadapi dengan merubah sesuatu di lingkungannya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi (Bishop, dalam Bakhtiar dan Asriani). Strategi ini bertujuan untuk meninggalkan situasi yang tidak nyaman dengan langsung menghadapi masalahnya atau straight to the point. Dalam strategi ini korban bullying akan menghindari pelaku untuk menghindari peristiwa bullying terjadi kembali. Korban juga akan mengusahakan untuk berdiskusi dengan pelaku agar berhenti melukai dan melecehkan harga dirinya. Sementara itu, Strategi berdasarkan emosi merupakan cara memulihkan situasi atau kondisi dengan memulihkan kondisi emosional. Strategi berdasarkan emosi memungkinkan korban untuk melihat kebaikan dari peristiwa bullying, mengharapkan simpati orang lain, atau melupakan peristiwa yang terjadi (Lazarus & Folkman, 1984). Dengan demikian, korban bullying bisa berdamai dengan situasi dan pelaku sehingga korban dapat mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik dan berhasil mematahkan anggapan pelaku bullying. Korban bullying dapat melakukan me-time dengan melakukan hal-hal yang disukai, mendengarkan music yang secara tidak langsung menggambarkan perasaan korban, dan melakukan hobi lama atau mencari hobi baru.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bakhtiar dan Asriani (2015) yang menunjukkan bahwa kedua strategi baik strategi berdasarkan masalah dan emosi terbukti sangat efektif dalam mengatasi stres. Oleh sebab itu, korban bullying dapat menggunakan kedua strategi ini dengan skala masing-masing untuk memulihkan stres atau kondisi psikologis akibat dari peristiwa bullying.
Selain itu, pemerintah juga berperan dalam upaya memulihkan kondisi psikologis korban. Salah satunya adalah merehabilitasi korban. Menjadi korban bullying mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Menurut Departemen Sosial (Rangga,2020), rehabilitasi adalah proses refungsionalisme dan pengembangan untuk seseorang yang memiliki gangguan agar dapat melakukan fungsi sosial secara sempurna dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009, terdapat bentuk rehabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial adalah kegiatan pemulihan untuk individu yang membutuhkan layanan sosial agar dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan bersosialisasi.  Pemerintah terutama Dinas Pendidikan dapat memerhatikan isu-isu bullying dan berusaha membangun kapasitas aparat untuk menangani bullying. Hal ini juga dapat ditangani dengan dibuatkannya pembelajaran untuk para guru mengenai bullying dan cara menanganinya  (Nasir, 2018). Alternatif lain adalah saat terjadi kasus bullying polisi bertindak cepat dan memutuskan untuk mendatangkan psikolog dan tim untuk mengatasi trauma yang dimiliki oleh korban bullying di Blitar (Riady, 2019).
Lingkungan masyarakat dapat berperan dalam membentuk jaringan antibullying untuk memerangi bullying (Amini, 2008). Dalam hal ini, diperlukan partisipasi aktif oleh seluruh lapisan masyarakat baik orang tua, RT/RW, kepolisian, maupun tokoh masyarakat dalam mengkampanyekan antibullying. Partisipasi aktif dari masyarakat tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran khalayak umum akan peristiwa bullying. Adanya partisipasi dari masyarakat dalam menyuarakan antibullying, seakan-akan mendukung korban bullying. Korban bullying akan merasa didukung oleh orang lain dan merasa ia tidak lagi sendirian atau ada orang lain yang mendengarkannya. Korban bullying akan berani menyuarakan pendapatnya mengenai bullying sehingga masyarakat semakin sadar bahwa bullying merupakan hal yang tidak dapat ditoleransi. Dengan demikian semakin tinggi kesadaran masyarakat, maka peristiwa bullying dapat berkurang atau tidak terjadi lagi.
Daftar Pustaka
Buku
Amini, Yayasan Semai Jiwa. 2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Anak. Jakarta: Grasindo.
Ilahi, Muhammad Takdir. 2012. Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Lazarus, Richard S and Susan Folkman. 1984. Stress, Appraisal ,and Coping. New York: Springer Publishing Company.
Priyatna, Andi. 2010. Lets End Bullying: Memahami, Mencegah, Dan Mengatasi Bullying. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Wharton. 2005. Bullying In Schools And What To Do About It. Australia:Acer Press.
Wiyani, Ardy. 2015. Save Our Children From School Bullying. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Jurnal
Bakhtiar, Muhammad Ilham dan Asriani. (2015). Effectiveness Strategy Of Problem Focused Coping    And Emotion Focused Coping In Improving Stress Management Student Of Sma Negeri 1 Barru. 2015. Journal of Guidance and Counseling. Makassar. Vol 5(2). Hlm   67-82. https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awr9JnHIsgZgTMgAtdpXNyoA;_ylu=Y29sbwNncTEEcG9zAzEEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1611080521/RO=10/RU=https%3a%2f%2fojs.fkip.ummetro.ac.id%2findex.php%2fbk%2farticle%2fdownload%2f320%2fpdf_8/RK=2/RS=PaI3CCnD1UlEwv8o9tueAntMsmY-.
Dwipayanti, Ida Ayu Surya dan Komang Rahayu Indrawati. (2014). Hubungan Antara Tindakan Bullying dengan Prestasi Belajar Anak Korban Bullying pada Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal Psikologi Udayana. Bali.. Vol. 1(2), 251—260. https://www.e-jurnal.com/2014/12/hubungan-antara-tindakan-bullying.html
Misnani, Juniar. (2016). Hubungan Perilaku Asertif dan Kesepian dengan Kecemasan Sosial Korban     Bullying Pada Siswa. Psikoborneo. Samarinda. Vol 4 (4), 513—521. http://e-journals.unmul.ac.id/index.php/psikoneo/article/view/4237.
Nassir, Amin. (2018). Konseling Behavioral: Solusi Alternatif Mengatasi Bullying Anak Di Sekolah. Jawa Tengah. Vol 2 (2). Hlm 67—82. https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Konseling_Edukasi/article/view/4466.
Makalah
Dwipayana, Anak Agung Gede Putra (2018). Intensi Bunuh Diri Pada Remaja Korban Bullying. Other thesis, Unika Soegijapranata Semarang.
Website
Alesha, Tera. (2020, Maret 30). Pengertian Perilaku Asertif Serta Ciri-Cirinya. Bimbingankonseling.web.id. .
Amnifu, Djemni. (2019, October 19). Teen Suicide Victim Remembered as Bright Student Who Received Bicycle From Jokowi. Thejakartapost,com. Â
Coloroso, Barbara. 2002. The Bully, The Bullied, and The Bystander: From Preschool to High School – How Parents and Teacher Can Help the Cycle of Violence. Global.swlauriersb.qc.ca. Â
Rangga, Aditya. (2020, Juli 24). Pengertian Rehabilitasi. Cerdika.com.
Riady, Erliana. (2019, November 4). Polisi Datangkan Tim Trauma Healing bagi Korban Bullying di Blitar. Detik.com. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H