Mohon tunggu...
Gabriela Valery Romana
Gabriela Valery Romana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sadulur Papat Lima Pancer sebagai Kearifan Lokal Indonesia

26 Oktober 2022   23:52 Diperbarui: 26 Oktober 2022   23:57 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : dokumen pribadi 

sumber : dokumen pribadi 
sumber : dokumen pribadi 

Dalam budaya masyarakat Jawa, Sedulur Papat Limo Pancer menjadikan konsep tersebut dalam penamaan hari seperti pasaran Legi (timur), Pahing (selatan), Pon (barat) , Wage (utara), dan Kliwon (pusat). Jauh-jauh hari menggagas konsep diri dalam kehidupan dengan tujuan agar manusia menjadi dirinya sendiri meskipun dalam dirinya ada diri-diri yang lain (Buber, 1965).

Masih menyangkut “Sedulur Papat Limo Pancer”, dapat diibaratkan sebagai seorang ksatria dengan para pengikut setianya, Punakawan. Dalam kisah pewayangan kita mengenal tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Semar memiliki ciri khas berambut putih yang melambangkan pikiran (Cipta), Gareng bermata juling dengan kaki pincang melambangkan kewaspadaan (Rasa), selanjutnya Petruk melambangkan adanya sebuah kehendak (Karsa), dan Bagong sebagai lambang dari kesediaan untuk bekerja keras (Karya).

Seperti yang kita lihat dalam pertunjukkan wayang kulit, dalam budaya Jawa terdapat suatu “gunungan”. Gunungan pada wayang kulit berbentuk lancip ke atas yang melambangkan kehidupan kita sebagai manusia. Semakin bertambahnya usia dan tinggi ilmu yang dimiliki, manusia harus semakin golong gilig manunggaling jiwa, rasa, cipta, dan karya dalam hidup ini (mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa). Begitupun dalam pandangan filosofi jawa “Sedulur Papat Limo Pancer”, gambar Gunungan pada wayang kulit purwa memiliki arti cukup mendalam terkait kepercayaan masyarakat Jawa. Pada Gunungan terdapat gambar harimau, monyet, banteng, dan burung merak. Hewan-hewan tersebut memiliki makna bahwa sebagai manusia kita selalu diikuti oleh keempat saudara ghaib hingga akhir hayat.

Masing-masing hewan dalam Gunungan wayang kulit tersebut memiliki empat nafsu berbeda. Harimau melambangkan nafsu amarah, banteng mewakili nafsu sufiyah atau kecantikan, monyet melambangkan nafsu serakah,  sedangkan buruk merak melambangkan nafsu ketenangan. Dari keempat nafsu tersebut, sudah menjadi kewajiban diri (pancer) untuk mengendalikan dari rasa egois dan serakah agar terhindar dari konflik.

Dalam kiasan ruang dan waktu terdapat keempat unsur dalam diri manusia sebagai Pusat atau Pancer. Porporsi unsur-unsur ini hadir dengan proporsi yag tepat agar mental dan kejiwaan kita sebagai manusia tidak terganggu. Jika salah satu terlalu berlebihan makan akan mengakibatkan ketidaseimbangan dalam tubuh, jiwa, dan pikiran kita.  

Jika dikaji lebih jauh, “Sadulur Papat Limo Pancer” memiliki keterkaitan dengan keempat elemen pendukung yaitu tanah, air, api, dan angin. Lalu elemen kelima sebagai Pancer adalah Ruang. Hal ini berarti keempat elemen tersebut bergerak sesuai dengan keadaan, namun semua tetap berada dalam ruang kesadaran kita. Tanpa adanya kesadaran, kita dapat mudah memberontak, berperilaku sewenang-wenang terhadap alam, serta tidak peduli dengan situsi yang ada. Seringkali sebagai manusia kita lupa bahwa eksistensi kita di alam semesta tidak dapat terlepas dari elemen- elemen tersebut.  

Unsur-unsur tersebut, yaitu tanah, api (geni), air, dan udara. Unsur tenah melambangkan, tanggung jawab, kekuatan dalam prinsip, serta keberanian. Sedangkan unsur api melambangkan semangat, amarah, sifat religious, dan ego. Selanjutnya air melambangkan kasih sayang dan tingkat kedengkian. Kemudian, unsur udara melambangkan kemampuan berbicara, tingkat kepercayaan diri, serta negosiasi.

Dalam istilah Jawa, ini disebut "sedulur papat limo pancer". Ini adalah warisan budaya berharga yang secara langsung terkait dengan filosofi dasar kehidupan kita. Yang pertama adalah kesadaran. Kita telah diberi karunia kesadaran untuk mengarungi kehidupan ini. Yang kedua adalah perasaan. Kita merasakan gejolak seperti keinginan, simpati, cinta, benci, iri hati, semangat, kegembiraan, kesedihan, kemalasan, kebingungan, keraguan, dan dendam. Sebuah sentimen yang sering terombang-ambing antara menegakkan kebenaran esensial dan kasih sayang. Antara cinta dan akal, antara kesadaran berbuat baik dan tertekan dalam sifat cemburu.

Ketiga adalah hati. Pikiran ini terus-menerus menyaring apa yang dirasakan panca indera, menganalisis peristiwa, dan menarik kesimpulan setelah mikroskop. Pikiran-pikiran ini sering melawan emosi kita sebelum kita bertindak. Pikiran selalu memungkinkan kita untuk menimbangnya dengan logika moral dan ilmiah.

Keempat adalah keinginan. Naluri dasar yang mendorong manusia adalah kebutuhan untuk makan, tidur, memuaskan keinginan, dan mengakui keberadaan. Keinginan ini sering menguasai pikiran, kesadaran dan kesadaran. Kita perlu mengelola hasrat dengan baik dan benar. Dengan terus-menerus mempelajari nilai-nilai agama seperti moralitas, etika, dan estetika, ada sesuatu yang menjadi “ingatan” yang menjaga keinginan agar tidak lepas kendali.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun