Namun, lingkungan sekitarnya penuh dengan pengaruh gelap. Rocket sering mengamati kakaknya Goose dan teman-temannya, The Tender Trio (Trio Keren), yang mulai main kejahatan kecil-kecilan: ngerampok truk gas, ngejebol toko kecil. Mereka seperti Robin Hood modern---ngambil dari yang punya, bagi ke yang nggak punya.
Tapi nggak semua hal berjalan mulus.Â
Trio ini ketemu Lil Dice, bocil yang diem-diem ternyata sadis banget. Ketika Dice usul buat merampok motel, semuanya setuju, mereka pikir bakal jadi aksi biasa. Ternyata, Dice membantai semua orang di motel itu. Adegan pembantaian ini bikin semua orang sadar: bjir! ada level kekejaman baru di City of God.Â
Dice bukan hanya bocil alay biasa; dia adalah monster yang menunggu giliran untuk menguasai favela.
Lil Z Naik Tahta
Fast forward ke 70-an. Lil Dice udah berubah jadi Lil Z, raja baru favela. Dia nggak main-main. Semua saingannya dihajar habis, geng lain dibasmi. Dia bukan cuma brutal, dia gila kontrol. Bareng Benny, sahabatnya yang chill dan jadi wingman, mereka nguasain bisnis narkoba di City of God.Â
Tapi kalau Lil Z itu chaos, Benny justru jadi penenang, orang yang bikin semuanya balance. Benny adalah sosok yang selalu membuat kekacauan sedikit lebih terkendali. Bahkan warga favela lebih suka sama Benny. Sayangnya, meskipun Benny lebih disukai oleh warga, dia tetap terjebak dalam dunia kekerasan yang ada.Â
Sementara itu, Rocket, yang pengen jauh dari dunia kriminal, tetep stuck di favela. Dia nggak cukup miskin buat nyerah, tapi juga nggak cukup kuat dan berani buat lawan arus. Mengamati hidup Rocket di film ini terasa kayak dia  sedang jalan di atas seutas tali---setengah mati menjaga keseimbangannya supaya nggak jatuh, mencoba terus bertahan dan tetap menjaga mimpinya untuk jadi fotografer.