Perpolitikan di Indonesia sedang mengalami masa-masa panas. Tidak lain tidak bukan disebabkan oleh gejolak partai dan Pilpres yang semakin dekat.Â
Namun, di antara semakin banyaknya berita tentang politik, partai, dan Pilpres, beberapa hari yang lalu terselip kabar duka.
Duka mendalam yang turut dirasakan oleh semua rakyat bangsa ini.Â
Kabar mengenai kecelakaan pesawat Lion Air.Â
***
Tentu bukan hal yang mudah merasakan musibah besar. Apalagi musibah tidak pernah datang dengan pemberitahuan dahulu. Bahkan mungkin keluarga yang ditinggalkan tidak mendapat firasat apapun tentang musibah yang akan menimpa anggota keluarganya.Â
Seperti hal nya kabar hilangnya pesawat Lion Air di perairan Karawang. Tidak ada yang menduga, bahkan kru pesawat pun tidak pernah menaruh firasat buruk atas penerbangan mereka.Â
Dan ketika kejadian ini terjadi, duka mendalam pun dialami oleh semua orang.Â
Keprihatinan mendalam disampaikan oleh semua orang. Status media sosial, kunjungan kerabat dan rekan, bahkan ungkapan belasungkawa dari pihak maskapai pun berdatangan. Tidak luput juga Presiden negeri ini turut berduka atas kejadian ini.Â
Sebuah kejadian yang nyatanya mampu merekatkan kita semua, bangsa Indonesia.Â
Di tengah pemberitaan pertarungan sengit mengenai politik dan tetek bengeknya, nyatanya kita masih mampu berdamai untuk sejenak merasakan duka ini bersama.Â
Satu kenyataan yang harusnya kita sadari, bahwa kita masih bersaudara. Kita masih sebangsa. Kita masih Indonesia.Â
Saat semua berbondong membantu saudara di Palu, Sigi dan Donggala, lagi-lagi kita dihadapkan pada kondisi yang -secara tidak langsung- harus kita hadapi bersama bergotong-royong.Â
Sejenak kita lupa tentang apa warna bendera partai kita, dan siapa pilihan kita dalam Pilpres mendatang.Â
Kita seolah tak peduli lagi tentang pemberitaan ini-itu yang mewarnai media sosial kita. Kala itu kita hanya peduli tentang bagaimana membangun kembali saudara kita yang -mungkin- tidak kita kenal.
Tapi atas nama sebangsa dan setanah-air, kita rela bersimpati, berempati, berdoa bahkan berderma untuk mereka.
Inilah yang tetap kita miliki, 'Persatuan Indonesia', salah satu pasal yang begitu kita hafal menjadi bagian dari Pancasila.
Tidak ada salahnya, sembari kita berduka, kita perdalam lagi ingatan kita, betapa dahulu negeri ini dibangun dengan darah seluruh rakyat. Tidak melihat apa dan siapa ia.Â
Perlu lagi kiranya kita ingat kembali, bahwa bangsa ini bukan dibangun oleh perseorangan, tetapi kebersamaan.
Dan perlu lagi kita ingat, bahwa gotong royong menjadi darah dalam akar kehidupan kita. Akar kehidupan bangsa Indonesia.
Jelas tak layak, jika hanya karena warna bendera, logat bahasa, apalagi nomor yang berbeda, kita lantas melupakan saudara kita, yang masih tersebut sebagai Warga Negara Indonesia.
Tak layak pula jikalau perbedaan dalam dunia politik tersebut membuat kita gusar dan begitu menggebu untuk terus berseteru.
Kita bukanlah warga negara barat yang tidak kenal tetangga sekitar. Kita juga bukan warga negara yang memasang tirai kawat sedemikian rupa agar tidak terlihat. Kita tetaplah kita, bangsa yang damai, ramah, santun dan menjunjung tinggi persaudaraan.Â
Sebab kita adalah, 'Negara Kesatuan Republik Indonesia'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H