Rizal tidak pernah bertanya apa-apa. Dia adalah malam. Dia datang, membawa api kecil yang hanya cukup untuk membakar sebagian dari diriku, lalu pergi sebelum apinya padam. Â
"Aku masih di sini," katanya suatu malam di bar kecil tempat kami sering bertemu. Â
"Kenapa?" Â
Dia tersenyum, seperti orang yang tahu lebih banyak dari yang seharusnya. "Karena kau milikku, bahkan saat kau mencoba lari." Â
---
Â
Ketika bayi-bayi itu lahir, mereka membawa wajah yang berbeda. Anak laki-laki itu adalah Pras---datar, serius, dengan rahang yang selalu terlihat seperti sedang menilai sesuatu. Anak perempuan itu adalah Rizal---mata liar, penuh nyala, seperti badai kecil. Â
Tapi mereka adalah milikku. Revolusi pribadiku. Aku yang menanggung mereka di tubuhku, aku yang membawa mereka keluar dari kegelapan lorong ini ke dunia yang penuh kebohongan. Mereka bukan milik Pras. Bukan milik Rizal. Â
"Aku tahu mereka bukan hanya milikku," Pras berkata sambil menatap jendela suatu malam. Â
Aku tidak membalasnya. Apa gunanya kata-kata ketika dunia sudah retak? Â
---
Dosa adalah bagian dari napasku sekarang. Tubuhku, lorong ini, anak-anak itu---semuanya adalah revolusi kecil yang kugendong tanpa malu. Â
Ketika Rizal lenyap seperti bayangan malam, aku tidak mencarinya. Ketika Pras bertanya dengan mata yang mulai kehilangan cahayanya, aku tidak menjawab. Aku tidak butuh izin. Â
Anak-anak ini adalah buktiku bahwa aku bisa menciptakan sesuatu dari kehancuran. Mereka adalah aku, hidup dan utuh, meski dunia ingin memberi label pada siapa bapaknya. Â
---
Â
Anak-anak itu berlari di lorong apartemen, tertawa seperti malam tidak pernah membawa rahasia. Mereka tidak tahu sejarah tubuhku, atau dosa yang menetes dari setiap langkahku. Dan aku tidak akan memberitahu mereka. Â
Lorong ini tidak akan mati. Ia hidup di mataku, di tawa anak-anakku, di setiap langkah kaki mereka yang membawa masa depan. Â