Dalam konteks ini, Anies mengajak komunitas tuli dan masyarakat umum untuk berbicara, yang menghasilkan dialektika. Ia mendorong solidaritas dengan mengajak orang lain untuk bersatu untuk mencapai kesetaraan. Ini merupakan bagian dari pembicaraan yang lebih besar tentang hak-hak disabilitas dan inklusi sosial, bukan hanya ucapan terima kasih.Â
Anies menciptakan jembatan antara kisah pribadi dan masalah sosial yang lebih besar dengan menghubungkan prestasi individu seperti Fauzi dengan aspirasi kolektif untuk keadilan sosial. Ini memungkinkan audiens untuk mempertimbangkan posisi mereka sebagai pendukung kesetaraan.
Secara keseluruhan, metode dialektika dan retorika yang digunakan dalam pesan ini sangat berhasil. Ethos membuat Anies terlihat sebagai pemimpin yang percaya diri dan peduli, sementara pathos menggugah perasaan audiens, menciptakan hubungan yang lebih kuat, terutama di kalangan mereka yang memperjuangkan kesetaraan sosial.Â
Logos memberikan dasar yang kuat untuk argumen bahwa kesetaraan dapat dicapai, sedangkan dialektika membuat lebih banyak ruang untuk diskusi sosial.
Dalam analisis ini audiens akan termotivasi dan mereka juga akan terinspirasi untuk berpartisipasi dalam perjuangan keadilan sosial. Anies mampu menginspirasi audiens untuk mendukung perubahan sosial yang lebih luas melalui contoh nyata dan cerita yang inklusif. Pesan semacam ini sangat menarik karena menyentuh masalah inklusi yang semakin penting di Indonesia.Â
Akibatnya, pesan ini dapat dinilai sangat efektif dalam mempengaruhi audiens untuk memperhatikan dan mendukung kesetaraan bagi komunitas disabilitas.
Daftar Pustaka
Aristotle. (2007). On rhetoric: A theory of civic discourse (2nd ed.). Oxford University Press.
Sumber postingan:
https://x.com/aniesbaswedan/status/1695401640566947994?t=0eLksP8ePlf59r-NKCI41w&s=19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H