Mohon tunggu...
Irfani Zukhrufillah
Irfani Zukhrufillah Mohon Tunggu... Dosen - dosen

seorang ibu dua anak yang sedang belajar mendidik siswa tak berseragam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nyatanya, Sungguh Jatuh Cinta

7 Desember 2018   09:56 Diperbarui: 7 Desember 2018   11:05 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ia lahir 2 tahun yang lalu. Setelah 2x24 jam rasa sakit mulai mendera. Entah kenapa, dia memang cukup lama saat berada di perjalanan lahir. Dan sebab tak ada perihal membahayakan apapun, kelahiran tersebut dipertahankan untuk terjadi secara normal.

Lalu setelah beberapa kali suntik perangsang kelahiran, lahirlah dia, si mungil berjenis kelamin perempuan. Berkulit putih susu. Bermata lebar. Dan bertubuh mungil, tak lebih dari 3,1 kg dan 51 cm.

Satu bidan merawat si kecil di ranjang  mungil sebelah ku. Sedang 2 bidan lain sedang merawat dan membersihkan ku yang saat itu sempat mengalami pendarahan ringan.

Aku seakan tak peduli dengan yang dilakukan padaku, mataku tak bisa lepas dari si mungil yang sedang 'menatapku' dengan mata bulatnya. 

Iya, sesaat setelah kelahirannya, ia sudah mulai membuka mata dan seolah menatapku. Mungkin dia merasakan bahwa 'bau' perempuan yang selama 9 bulan menjadi inangnya sedang berada di dekatnya dan ada di posisi yang sedang ia tatap. Aku mulai haru...

Lalu semakin tumbuh lah rasa cinta ini padanya. Magnet yang tak dapat ku tolak.

Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan ingin mendidiknya lebih besar muncul. Ada rasa, 'suatu ketika aku harus rela jauh darinya', sehingga aku harus menyiapkannya menjadi mandiri. 

Kekhawatiran ini yang mendorong untuk lebih objektif dalam hal pendidikan untuknya. Terkesan disiplin, tegas, meski sesekali tetap memanjakannya. Tapi setiap kali memanjakannya, seolah ada rasa bersalah. Khawatir menghancurkan kedisiplinan yang selama ini ku tanamkan.

Namun, ketika ia belum genap 2 tahun, ketika tamu bulanan terlambat hadir, dan ketika 2 garis kembali muncul di testpack, perasaan ini langsung berubah.

Selama 1 bulan sejak keputusan positif hamil kedua, setiap malam ku peluk tubuh perempuan mungil ku, ku ratapi takdir yang menimpanya. Takdir harus memiliki adik saat usianya masih dini.

Rasa bersalah pun muncul. Beriring dengan rasa sayang yang semakin menjadi.

Kekurangsiapan kembali memiliki momongan menjadi momok terbesar saat itu. Apalagi si mungil yang belum lega bergelayut manja padaku.

Aku menyalahkan diri sendiri. Aku menyalahkan suami. Dan pada akhirnya aku menyalahkan keadaan yang tak bersahabat. 

Setiap hari pikiran buruk terus bergejolak. Bahkan sempat memikirkan kejadian terburuk yang mungkin bisa ku pilih. 

Tapi seluruh keluarga memberi dukungan dan saran sehingga hal itu tak terjadi. 

Dan kejadian yang paling meyakinkanku untuk bertahan disini adalah si mungil ku sendiri. 

Justru ia menunjukkan rasa sayangnya padaku lebih besar. Ia lah yang menunjukkan rasa sayang pada calon adiknya. Dan betapa ia mampu memahami bahwa tak lama lagi ia harus belajar berbagi dan merawat adik. 

Meski sesalku masih ada, tapi syukurku tak bisa menandinginya. 

Disini lah aku sadar betul, bahwa selama ini cintaku padanya bersungguh-sungguh. Tak ada kekhawatiran saat ia manja. Tak ada rasa takut dia tak dapat mandiri. 

Mungil ku, yang pipinya chubby  selalu, suatu saat nanti, bacalah surat cinta untukmu ini, dan rasakan bahwa aku teramat menyanyangi mu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun