Satu kenyataan yang harusnya kita sadari, bahwa kita masih bersaudara. Kita masih sebangsa. Kita masih Indonesia.Â
Saat semua berbondong membantu saudara di Palu, Sigi dan Donggala, lagi-lagi kita dihadapkan pada kondisi yang -secara tidak langsung- harus kita hadapi bersama bergotong-royong.Â
Sejenak kita lupa tentang apa warna bendera partai kita, dan siapa pilihan kita dalam Pilpres mendatang.Â
Kita seolah tak peduli lagi tentang pemberitaan ini-itu yang mewarnai media sosial kita. Kala itu kita hanya peduli tentang bagaimana membangun kembali saudara kita yang -mungkin- tidak kita kenal.
Tapi atas nama sebangsa dan setanah-air, kita rela bersimpati, berempati, berdoa bahkan berderma untuk mereka.
Inilah yang tetap kita miliki, 'Persatuan Indonesia', salah satu pasal yang begitu kita hafal menjadi bagian dari Pancasila.
Tidak ada salahnya, sembari kita berduka, kita perdalam lagi ingatan kita, betapa dahulu negeri ini dibangun dengan darah seluruh rakyat. Tidak melihat apa dan siapa ia.Â
Perlu lagi kiranya kita ingat kembali, bahwa bangsa ini bukan dibangun oleh perseorangan, tetapi kebersamaan.
Dan perlu lagi kita ingat, bahwa gotong royong menjadi darah dalam akar kehidupan kita. Akar kehidupan bangsa Indonesia.
Jelas tak layak, jika hanya karena warna bendera, logat bahasa, apalagi nomor yang berbeda, kita lantas melupakan saudara kita, yang masih tersebut sebagai Warga Negara Indonesia.
Tak layak pula jikalau perbedaan dalam dunia politik tersebut membuat kita gusar dan begitu menggebu untuk terus berseteru.