Mohon tunggu...
Gabriela Ayu
Gabriela Ayu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Terapi Hemofilia: Sia-sia atau Bermanfaat?

25 November 2017   21:31 Diperbarui: 25 November 2017   22:31 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kali kita mendengar kata 'hemofilia' pasti yang terngiang di pikiran kita adalah penyakit dimana darah tidak bisa membeku. Banyak orang mengatakan bahwa penyakit ini sangatlah berbahaya bahkan bisa menyebabkan kematian. Akan tetapi, banyak pula yang berpendapat bahwa penyakit ini mampu diatasi dengan terapi. Namun, apakah terapi ini memang benar-benar dapat menyembuhkan para penderita hemofilia? Sebelum itu, kita harus terlebih dulu memahami tentang darah serta proses pembekuannya pada tubuh kita.

Darah merupakan komponen esensial yang ada pada makhluk hidup, khususnya hewan dan manusia. Darah di dalam tubuh kita memiliki berbagai fungsi yang teramat penting, antara lain mengedarkan sari-sari makanan, mengangkut oksigen, mengedarkan hormon, membawa sisa oksidasi sel tubuh, menyerang antigen (benda asing atau bakteri) yang masuk ke dalam tubuh, mengatur suhu tubuh, dan masih banyak lagi. 

Tanpa adanya darah tentu kita tidak akan bisa hidup. Darah sendiri terbagi menjadi 2 bagian yaitu plasma darah (berbentuk cairan) dan sel darah. Sel darah terdiri dari 3 komponen yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit).

skemaa-5a198acffcf68145ae5308b3.jpg
skemaa-5a198acffcf68145ae5308b3.jpg
Sehubungan dengan topik kita, hemofilia, maka kita akan membahas lebih lanjut mengenai trombosit. Mengapa trombosit? Sebab trombosit memegang peran yang besar dalam proses pembekuan darah. Ketika pembuluh darah terluka atau mengalami kebocoran, tubuh akan melakukan 3 mekanisme utama, yaitu melakukan pengkerutan (kontriksi) pada bagian pembuluh darah yang terluka, aktivitas trombosit, kemudian aktivitas komponen pembekuan darah lainnya di dalam plasma darah. 

Reaksi pertama yang dilakukan tubuh yaitu melakukan kontriksi terhadap pembuluh darah, yang memicu trombosit menempel pada area pembuluh darah yang terluka. Kontriksi ini bertujuan untuk mempersempit pembuluh darah agar darah yang keluar tidak bertambah banyak. Trombosit akan pecah apabila menyentuh area luka tersebut. 

Selama proses perpecahan, trombosit akan mengeluarkan enzim yang bernama enzim trombokinase. Enzim ini akan memicu protrombin berubah menjadi trombin. Perubahan ini dibantu oleh ion kalsium dan vitamin K. Kemudian, trombosit akan memberikan sinyal kepada trombosit lain dan faktor-faktor pembekuan darah agar membantu untuk menutup luka tersebut. Trombosit yang awalnya berbentuk bulat akan berubah bentuk menjadi berduri (seperti tentakel). Hal ini berfungsi untuk memudahkan pelekatan antar trombosit.

Di sisi lain, trombin akan mengaktifkan fibrinogen sehingga berubah menjadi fibrin. Fibrin berbentuk serat-serat panjang yang tidak dapat terlarut. Karenanya, ia akan menempel pada kumpulan trombosit, lalu membentuk struktur menyerupai jaring-jaring. Serat-serat fibrin ini bersifat lengket sehingga trombosit, eritrosit, maupun leukosit yang lewat dapat menempel dan membantu proses penutupan luka. 

Setelah luka dapat tertutup dengan baik, maka trombosit akan kembali mengirimkan sinyal untuk menghentikan proses pembekuan darah. Tanpa adanya sinyal ini bisa menyebabkan penggumpalan darah di seluruh tubuh yang membahayakan diri kita.

Dalam proses pembekuan darah, banyak faktor pembekuan darah yang terlibat. Faktor-faktor tersebut adalah:

  • Faktor I (fibrinogen)
  • Faktor II (protrombin)
  • Faktor III (tromboplastin)
  • Faktor IV (kalsium)
  • Faktor V (proakselerin)
  • Faktor VI (tidak dipakai lagi karena fungsinya sama seperti faktor V)
  • Faktor VII (prokonvertin)
  • Faktor VIII (anti hemofilia A)
  • Faktor IX (anti hemofilia B)
  • Faktor X (faktor stuart-power)
  • Faktor XI (anti hemofilia C)
  • Faktor XII (faktor hageman)
  • Faktor XIII (faktor stabilisasi fibrin)

Setelah mengetahui proses pembekuan darah, kita akan membahas mengenai topik kita yaitu hemofilia.

Hemofilia pada umumnya bersifat herediter, yang artinya merupakan penyakit kelainan genetik atau penyakit keturunan. Darah para penderita hemofilia tidak dapat membeku secara normal dengan sendirinya atau dengan kata lain tidak secepat orang yang tak mengidap hemofilia. Akibatnya, pengidap hemofilia biasanya akan mengeluarkan darah yang lebih banyak ketika cedera/terluka daripada orang normal. Bahkan, pengidap hemofilia juga bisa mengalami pendarahan di dalam tubuh secara tiba-tiba. Lantas bagaimana seseorang bisa mengidap hemofilia?

Hemofilia disebabkan karena adanya kecacatan pada salah satu gen yang menentukan pembentukan faktor-faktor pembekuan darah dalam tubuh. Gen ini terletak pada kromosom X. Wanita memiliki 2 pasang kromosom X, sedangkan pria memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y. Di antara kedua kromosom ini, hanya kromosom X yang membawa gen yang berhubungan dengan faktor pembekuan darah.

Seorang pria yang kromosom X-nya mempunyai gen hemofilia akan mengidap hemofilia, karena ia hanya mempunyai 1 kromosom X. Sedangkan jika kromosom X pada wanita yang terkena gen hemofilia, ia tidak menderita hemofilia karena ia masih memiliki satu kromosom X lainnya. Meski begitu, ia akan menjadi pembawa gen hemofilia dan bisa mewariskannya kepada anaknya kelak. Istilah 'pembawa gen' ini biasa dikenal dengan sebutan carrier. Terkadang, wanita pembawa gen ini memiliki tingkat faktor pembekuan yang rendah dan juga memiliki sedikit gejala hemofilia, termasuk pendarahan. Namun pendarahan pada carrier tentu tidak separah pengidap hemofilia.

hemophilia-gene-5a198b239f91ce78e85eb073.jpg
hemophilia-gene-5a198b239f91ce78e85eb073.jpg
Apabila seorang ayah memiliki sepasang kromosom X-Y yag normal (tidak mengidap hemofilia) sedangkan si ibu adalah pembawa gen hemofilia, maka anak perempuannya memiliki kemungkinan 50% menjadi seorang carrier. Sementara jika anaknya laki-laki, maka anak tersebut juga memiliki kemungkinan 50% mengidap hemofilia. Hal ini terjadi karena masing-masing anak berkemungkinan mewarisi kromosom X milik ibunya.

Namun jika seorang ayah mengidap hemofilia dan si ibu mempunyai sepasang kromosom X yang normal, maka anak perempuannya akan menjadi seorang pembawa gen hemofilia. Jika anaknya laki-laki, maka anak tersebut tidak mengidap hemofilia karena ia hanya akan mewarisi kromosom X milik ibunya dan mewarisi kromosom Y milik ayahnya yang tidak terkena hemofilia.

Ada tiga macam hemofilia, yakni hemofilia A, hemofilia B, dan hemofilia C. Hemofilia A biasa disebut hemofilia klasik. Hemofilia A disebabkan karena kurangnya faktor pembekuan darah yaitu faktor VIII. Hemofilia B dikenal pula dengan sebutan Christmas disease. Dinamakan demikian karena berdasarkan nama penemunya yaitu Steven Christmas yang berasal dari Kanada. Hemofilia B dapat terjadi karena kurangnya faktor IX pada pembekuan darah. Sementara itu, hemofilia C terjadi karena kurangnya faktor pembekuan XI. Jenis-jenis hemofilia ini, khususnya hemofilia A dan hemofilia B, sangat jarang ditemukan. Hemofilia A dapat terjadi sekurang-kurangnya pada 1 orang di antara 10.000 orang. Sedangkan hemofilia B lebih langka, perbandingannya yaitu 1 di antara 50.000 orang.

Penyakit hemofilia memang termasuk penyakit yang berbahaya. Namun, bukan berarti penyakit ini tidak memiliki solusi. Salah satu solusinya yaitu dengan metode terapi. Bagaimana proses terapi itu? Apakah berguna bagi para pengidap hemofilia? Untuk mengetahui jawabannya, langsung saja kita bahas satu per satu.

Terapi yang biasanya paling sering digunakan yaitu terapi penggantian atau biasa disebut replacement therapy. Terapi ini menggunakan infus faktor pembekuan. Infus ini bertujuan untuk mengganti faktor pembekuan yang hilang atau kurang. Faktor yang hendak disuntikkan ini diambil dari darah manusia yang disumbangkan. Sebelum disuntikkan, tentunya darah ini dibersihkan terlebih dahulu dengan cara screening (penyaringan) darah, menguji darah yang hendak disuntikkan, dan 'mengobati' darah tersebut dengan panas untuk mematikan virus-virus yang ada. Hal ini berguna untuk meminimalisir risiko terkena penyakit menular dari darah tersebut. 

Untuk semakin mengurangi risiko, faktor pembekuan dapat diambil dari darah yang bukan berasal dari manusia. Faktor ini disebut faktor pembekuan rekombinan. Faktor pembekuan rekombinan direkayasa secara genetika di laboratorium dan tidak mengandung protein darah manusia, sehingga lebih aman karena tidak akan menularkan penyakit atau virus berbahaya.

Para pasien tidak perlu kesulitan dalam menggunakan faktor pembekuan. Sebab, faktor pembekuan mudah disimpan, dicampur, dan digunakan di rumah, hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk menerima faktornya dalam tubuh. Para pasien juga dapat melakukan replacement therapy secara teratur. Terapi ini dinamakan terapi preventif atau profilaksis. Jika potensi pendarahan menginjak tingkatan yang serius, maka akan diberikan infus preventif, yaitu infus faktor pembekuan sebelum pendarahan dimulai. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pendarahan. Selain itu, pasien juga dapat melakukan replacement therapy hanya di saat terjadi pendarahan. Penggunaan terapi ini dinamakan demand therapy. Namun penggunaan terapi ini kurang dianjurkan karena kurang intensif dan lebih mahal dibanding terapi preventif. 

Replacement therapy ini lama-kelamaan akan mengembangkan antibodi dalam tubuh. Sebab sebagian tubuh pasien memandang faktor pembekuan yang diterimanya sebagai antigen (benda asing), sehingga tubuhnya akan menghasilkan antibodi untuk menghancurkan faktor pembekuan sebelum faktor tersebut bekerja. Antibodi ini, yang bisa juga disebut inhibitor, berkembang pada sekitar 20% sampai 30% pasien pengidap hemofilia A. Sedangkan, inhibitor yang berkembang dalam tubuh pasien pengidap hemofilia B jauh lebih sedikit, sekitar 2% hingga 5%. Ketika antibodi bekerja, kemungkinan dokter akan menggunakan faktor pembekuan dengan dosis yang lebih besar atau mencoba menggunakan faktor pembekuan dengan sumber yang berbeda. Terkadang antibodi dapat hilang dengan cara ini.

Terapi selanjutnya yaitu gene therapy atau terapi gen. Para periset dari University College London dan Rumah Sakit Penelitian St. Jude Children melakukan penyelidikan terhadap terapi gen ini, namun hanya berfokus pada hemofilia B. Seperti yang telah kita ketahui, hemofilia B disebabkan akibat kurangnya faktor pembekuan IX. Para ilmuwan kemudian mengemas faktor pembekuan IX yang normal ke dalam virus, kemudian mengirimkannya ke sel hati. Di sini, virus berperan sebagai media penghantar atau vektor yang dirancang untuk mengangkut gen normal ke sel hati. Hati sendiri merupakan satu-satunya organ yang dapat memproduksi faktor IX tersebut.

Berdasarkan laporan pada tanggal 10 Desember 2011, dalam edisi online New England Journal of Medicine, 6 pria pengidap hemofilia B berat menerima infus intravena dari vektor gen tersebut sebanyak satu kali. Sebelum melakukan terapi, para pasien tersebut memproduksi faktor pembekuan IX kurang dari 1%. Namun setelah menjalani terapi gen ini, masing-masing pasien menghasilkan faktor pembekuan IX antara 2% hingga 11%. Dalam masa tindak lanjut (sekitar 6 hingga 16 bulan), 4 orang dari keenam pria tersebut sudah tak lagi memerlukan infus faktor IX. Sedangkan 2 orang lainnya masih membutuhkan infus faktor IX, tetapi lebih jarang dibanding sebelumnya. Dari kasus ini, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan terapi gen cukup berhasil.

Kasus lainnya yaitu, seorang ilmuwan bernama Katherine High, pernah menerapkan terapi gen ini terhadap anjing pada tahun 1989. Dan hasilnya dalam satu dekade, terapi ini dapat menyembuhkan sekitar 100 ekor anjing. Tetapi, Katherine High mengalami kegagalan pada tahun 2006 saat menerapkan terapi ini kepada manusia. Kegagalan ini disebabkan karena tubuh manusia tersebut menganggap adanya antigen yang masuk ke dalam tubuhnya, sehingga tubuh secara otomatis memproduksi antibodi untuk menyerang serta menghancurkan faktor tersebut.

 Tahun 2010, para ilmuwan dari University College London dan Rumah Sakit St. Jude di Memphis menerapkan kembali terapi gen ini dengan menggunakan dosis obat penekan kekebalan. Namun ternyata hasilnya tidak cukup memuaskan, bahkan pada dosis tinggi sekalipun. 5 orang pasien berakhir dengan peningkatan sebanyak 5% dari aktivitas normal faktor IX-nya. Hasil ini dirasa masih kurang dan memerlukan penyembuhan. Tidak berhenti sampai disitu, mereka mulai merancang ulang virus untuk menghantarkan faktor IX menuju ke hati, tempat diproduksinya faktor IX. Hasilnya terbilang cukup memuaskan karena sebagian pasien yang mengalami peningkatan faktor pembekuan IX yang cukup baik.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi-terapi tersebut membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Para ilmuwan telah menguji metode terapi ini dan para pasien juga menunjukkan peningkatan yang baik. Ya, penyakit hemofilia memang tidak dapat disembuhkan secara total, mengingat penyakit ini bersifat herediter. 

Namun dengan adanya terapi ini setidaknya dapat meringankan penyakit hemofilia yang diderita seseorang. Jadi menurut saya, terapi memang tidak dapat menyembuhkan total penyakit hemofilia tetapi mampu meringankannya, sehingga penerapan terapi terhadap pasien hemofilia tidaklah sia-sia.

Demikian artikel mengenai hemofilia ini. Semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan atau informasi. Terima kasih.

Sumber referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun