Sampai saat ini underpass di Jogjakarta telah dibangun di kawasan Jombor. Selama ini pengaturan lalu lintas Jogjakarta telah didukung infrastruktur jalan berupa ring road atau jalan lingkar yang mengitari provinsi DI, fly over atau jembatan layang di Lempuyangan dan Janti. Meski masih jauh ramai dibandingkan kota-kota besar lain seperti Jakarta atau Surabaya, bukan tidak mungkin dalam sepuluh tahun ke depan Yogyakarta akan berwajah sama.
Jalan dan jembatan yang dibangun bertumpuk, mengakali keterbatasan lahan ditengah desakan arus barang dan manusia. Dengan derap pembangunan macam ini, bukan tidak mungkin gelar Yogyakarta sebagai kota metropolitan akan segera terpasang, berdampingan dengan julukan Kota Pelajar serta Budaya.
Menyoal bentuk kota metropolitan, sebutan ini menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mengacu pada konsep kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan dan dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk sekurang-kurangnya 1.000.000 jiwa.
Ditilik dari jumlah penduduk, provinsi ini sudah dihuni lebih dari 1 juta jiwa, 3. 720.912 jiwa tepatnya menurut BPS. Sehingga wajar rasanya jika segala infrastuktur yang lebih massive dan modern mulai digarap, bandara NYIA sebagai contoh. Perubahan suatu Provinsi/Kabupaten/kota menjadi daerah metropolitan kemudian berpengaruh pada naiknya APBD dan anggota legislatif menjadi 50 orang. Namun begitu, ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi yaitu syarat administrasi, fisik dan teknis.
Perubahan dan modernitas tak bisa lagi dibendung. Seperti premis saya diawal bahwa kota selaksa manusia yang terus tumbuh dan berkembang. Masalahnya bagaimana membawa perubahan itu kearah yang lebih baik bagi kemaslahatan masyarakat. Jangan sampai Mall lebih banyak dari buku di perpustaan, hotel dibangun namun mitigasi bencana terabaikan, kawasan terbuka hijau justru jadi lahan parkir.
Sosok yang tahu bagaimana kota ini mesti diarahkan dan dibangun sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakat. Begitu juga yang diamini Bambang Soepijanto kala maju sebagai calon anggota DPD perwakilan DIY. Ia tak mau pembangunan semata-mata menguntungkan secara ekonomi bagi pihak tertentu namun tak berarti untuk wong cilik.
Jalan "sunyi" non partai sebagai calon anggota DPD dipilihnya, semata-mata agar kepentingan golongan tak menghalanginya berkarya nanti. Pada pemilu legislative April ini ia bisa dipilih dengan nomor urut 24. Sosoknya juga bisa dikenali lewat berbagai platform sosial media;Â web, instagram @bambangsoepijanto_dpd24, FB dan twitter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H